PELAJARAN SEJARAH
“Jadi, proklamasi kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia. Bukan
pemberian gratis atau bersyarat seperti negara Malaysia.” Demikian penjelasan
Pak Priyatno, guru sejarah SMU St. Yusuf. “Dan harus diingat, proklamasi kita
tak bisa dipisahkan dari peran kaum muda. Merekalah yang menggerakkan
proklamasi itu.”
“Tanya dikit, pak!” Sebuah tangan dari barisan tengah bangku ruang kelas
XIIB menjulang ke atas.
“Ya, Rolan Gultom!” Pak Pri langsung mengenali subyek penanya.
“Selama ini kita tahu bahwa proklamasi itu terjadi pada tahun 1945. Kalau
disingkat menjadi ’45. Tapi kenapa pada teks proklamasi, baik yang tulisan
tangan maupun yang diketik Sayuti Melik, tertulis ’05?”
“Tahun yang dipakai bukan tahun internasional, melainkan tahun Jepang. Pada
waktu itu tahun Jepangnya adalah 2605.”
Kring! Kring! Kring! Bel sekolah berbunyi pertanda pelajaran usai.
Para murid segera mengemas buku-bukunya.
“Anak-anak, tanggal 14 nanti kita ulangan,” ujar Pak Pri disela kesibukan
murid. “Materi ulangan sejarah menjelang dan saat proklamasi kemerdekaan.
Tujuannya, dengan mempelajari materi itu, kalian nanti bisa menghayati upacara
proklamasi. Adalah keprihatinan bahwa anak-anak muda sekarang kurang memaknai
upacara proklamasi. Kelihatannya setiap upacara 17 Agustus orang jatuh pada
seremonial belaka. Ini mungkin disebabkan generasi sekarang tidak tahu sejarah
proklamasi itu.”
***
Parolan memarkirkan Revo-nya
di samping rumah. Ia baru pulang dari gereja, mengikuti pertemuan OMK membahas
kegiatan OMK menyambut HUT Proklamasi. Sebenarnya pertemuan itu hanya untuk
memfinalkan program acara.
Parolan masuk ke dalam rumah. Dilihat ibunya, dibantu Rolina, adiknya,
sedang menyortir sawi dan kacang panjang yang mau dijual ke pasar besok pagi.
“Sudah makan kau, Lan?”
“Masih kenyang, mak. Tadi waktu pertemuan ada makan kue.”
“Pasti abang makan banyak,” sambung Rolina yang disambut mata besar
Parolan. Rolina hanya tersenyum saja, karena ia tahu abangnya hanya bercanda.
Sebagai satu-satunya anak dan adik perempuan, Rolina selalu mendapat perhatian
dari semua anggota keluarga.
“Kalau gitu, kau ambil dulu keranjang sayur di belakang biar langsung kau
masukkan sayur ini.”
“Ramses mana, mak?” Tanya Parolan sambil melirik jam di dinding. 19.20.
Ramses adalah adik Parolan. Siswa SMP St. Yusuf kelas VIII. Mereka semua ada
tiga bersaudara. Rolina si bungsu, duduk di kelas V SD St. Yusuf.
“ Ke rumah temannya. Kerja tugas.”
“Mak, malam ini aku tak bisa bantu. Aku mau belajar. Besok ada ulangan.”
“Ya sudah. Nanti aku minta Ramses yang beresin. Tapi besok pagi kau yang
antar ke pasar.”
“Iya mak!” Sahut Parolan sambil berlalu ke kamarnya. Langsung diambilnya
buku sejarah dan ia mulai membaca.
***
Ruangan Lembaga Bakteriologi, Jln Pegangsaan Timur, jam 20.00. Sekelompok
pemuda berkumpul. Parolan hadir di sana. Dia asyik berdiskusi dengan Wikana
soal berita bom di Hirosima dan Nagasaki serta soal kekalahan Jepang.
“Saudara-saudara,” tiba-tiba Chairul Saleh berbicara membuka pertemuan.
“Sebagaimana yang kita ketahui dari berita radio bahwa Jepang sudah menyerah
kepada sekutu. Karena itu kemerdekaan sudah di depan mata. Tinggal kita raih
saja.”
Beberapa pemuda lain ikut berbicara. Ada yang menegaskan bahwa kemerdekaan
Indonesia harus segera diumumkan, tanpa harus menunda-nunda. Melanjuti ini seorang
pemuda menyampaikan bahwa siang tadi Bung Karno dan Bung Hatta sudah tiba di
Jakarta. Mereka bersama dr. Radjiman Wediodiningrat baru pulang dari Dalat,
Vietnam Selatan. Menurut informasi yang diterima, pertemuan di Dalat itu
membicarakan soal pemberian kemerdekaan kepada Indonesia.
Darwis marah. “Kemerdekaan itu bukan hadiah, tapi perjuangan.”
“Jika kita menerima sebagai hadiah, kita tidak menghargai perjuangan dan
pengorbanan saudara-saudara kita sebangsa setanah air.” Tambah Parolan.
Harsono, yang selalu mengenakan batik, angkat bicara. “Tantangan kita ada
di Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka adalah tokoh kunci di PPKI. Dan karena
PPKI itu adalah bentukan Jepang, maka proklamasi pun harus ikut mekanismenya.”
Akhirnya pertemuan menghasilkan dua keputusan. Pertama, kemerdekaan Indonesia
adalah hak rakyat Indonesia sendiri, tidak bergantung pada orang, lembaga dan
negara lain. Soal proklamasi harus mengikutsertakan kaum muda. Kedua, meng-utus Wikana dan
Darwis untuk menyampaikan hasil pertemuan kepada Bung Karno.
Jam 21.50 Wikana dan Darwis meninggalkan ruang pertemuan. Dengan sepeda
onthelnya mereka menuju ke rumah Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur 56. Para
pemuda lainnya masih menunggu di gedung Lembaga Bakteriologi.
Sekitar jam 23. 15 Wikana dan Darwis kembali ke ruang pertemuan. Raut wajah
mereka menggambarkan kejengkelan, kekesalan dan kemarahan.
“Tampaknya misi kita gagal,” bisik Sutomo kepada Parolan.
“Bagaimana hasilnya?” Tanya Chairul to
the point.
Setelah semua duduk, Wikana menjelaskan bahwa di sana ada juga Bung Hatta,
dr. Buntara, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri. Di hadapan
orang-orang itu Bung Karno dan Bung Hatta menolak gagasan kaum muda.
“Sekalipun saya mengancam akan terjadi pertumpahan darah, Bung Karno malah
balik menantang. Dia bilang ‘Ini
leher saya, potonglah sekarang juga! Jangan tunggu sampai besok!’ Bung Karno, sebagai ketua PPKI, harus
mengikuti mekanisme yang ada. Besok ia akan tanya ke anggota PPKI lainnya.”
“Kenapa harus tunggu besok? Kan di situ ada wakil ketua dan penasehat PPKI.
Anggotanya juga ada.” Ungkap Parolan.
“Bung Hatta pun menolak,” jelas Darwis. “Dia bilang agar kita jangan memaksa-maksa
mereka.”
Suasana sidang jadi ramai. Aura kemarahan dan kejengkelan sangat begitu
terasa. Karena misi gagal, Chairul Saleh akhirnya membubarkan pertemuan sambil
melihat perkembangan besok setelah pertemuan PPKI. Para peserta pertemuan terlihat
gusar. Mereka meninggalkan ruang pertemuan sambil mengumpat-umpat.
“Dasar pengecut!”
“Boneka Jepang!”
Parolan melihat Chairul dan beberapa pemuda masih terlihat ngobrol serius
di halaman Lembaga Bakteriologi. Ia menghampiri mereka.
“Kita bicarakan di asrama.”
Yang lain mengangguk setuju. Langsung mereka mengayuh sepedanya ke Jalan
Cikini 71, asrama Baperpi.
“Saudara-saudara, kita tidak bisa tinggal diam dalam amarah,” Chairul angkat
bicara setelah tiba di serambi asrama. “Kita harus melakukan sesuatu!”
Suasana rapat menjadi tenang. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Ada
yang saling berdiskusi dengan teman di sampingnya. “Kita singkirkan saja Bung
Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang.” Setelah sekian lama bermenung diri,
Parolan memecahkan kesunyian malam.
“Kita culik mereka.”
“Saya setuju,” tegas Chairul. “Kita singkirkan mereka ke Rengasdengklok. Di
sana kita paksa mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”
Maka mulailah para pemuda ini berembug membagi tugas. Ada yang menghubungi Cudanco Subeno, komandan kompi tentara PETA
Rengasdengklok, untuk mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta. Ada yang bertugas
menculik kedua tokoh dari rumah mereka masing-masing. Ada yang bertanggung
jawab soal kendaraan. Shudanco Singgih dipercayakan untuk melakukan
aksi penculikan ini. Wikana, Sudiro dan Jusuf Kunto tetap berada di Jakarta
untuk mengikuti perkembangan pertemuan PPKI.
Aksi menculik Bung Karno sedikit mendapat kesulitan ketika Ibu Fatmawati
memaksa diri untuk ikut bersama bayinya, Guntur, yang waktu itu berumur 9
bulan. Akhirnya sekitar jam 04.00, para pemuda membawa Bung Karno sekeluarga
dan Bung Hatta ke tempat yang sudah ditentukan. Di sana mereka langsung
diterima Subeno.
Pada sore hari, sekitar jam 17.30, rombongan Ahmad Subardjo dengan ditemani
Jusuf Kunto dan Sudiro, tiba di lokasi pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta.
Ia terharu dengan aksi heroik para pemuda dan sedih melihat Bung Karno
sekeluarga. Karena itu ia berjanji akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan
besok tanggal 17 Agustus sebelum jam 12.00.
“Apa jaminan atas ucapan Bapak?” Tanya Parolan.
“Nyawa saya!”
“Baiklah, kami akan melepaskan kalian,” ujar Subeno. “Tapi beberapa anggota
kami akan mengikuti kalian.”
“Silahkan! Kalianlah yang akan mengawasi dan menjaga kami saat penyusunan
proklamasi.”
Subeno memandang Chairul dan Wikana. Chairul hanya menganggukkan kepalanya.
Ketegangan pun mereda. Maka segera mereka berkemas untuk kembali ke Jakarta.
Beberapa pemuda ikut dalam rombongan.
Sekitar jam 23.00 mereka tiba di Jakarta. Atas permintaan Bung Karno,
rombongan langsung menemui Mayjend Nishimura untuk menjajagi sikapnya soal
proklamasi kemerdekaan. Sudiro awalnya hendak protes, namun Chairul segera
menghalangi niatnya.
Setiba di rumah Nishimura, Bung Karno dan Bung Hatta turun dan berjalan
menuju ke dalam rumah. Rombongan lainnya tetap di dalam mobil. Tak lama
kemudian kedua tokoh PPKI keluar dari dalam rumah berjalan dengan muka
tertunduk.
“Tanda buruk,” bisik Parolan dalam hati.
“Bagaimana?”
“Mereka menolak. Mereka tidak mau mengubah status quo sampai nanti sekutu tiba,” jelas Bung
Hatta.
“Nah kan,” celetuk Parolan. “Kami sudah bilang, kemerdekaan itu harus kita
rebut. Kita tidak bisa tunggu diberi Jepang. Malah, kalau tunggu sekutu, itu
namanya peralihan penjajah saja.”
“Maafkan kami,” suara Bung Karno terdengar berat. “Kalian benar!”
“Sekarang kita ke mana?” Tanya sopir rombongan.
“Ke rumah Laksamana Muda Maeda.” Jawab Ahmad Subardjo.
“Bukankah dia itu orang Jepang?”
“Tidak semua orang Jepang itu jahat. Saya kerja di kantor dia,” jelas
Subardjo. “Dia akan menjamin keselamatan kita. Dan yang terpenting, dia
mendukung kemerdekaan kita.”
Rombongan tiba di rumah Maeda sekitar jam 24.00. Laksamana Maeda menyambut
mereka dengan ramah. Ia menunjukkan ruang makan sebagai tempat penyusunan teks
proklamasi, sedangkan rombongan lainnya menunggu di serambi muka. Maeda meminta
pelayannya untuk membuatkan kopi untuk para tamu.
Mobil yang mengantar mereka sudah kembali pergi ke rumah Bung Karno untuk
mengantar Ibu Fatmawati dan Guntur.
Pada jam 04.00 Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo keluar menemui
rombongan di serambi muka. “Kami sudah selesai menyusun teks proklamasi,” ujar
Bung Hatta yang kemudian mempersilahkan Bung Karno membacakan konsepnya.
Setelah membaca, Bung Karno minta usulan dan tanda tangan dari para hadirin
sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia.
“Saya tidak setuju!” Tegas Sukarni. “Yang menandatangani naskah proklamasi
cukup Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.”
“Saya setuju dengan Sukarni,” sambung Parolan.
Akhirnya disepakati tiga perubahan, yaitu menghilangkan huruf ‘h’ pada kata ‘tempoh’; menggantikan frase ‘wakil-wakil bangsa Indonesia’ dengan ‘Atas nama bangsa Indonesia’;
penulisan ‘Djakarta, 17-8-05’ diubah menjadi ‘Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen
‘05’. Teks proklamasi dengan segala perubahannya diserahkan kepada Sayuti
Melik untuk diketik.
Sementara Sayuti Melik mengetik teks proklamasi, rombongan melanjutkan
pembicaraan membahas soal waktu dan tempat pembacaan proklamasi. Sukarni
mengusulkan Lapangan Ikada, namun ditolak Bung Karno karena lokasi itu bisa
menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang.
“Saya sepakat dengan Bung Karno,” ungkap Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta. ”Jika terjadi konflik,
kami yang terjepit.”
“Kita selenggarakan saja di rumah Bung Karno,” komentar Parolan.
“Baiklah saudara-saudara. Waktu kita sudah mepet. Sekarang jam 04.20,” ujar
Ahmad Subardjo sambil melihat arlojinya. “Kita berkumpul lagi nanti di rumah
Bung Karno. Pembacaan teks proklamasi pada jam 10.00.”
Selesai berbicara, Sayuti Melik muncul dengan membawa naskah proklamasi. BM
Diah meminta supaya teks proklamasi diperbanyak untuk disiarkan melalui radio
dan surat kabar.
Pagi hari itu, jam 08.30, rumah Sukarno sudah dipadati massa pemuda.
Parolan melihat Cudanco Latief Hendraningrat sibuk
memerintahkan anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno. Mr.
Wilopo dan Nyonopranowo sibuk mempersiapkan pengeras suara. Parolan menghampiri
Chairul dan Adam Malik menanyakan susunan acara nanti. Bertiga mereka masuk ke
rumah Bung Karno. Di sana sudah ada dr. Muwardi dan Walikota Suwirjo.
“Selamat pagi, Pak!” Sapa Parolan. “Kami mau tanya susunan acara nanti.”
“Gimana menurut kalian?” Tanya Bung Karno.
“Kita langsung aja pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera.” Adam Malik
menjawab.
“Benderanya apa dan di mana?” Bung Karno kembali bertanya.
“Ini.” Tiba-tiba Ibu Fatmawati muncul dengan membawa sehelai kain warna
merah putih. “Sepulang dari Rengasdengklok saya langsung menjahitnya. Saya
memilih warna merah dan putih. Merah sebagai lambang keberanian dan kemartiran
pejuang kita, sedangkan putih simbol kesucian perjuangan kita.”
Bung Karno menghampiri istrinya, mengambil bendera itu dan mencium kening
Ibu Fatmawati sambil berbisik, “Terima kasih!”
“Mungkin setelah pengibaran, kita beri kesempatan Bapak Suwirjo dan Bapak
Muwardi memberi sambutan.” Chairul memecah keharuan.
Jam 09.55 Mohammad Hatta datang dan langsung menemui Bung Karno. Segara
Latief memerintah seluruh barisan untuk berdiri dengan sikap sempurna. Kemudian
dengan hormat Latief mempersilahkan Bung Karno dan Bung hatta membacakan
proklamasi kemerdekaan.
Diawali dengan pidato singkat, Bung Karno lalu membacakan proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Sesudah itu Bung Karno langsung berteriak “merdeka!” yang langsung diikuti peserta lainnya.
S. Suhud dibantu Latief Hendraningrat mengibarkan bendera merah putih.
Tanpa ada komando peserta langsung menyanyikan lagu Indonesia Raya mengiringi
penaikan bendera.
Saat Walikota Suwirjo memberi kata sambutannya, BM. Diah mendekati Parolan.
“Tolong berikan teks ini ke Waidan B Palenewen agar dibacakan.”
Tanpa membuang waktu lagi, Parolan meninggalkan lokasi upacara. Dengan
sepedanya ia menuju ke kantor Berita Domei, menemui Kepala Bagian Radio. Segera
Parolan menemui Pak Waidan dan menyampaikan teks yang diberikan BM Diah.
Setelah membaca segera Pak Waidan memberikannya kepada F Wuz untuk disiarkan.
“Bisa tidak kami sedikit mewawancarai saudara seputar peristiwa tadi.”
“Dengan senang hati, Pak.”
“Ikutlah dengan saudara Wuz.”
Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita proklamasi dan belum mewawancarai
Parolan, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah mereka
menggedor-gedor pintu agar dibuka.
Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk berkali-kali. Tak ada
reaksi dari dalam ruangan. F. Wuz terus sibuk dengan siarannya. Parolan sedikit
kebingungan. Pintu kembali digedor. Kali ini lebih kencang. Akhirnya Parolan
membuka pintu.
“Emak?!” Teriak Parolan sedikit kaget. “Ngapain mamak di sini?”
http://taipannnewsss.blogspot.co.id/2018/04/bukan-seram-deretan-film-horor.html
BalasHapusQQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!