Rabu, 23 September 2015

Orang Kudus 23 September: St. Padre Pio

SANTO PADRE PIO PIETRELCINA, PENGAKU IMAN
Francesco Forgione lahir pada 25 Mei 1887 di Pietrelcina, Benevento, Italia. Ia adalah putra Grazio Forgione, seorang petani, dan Maria Giuseppa de Nunzio. Sejak kecil Francesco sudah berkeinginan untuk menjadi imam. Ketika mendengar kotbah seorang imam muda kapusin, Francesco ingin mewujudkan keinginannya dengan menjadi seorang biarawan Kapusin. Bersama orangtuanya, mereka berkunjung ke biara Kapusin di Morcone, dan Francesco disarankan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi untuk dapat bergabung menjadi seorang Kapusin. Untuk itu ayahnya memutuskan untuk pergi ke Amerika agar memperoleh penghasilan yang lebih tinggi sehingga dapat membiayai pendidikan Francesco.
Francesco menerima Sakramen Krisma pada 27 September 1899. Pada tanggal 6 Januari 1903, Francesco bergabung dengan Ordo Fransiskan Kapusin di Morcone. Ia menerima jubah dan memilih nama baru: Pio, dari nama Santo Pius V, pelindung kota Pietrelcina, pada 22 Januari 1903. Di akhir masa novisiatnya, Pio mengikrarkan kaul sementaranya, dan 27 Januari 1907 ia mengikrarkan kaul kekalnya. Pada 10 Agustus 1910, Pio ditahbiskan sebagai imam, dan karena masalah kesehatan, ia kembali ke Pietrelcina dan berkarya di sana.
Pada September 1916, Padre Pio ditempatkan pada biara Kapusin di San Giovanni Rotondo. Setahun kemudian, tepatnya Agustus 1917, Padre Pio ditempatkan pada kesatuan militer, tetapi ia kembali ke San Giovanni Rotondo pada Maret 1918. Padre Pio kemudian menjadi seorang pembimbing spiritual.
Pada 20 September 1920, ketika Padre Pio berdoa di depan salib, ia melihat Kristus dengan luka-lukanya, dan setelah itu ia menerima stigmata. Padre Pio adalah imam pertama yang mendapatkan stigmata. Selain stigmata, Padre Pio memiliki berbagai macam karunia lainnya seperti dapat membaca perasaan atau kehidupan seseorang, bilokasi dan penyembuhan. Peristiwa ini menjadi berita yang cepat menyebar. Banyak orang kemudian datang kepada Padre Pio.
Padre Pio menghabiskan waktunya setiap hari untuk merayakan misa dan mendengarkan pengakuan dosa orang-orang yang datang kepadanya. Hal ini menarik perhatian Kantor Kudus. Pada Juni 1922 kegiatan Padre Pio mulai dibatasi, terutama untuk bertemu dengan umat. Pada 9 Juni 1931 Takhta Suci bahkan memerintahkan Padre Pio untuk menghentikan semua pelayanannya kecuali mempersembahkan kurban misa. Namun pada tahun 1933, Paus Pius XI mencabut semua larangan terhadap Padre Pio.
Secara bertahap Padre Pio kembali melayani pengakuan dosa. Padre Pio kemudian mendirikan Rumah Sakit Casa Sollievo della Sofferenza atau Wisma untuk Meringankan Penderitaan pada 5 Mei 1956. Ia juga membentuk sebuah kelompok doa yang masih ada hingga kini.
Pada tahun 1960 kesehatan Padre Pio sudah mulai menurun. Pada hari-hari menjelang kematiannya, Padre Pio masih mempersembahkan kurban misa. Padre Pio meninggal dunia pada 23 September 1968 di San Giovanni Rotondo, Goggia, Italia. Pada 2 Mei 1999 ia dibeatifikasi, dan pada 16 Juni 2002 ia dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II
Baca juga orang kudus hari ini:

Renungan Hari Rabu Biasa XXV - Thn I

Renungan Hari Rabu Biasa XXV, Thn B/I
Bac I  Ezr 9: 5 – 9; Injil             Luk 9: 1 – 6;

Bacaan pertama hari ini, yang diambil dari Kitab Ezra, mengungkapkan doa Ezra, mewakili umat Israel, kepada Allah. Dalam doa itu Ezra mengisahkan kembali peristiwa pembuangan yang dialami bangsa Israel. Peristiwa itu dilihat dalam kacamata iman, yaitu sebagai hukuman dari Allah atas ketidaksetiaan umat kepada Allah. Namun yang menarik dari doa itu adalah sharing iman bahwa sekalipun dalam pembuangan dan berlaku sebagai budak, Allah tidak meninggalkan umat-Nya (ay. 9). Allah tetap menyertai mereka.
Hal ini terlihat juga dalam Injil hari ini. Dalam Injil dikisahkan bahwa Tuhan Yesus mengutus para rasul-Nya untuk memberitakan Kerajaan Allah dan menyembuhkan orang sakit. Tuhan Yesus tidak mengutus mereka dalam keadaan “kosong”. Mereka dibekali oleh Tuhan Yesus tenaga dan kuasa-Nya. Ini berarti juga bahwa Tuhan Yesus tidak membiarkan mereka sendirian, melainkan tetap menyertai mereka. Penyembuhan yang mereka lakukan menunjukkan kehadiran Tuhan Yesus yang menyembuhkan.
Dalam kehidupan ini, kita selalu mengalami peristiwa suka dan duka. Tak jarang kita hanya melihat Tuhan dalam peristiwa suka. Sementara saat mengalami kedukaan, kita menilai Tuhan meninggalkan kita. Melalui sabda-Nya hari ini Tuhan menghendaki kita untuk memiliki sikap seperti orang Israel, yang diwakili Ezra. Kita harus sadar bahwa karena cinta-Nya yang besar kepada kita, Tuhan tidak akan meninggalkan kita sendirian menghadapi kesulitan hidup. Dalam situasi duka sekalipun Tuhan tetap hadir. Persoalannya, apakah kita menyadarinya?***

by: adrian