Jumat, 13 Desember 2019

KISAH PENCIPTAAN ADAM DAN HAWA DALAM AL QURAN


Umat islam menyakini Al Quran langsung berasal dari Allah SWT. Ada dua versi pemaknaan dari kata “langsung” ini. Ada segelintir orang memahami bahwa Al Quran, sebagai sebuah kitab, langsung diberikan utuh kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini didasarkan pada kisah turunnya wahyu pertama, saat Muhammad bersemedi di gua Hira. Saat itu suatu malaikat menampakkan diri kepada Muhammad dan memberi perintah singkat: Bacalah! Penafsir mengartikan bahwa pada waktu itu sudah ada kitab, yang kemudian dikenal dengan nama Al Quran. Pemaknaan seperti ini mirip dengan kisah pertobatan Agustinus, yang mendengar suara anak kecil: Bangkit dan bacalah! Agustinus kemudian bangkit dan mengambil Kitab Perjanjian Baru dan dibukanya pada Surat Paulus kepada Jemaat di Roma.
Akan tetapi, ada juga yang memahami bahwa wahyu Allah diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah dan Madinah. Makna “langsung” di sini adalah bahwa ayat-ayat yang ada dalam Al Quran sekarang langsung berasal dari Allah. Keyakinan ini diperkuat dengan pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam QS 32: 2 dan QS 39: 1 – 2, 41. Jadi, ayat-ayat Al Quran tidak hanya dinilai sebagai suci oleh umat islam, tetapi juga benar, karena Allah, yang mewahyukannya, adalah mahabenar. Karena itu, dalam QS 69: 51 dikatakan bahwa “Al Quran itu kebenaran yang meyakinkan.”
Agama islam mengajarkan kepada umatnya bahwa Adam dan Hawa itu nyata ada. Hal ini dapat dipahami karena Adam dan Hawa itu ada dalam Al Quran, dan Al Quran itu merupakan perkataan Allah. Karena itu, mereka tidak hanya diyakini sebagai manusia pertama, tetapi juga sebagai nabi (khusus Adam).  Bagaimana kisah penciptaan Adam dan Hawa dalam Al Quran?

HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR HANYA PENCITRAAN


Saat menghadiri pentas drama “Prestasi Tanpa Korupsi” di SMK 57 Jakarta, Senin (09/12/2019), Presiden Jokowi menyebut bahwa hukuman mati bagi para pelaku tindak korupsi dapat dijatuhi hukuman mati. Menurut Jokowi, penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR. “Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan,” ujar Jokowi.
Apakah pernyataan Presiden Joko Widodo ini merupakan angin segar bagi pemberantasan korupsi atau hanya sekedar pencitraan?
Mewacanakan hukuman mati saja sudah menjadi problematik. Bukan tidak mungkin ada banyak argumen pro dan kontra terhadap hukuman mati itu sendiri, bahkan terhadap kejahatan apa pun. Pegiat hak asasi manusia tentu akan menolak. Gereja Kristen sendiri, baik katolik maupun protestan, dengan terang menolak hukuman mati (lebih lanjut dapat dibaca di sini). Kami sendiri sudah pernah membuat tulisan terkait hukuman mati ini (baca: Hukuman Mati = Efek Jera; Menyoal Hukuman Mati; dan Logika Sesat Hukuman Mati).
Kenapa ada kesan tiba-tiba Jokowi menyuarakan kembali soal hukuman mati bagi pelaku korupsi? Jelas ini hanyalah pencitraan. Dengan mengangkat soal hukuman mati bagi para koruptor, seolah-olah Jokowi peduli pada masalah korupsi; seolah-olah Jokowi ingin serius memberantas korupsi; seolah-olah Jokowi melihat korupsi sebagai kejahatan serius, dan segudang seolah-olah lainnya. Semuanya hendak menegaskan pencitraan Jokowi. Benarkah demikian?
Masih segar dalam benak kita aksi demo mahasiswa menentang beberapa rancangan undang-undang bahkan termasuk undang-undang revisi KPK, yang menelan banyak korban jiwa. Salah satu tuntutan para pendemo adalah agar Presiden mengeluarkan perpu KPK, yang menarik UU revisi KPK yang telah disahkan dan memilih ulang pengurus KPK. Dasar penolakan mahasiswa dan elemen masyarakat atas UU revisi KPK adalah pelemahan KPK. Dengan mengesahkan UU revisi KPK, baik legislatif maupun eksekutif, telihat jelas tidak serius menangani kasus korupsi.
Menanggapi aksi dan tuntutan ini, Presiden Jokowi kukuh dengan pendiriannya: tidak mengeluarkan perpu KPK dan bahwa UU revisi KPK menguatkan KPK. Artinya, Jokowi memang sedang dalam usaha untuk menguatkan KPK dalam memberantas kejahatan korupsi. Jokowi seakan-akan peduli pada KPK, dan hendak memberantas korupsi.

INI ALASAN ISLAM MENILAI INJIL ITU PALSU


Seorang anak kecil (8 tahun) ingin memberikan hadiah ulang tahun untuk ayahnya. Dia tahu kalau ayahnya suka topi. Maka si anak ini, sepulang sekolah, mampir ke toko yang menjual aneka jenis topi. Dia coba pasang ke kepalanya dari satu topi ke topi lain sambil melihat diri di cermin. Akhirnya ia menemukan topi yang pas. Dia minta penjual untuk membungkusnya dengan kertas kado.
Pada saat ulang tahun ayahnya, dia menyerahkan kado itu. Ia meminta ayahnya untuk segera membukanya. Ayahnya tersenyum setelah mengetahui kado itu. Si bocah meminta ayahnya untuk memakainya, karena ia ingin melihatnya. Ternyata topi itu kecil. Tidak pas dengan kepala ayahnya.
“Ah, tak mungkin!” Ujar anak kecil itu. “Kemarin aku coba pas koq.”
“Itu kepalamu,” jelas mamanya.
“Berarti kepala ayah yang salah.”
Demikian sekilas cerita. Si anak memaksakan ukurannya kepada orang lain, sehingga jika ukurannya tidak pas dengan orang lain, maka kesalahan ada pada orang lain.
Berawal dari Sebuah Komentar
Suatu hari, tanpa sengaja saya membuka sebuah situs internet. Ketika melihat isi situs tersebut, saya langsung berkata dalam hati bahwa isi situs itu banyak kebohongannya. Namun bukan isi situs itu yang menarik perhatian saya sehingga melahirkan tulisan ini, melainkan pada sebuah komentar.