Jumat, 12 Mei 2017

SURAT TERBUKA BUAT AHOK

Dear pak Ahok,
Terlebih dahulu saya menghaturkan belasungkawa atas matinya nurani dan keadilan. Ketidakadilan dan matinya nurani menghantar Anda ke balik jeruji. Semua ini karena dua alasan, yaitu agama dan politik. Memang susah kalau menghadapi agama politik dan politik agama. Ini seperti anak domba menghadapi kawanan serigala lapar. Untuk itu, saya merasa sedih dan turut prihatin atas nasib yang Anda hadapi.
Banyak orang sedih. Bukan hanya di Jakarta saja, melainkan di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Banyak orang menangis melihat Anda masuk ke dalam penjara. Dengan berderai air mata, mereka menyanyikan lagu kebangsaan. Banyak orang tak menyangka: manusia sebaik Anda dijebloskan ke dalam penjara. Anda seakan disamakan dengan para penjahat, baik itu koruptor maupun teroris yang membunuh sesama anak bangsa dengan mengatas-namakan agama islam.
Akan tetapi, tak sedikit juga yang tertawa. Tak sedikit orang merasa senang, seakan syahwat kebenciannya sudah tersalurkan. Tentulah Anda tahu siapa-siapa mereka itu. Mereka adalah tokoh agama dan politik. Jadi, semakin jelas kalau agama politik dan politik agama yang menghantar Anda ke balik jeruji penjara. Agama dan politik telah bersenggama hingga mencapai puncak orgasmenya. Karena itu, mereka puas lantas tertawa bahagia.
Dear pak Ahok,
Anda selalu mengatakan bahwa negara ini berdasarkan konstitusi. Hukum harus menjadi panglima. Dan Anda menyatakan diri Anda selalu taat pada konstitusi. Hal ini sudah Anda tunjukkan. Ketaatan pada konstitusi jugalah yang menghantar Anda masuk dalam penjara. Namun, Anda masuk bukan sebagai orang yang salah. Anda ke penjara bukan sebagai orang yang kalah, melainkan orang yang menang. Dengan lapang dada Anda mengajak para pendukung Anda untuk berbesar hati menerima keputusan hakim.
Melihat sikap Anda, saya teringat akan nubuat nabi Yesaya, “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” (Yesaya 53: 7). Nubuat Yesaya memang ditujukan untuk Yesus, yang Anda imani sebagai Tuhan. Namun nubuat itu seakan relevan saat ini untuk Anda. Bukankah para pengikut Yesus harus juga menderita untuk mencapai kemuliaannya? Anda tidak sendirian.
Sungguh saya sangat salut akan kebesaran jiwa Anda. Sikap Anda ini seharusnya membuat malu para pemuka agama dan tokoh politik yang menghantar Anda ke balik penjara. Tapi, apakah mereka merasa malu? Maklum, banyak sesama kita sudah tidak punya rasa malu. Mereka merasa senang dan bangga karena menang dalam membela agama dan politiknya, tak peduli benar atau salah. Karena itu, sudah bisa dipastikan mereka itu tidak akan merasa malu.
Dear pak Ahok,

PENODAAN AGAMA: ANEH TAPI NYATA

Setelah mengadakan sidang dan musyawarah antara ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada 11 Oktober 2016, mengeluarkan fatwa terkait dengan pernyataan Basuki Tjahaya Purnama, atau biasa disapa Ahok, terhadap Al Quran surah Al Maidah ayat 51. Dalam fatwa itu MUI menyatakan bahwa Ahok telah melakukan (1) penghinaan terhadap Al Quran, dan atau (2) penghinaan terhadap ulama. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa Ahok telah menghina islam.
Pernyataan Ahok, yang kemudian menimbulkan gelombang aksi unjuk rasa bela islam, terjadi pada saat kunjungan dinasnya ke Kabupaten Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Di sela-sela pidatonya Ahok berkata, “…. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat Al Maidah 51, macem-macem itu…”
Ada orang yang menyayangkan sikap tergesa MUI dalam mengeluarkan fatwa tersebut. Hamka Haq, anggota DPR dari PDI Perjuangan, menilai seharusnya sebelum mengeluarkan fatwa itu MUI mendengarkan terlebih dahulu keterangan Ahok. Karena menurut Hamka, tidak ada unsur penodaan agama yang dilakukan Ahok saat menyebut surat Al Maidah 51. Penilaian Hamka ini sejalan dengan penilaian Nusron Wahid, yang mengatakan bahwa tidak ada kata-kata Ahok yang menistakan Al Quran.
Fatwa MUI ini tentulah menjadi senjata bagi sekelompok umat islam untuk menjalani kepentingannya. Maka, setelah keluar fatwa itu muncullah gerakan untuk mengawal fatwa MUI. Gerakan ini dimotori oleh Front Pembela Islam. Dalam setiap aksinya, FPI selalu menyatakan bahwa gerakan ini merupakan wujud konkret membela agama islam. Soal membela agama (islam) ini sudah diamanatkan Allah dalam Al Quran.
Oleh karena itu, ada banyak umat islam turun ke jalanan ketika ada komando untuk melaksanakan aksi membela islam. Misalnya seperti aksi damai pada 4 November dan dilanjutkan dengan aksi super damai pada 2 Desember. Aksi ini bukan hanya dilakukan oleh umat islam di Jakarta saja, melainkan juga dari luar kota Jakarta. Ada banyak umat islam dari luar DKI Jakarta datang ke Jakarta untuk membela islam.