Sabtu, 29 Juni 2013

Orang Kudus 30 Juni: St. Bertrandus

Santo bertrandus, uskup & pengaku iman
Bertrandus adalah seorang imam abad keenam. Ia lahir pada tahun 553. Keluarganya tergolong kaya raya. Ia dikenal sebagai seorang imam yang pemurah: ia menghadiahkan beberapa bidang tanah warisannya kepada Gereja dan kepada orang-orang miskin.

Ia ditahbiskan imam di Paris dan kemudian dipilih menjadi pemimpin sebuah sekolah. Pada tahun 587 ia dipilih menjadi uskup di Le Mans, sebuah kota kecil yang dihuni orang-orang Perancis.

Ketika pertentangan politik antara kaum Neustria (Perancis Barat) dan kaum Austrasia (Perancis Timur) terjadi, Bertrandus diusir dari takhta keuskupannya selama beberapa tahun. Kemudian Raja Clotaire II dari kelompok Neustria memanggilnya kembali untuk memimpin keuskupan.

Dari tuan-tuan tanah yang kaya, Bertrandus menerima sejumlah besar tanah untuk kepentingan Gereja. Tanah-tanah ini dimanfaatkannya untuk membangun gereja dan biara serta sebuah rumah penginapan untuk para peziarah. Bertrandus meninggal dunia pada tahun 625 pada usia 70 tahun.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

(C E R P E N) Semalam di KM Bukit Siguntang

SEMALAM DI KM BUKIT SIGUNTANG

Namanya Vera Monica. Apakah itu nama asli atau bukan, aku tidak peduli. Apalah arti sebuah nama! Umurnya, menurut perkiraanku, sekitar 25 tahunan, Mungkin lebih sedikit. Yang jelas tidak lebih dari tiga puluh. Masih muda dan cantik. Rambutnya dipotong pendek model Demi Moore (era awal 90-an), selaras dengan postur tubuhnya yang tinggi langsing. Di antara teman-temannya ¾ semua berjumlah enam orang (cewek semua) ditambah satu orang bapak ¾ dia dianggap sebagai leader (mereka menyebutnya Mak Geng). Barangkali karena faktor usia dan postur tubuhnya tadi.
Kami berkenalan di atas kapal Bukit Siguntang. Ternyata kami sama-sama naik dari pelabuhan Kijang dan tujuan pun sama, yaitu Tanjung Priok. Vera bersama rombongannya tidur di lantai dek lima beralas tikar yang mereka beli dari pedagang yang selalu lalu lalang sebelum kapal berangkat. Aku juga tidur di lantai, tapi bukan dek lima. Persisnya di putaran tangga, pertengahan antara dek empat dan lima. Antara tempatku dan rombongan Vera tak ada batasan. Karena itulah dengan mudah aku memperhatikan mereka, termasuk bila ada yang lagi ganti pakaian. Dari aktivitas memperhatikan inilah akhirnya aku berkenalan dengan Vera.
Sejak kapal berlayar, meninggalkan pelabuhan Kijang, pukul 11.00, aku selalu berada dalam rombongan itu. Aku tak peduli dengan tasku di bawah, meski aku tahu kapal Bukit Siguntang kaya dengan pencuri dan pencopetnya. Mungkin lantaran aku berada di antara cewek-cewek. Pemberitahuan makan siang oleh petugas kapal tidak kami gubris, soalnya ada persediaan. Kami asyik ngobrol, asyik ngegombal sambil bermain kartu. Mulai empat satu sampai song.[1] Ketawa  cekikian  selalu  keluar dari selah bibir mereka yang rata-rata bergincu. Vera juga bergincu, namun warnanya tak senorak beberapa temannya: Pinta, Neneng, Elin, Lusi, Desi dan Fitri. Gincu Vera berwarna coklat muda, serasi dengan warna bibirnya.
Kami bermain hingga pukul 14.15, sampai satu per satu dari kami tergeletak di atas tikar. Tinggal aku dan Vera. Aku berdiri menghampiri Vera, yang sudah dari tadi duduk di tangga menuju dek enam. Ia mengeluarkan sebatang Sempurna Mild, lantas menyelipkan di sela bibirnya. Aku segera menyalakan rokok itu dengan mancisku. Dalam perhitunganku, ini mungkin rokok ke enam belas sejak kami ngobrol bersama. Hebat benar nih cewek, pikirku.
“Ke atas, yuk,” ajakku. “Sambil hirup udara segar. Dari tadi kita di sini terus hirup asap rokok. Sumpek.”
“Lagi malas, bang!” Ujarnya tanpa memperhatikan aku. Segumpal asap rokok keluar dari mulutnya disusul isapan dalam. Tak lama kemudian gumpalan asap keluar dari dua lubang hidungnya berbarengan dengan yang keluar dari sela bibirnya. Aku menggeleng-geleng kecil kepalaku agar tak terlihat olehnya reaksiku atas aksinya itu.
Vera menatap ke arah teman-temannya yang sudah pada tiduran.  Lusi dan Desi tidur berpelukan. Fitri tidur telentang. Kaki kanannya menindih pinggul Pinta yang tidur miring berbantalkan lengannya. Neneng tidur menantang, siap untuk digagahi, kata Vera. Kami berdua tersenyum saja. Sementara di barisan paling ujung, seorang bapak tidur sambil memeluk seorang gadis, yang hingga saat itu belum kuketahui identitasnya. Tapi mereka masuk rombongan Vera.
“Ntar malam aja, bang.”
“Jam berapa?”
“Ya..., sekitar jam sembilanan lah.”
***
Ning – nong – ning ....., terdengar bunyi alarm, pertanda tak lama lagi bakal ada pengumuman. Aku melihat jam di dinding dek lima. Pukul 20. 40. Dan benar, tak lama kemudian terdengar sebuah pengumuman dari balik speaker.
“Perhatian kepada para penumpang. Dua puluh menit lagi akan diputar film khusus dewasa di mini theater di dek dua, tangga paling depan. Film dengan judul Original Sin akan menampilkan aktor Antonio Banderas dan artis cantik Angelina Jolie. Film ini menyuguhkan adegan-adegan menarik, romantis dan seru. Karcis tanda masuk bisa anda peroleh di depan pintu masuk mini theater. Datanglah segera! Jangan lewatkan tayangan menarik ini!”
“Nonton, yuk!” Ajak Neneng penuh semangat.
Kulihat Lusi dan Desi bersiap-siap. Yang lain pun terlihat begitu antusias menyambut ajakan Neneng. Mereka segera mengambil dompet dari tasnya masing-masing. Tak lupa Sempurna Mild. Cuma Vera yang tidak menampilkan ekspresi gembira. Wajahnya biasa-biasa saja. Aku menghampirinya.
“Nggak nonton, Ver?”
 Vera menatapku dengan tatapan bingung. Aku pun ikut-ikutan bingung. “Siang tadi maunya jalan-jalan.”
“Habis nonton, kan bisa.”
“Malas, bang! Paling adegannya gitu-gitu aja.”
“Ya sudah. Kita jalan-jalan saja.”
Setelah rekan-rekan Vera turun ke dek dua, kami segera pergi keluar. Setelah puas mengitari sisi kapal, mulai dari dek enam sampai dek tujuh, akhirnya kami nongkrong di kafe yang berada di dek delapan, bagian paling belakang kapal. Aku memesan dua gelas kopi dan makanan kecil. Kami duduk ngobrol sambil menikmati alunan musik karaoke, yang suara penyanyinya jauh beda dengan musik lagunya.
Dari obrolan itu, aku akhirnya tahu siapa Vera dan teman-temanya. Aku bukan cuma tahu usianya yang 27 tahun, asalnya atau tentang keluarganya, tetapi aku juga tahu profesinya. Pengakuan itu menguatkan dugaanku sebelumnya kalau mereka adalah pelacur (kata itulah yang dipakai Vera. Ia tidak mau memakai istilah lain, yang hanya sekedar pemanis). Aku juga akhirnya tahu siapa bapak tua dalam rombongan mereka yang selalu dekat dengan gadis berambut panjang dan dicat pirang. Dia adalah bos mereka (dikenal dengan istilah tekong) dan gadis itu adalah calon istrinya. Entah istri ke berapa, jelas Vera cuek.
“Di kampung, aku dijanjikan kerja di restoran di Singapor. Sampai di sana aku bukannya kerja di restoran, tapi di sebuah bar tempat ajang pelacuran.”
“Apa kamu nggak berontak?”
“Mulanya sih kita nolak. Tapi karna dipaksa dan terpaksa, yah dijalani aja. Eh, akhirnya terbiasa. Lumayan, bisa bantu keluarga di kampung. Adikku sudah bisa kuliah. Semester akhir.”
Aku memperhatikan arloji Vera. Waktu menunjukkan pukul 22:15. Aku mengajaknya turun ke lantai tujuh. Orang-orang di kafe semakin banyak. Aku merasa tak enak kalau pembicaraan kami didengar orang lain. Vera ternyata mengerti kemauanku. Kami duduk di atas pagar lambung kanan kapal di dek tujuh. Berdua kami menghadap ke arah kegelapan malam. Bulan yang muncul belum sempurna bentuknya. Mungkin dua hari lagi, pikirku.
Vera mulai bercerita tentang tempatnya berkerja. Ia berkata bahwa rata-rata cewek-cewek di sana masih muda. Dalam rombongannya di kapal, Desi adalah yang termuda. Umurnya baru 18 tahun. Desi bekerja sejak usia 16 tahun, sama seperti dirinya dulu. Di tempat mereka, suasana sungguh menyenangkan. Diri mereka sungguh dihargai, dihormati dan dilayani. Ini membuat mereka betah dan senang dengan profesinya (aku nggak ngerti bentuk penghargaan, penghormatan dan pelayanan yang mereka terima).
“Di tempat kami ada batas maksimum bekerja. Kalo udah umur 30, kita nggak dipake lagi. Udah kadaluarsa.” Vera tersenyum. ”Contohnya dua cewek yang tidur di bawah abang.”
Aku ingat akan dua wanita yang tidur di dek empat, persis di bawah turunan tangga. Sebelum aku larut dalam kelompok Vera, aku sempat ngobrol dengan dua wanita itu. Keduanya sudah berstatus janda. Yang satu sudah kawin empat kali, yang lain baru dua kali. Anak-anak mereka di kampung bersama neneknya.
“Mereka dulu juga kerja di sana. Tapi karna usianya udah 30, mereka pindah ke Pinang. Soalnya, batasan maksimum di Pinang agak longgar.”
Aku mengajak Vera turun ke dek enam. Kami berjalan bergandengan menyusuri sisi kiri kapal. Kami menuju ke anjungan, bagian depan dek enam. Suasananya gelap agak remang-remang. Cocok buat orang pacaran. Cahaya rembulan yang belum sempurna menambah asyik suasana. Waktu menunjukkan pukul 23:30.
Ketika kami tiba di anjungan, ternyata sudah ada beberapa pasangan dengan berbagai aktivitas. Ada yang peluk-pelukan. Yang duduk di bangku asyik cium-ciuman sambil raba-rabaan. Ada juga yang pegang-pegangan atau gerayang-gerayangan. Pokoknya, orang melakukan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain. Aku dan Vera memilih di pojok kiri anjungan. Kami berdiri menghadap ke depan kapal. Tiupan angin sangat terasa kencangnya. Seakan-akan diri kami mau terlempar olehnya. 
Aku coba memulai pembicaraan. Menyambung pembicaraan sebelumnya, aku coba menasehati Vera dengan berbagai argumen etika-moral dan HAM. Tak ketinggalan juga masalah penyakit, jender dan emansipasi wanita kuutarakan. Entah kenapa, semua itu mengalir dengan lancar. Mungkin aku memiliki bakat sebagai konselor atau sejenisnya. Aku tidak tahu. Namun yang membuat aku kaget adalah tanggapan Vera. Pertama kukira Vera akan takjub dengan nasehatku, tersentuh lalu menerima perkataanku. Ternyata Vera malah bersikap sinis.
“Kenapa sih banyak orang pada sibuk ngurusi orang lain? Kenapa musti repot-repot kalo memang wanitanya mau diperdagangkan?”
“Tapi kalian diperdagangkan demi sebuah bisnis kotor. Bisnis seks! Masa’ tubuh kalian mau dihargai tujuh ratus ribu hingga satu juta.”
“Emang ada yang lebih dari itu? Mau dong,” Vera bercanda. “Udahlah bang, nggak usah munafik dan sok moralis. Dunia sekarang sudah kotor semua, kok. Coba abang pikir. Apa bedanya kami ini dengan para wakil rakyat. Bukankah mereka itu diperdagangkan ke Senayan oleh partainya. Di Senayan mereka sibuk menjual pikiran, sibuk ngobral ocehan dan janji-janji gombal. Itu semua demi partai. Apa itu nggak kotor?”
Aku terhentak kaget mendengar pengakuannya. Aku jadi ingat kisah mundurnya ketua PDI-Perjuangan dari jabatan komisi di Senayan. Yah, Sophan Sophian pernah berkata kalau dirinya mundur lantaran dunia politik (termasuk Senayan) sudah tak cocok lagi buatnya. Yang benar disalahkan, yang salah menjadi benar. Mungkin Pak Sophian tahu bahwa politik di Senayan sudah kotor. Atau barangkali ia sudah sadar kalau dirinya diperdagangkan oleh partainya. Barangkali mungkin. Dan bila demikian, benarlah apa yang dikatakan Vera.
“Aku heran, kenapa pemerintah sibuk nguber-nguber jaringan bisnis wanita ini. Padahal kalo kita liat di tivi, di sana pun ada perdagangan kaum perempuan. Kok, nggak diapa-apain? Aku senang dengan aksi para pelacur di Kalkuta, yang ada di Kompas hari ini.[2] Mereka berkata bahwa penolakan moral atas profesi mereka adalah tidak bermoral. Mereka menuntut pengakuan sosial dan hak-hak hukum. Mereka ingin hak-hak sebagai pekerja, menikmati apa yang dirasakan oleh pekerja, yang bekerja dan membanting tulang dengan tubuhnya. Kiranya Indonesia perlu mengikuti cara itu”
“Apa maksudmu dengan perdagangan perempuan di tivi?”
Yaa, abang ini emang nggak tau atau pura-pura nggak tau? Iklan-iklan itu, lho! Banyak iklan menampilkan cewek-cewek cantik, seksi, banehol, sensual, seronok dan lain-lain. Liatlah si Yanti dengan kemontokan buah dadanya dalam iklan Hemaviton action. Atau Diana dengan kemulusan pahanya. Bukankah itu bentuk pelecehan terhadap tubuh wanita? Atau cara berpakaian dan gaya penyanyi serta penari wanita di tivi yang dinilai banyak orang kurang etis. Mereka memakai longdress yang diberi belahan sampai pangal paha. Pakaian dibuat sedemikian rupa, sehingga memperlihatkan perut dan pusarnya dengan  jelas. Kostum  serba rapat tapi bahannya serba tipis, sementara CD-nya dibuat dari bahan yang mengkilat warna kontras dengan pakaian luarnya agar kelihatan jelas CD-nya. Apa itu bukan bentuk perdagangan tubuh perempuan. Toh, mereka juga dibayar agar mau tampil seronok dan sensual dengan memamerkan bagian-bagian tubuh yang menggoda. Semakin berani tampil seronok, semakin tinggi juga bayarannya.”
Aku terdiam.
“Oya, bicara soal iklan, aku jadi ingat satu hal ini. Ternyata agama pun sudah mulai diperdagangkan. Orang menawarkan barang dengan pake nama, atribut atau unsur agama. Agama sungguh-sungguh dimanfaati, agar umatnya mau membeli. Sama saja artinya agama diperdagangkan. Apa itu nggak lebih kotor dari perdagangan wanita? Tapi orang kok diam saja? Apa karena kami wanita?”
Aku tak bisa dan tak mau menjawab. “Tapi, apa kamu sadar kalo dirimu diperdagangkan? Apa kamu nggak sadar kalo kamu ada dalam bisnis yang kotor?”
Yaaaa, si abang ini. Tadi kan udah kubilang bahwa dunia sekarang ini memang lagi kotor semua.”
“Tapi kita nggak usah ikut-ikutan kotor, dong. Contohnya Sophan Sophian.” Aku coba berteori. “Ia sadar kalo dunianya sudah kotor. Ia tau bahwa dirinya sedang diperdagangkan partainya. Namun akhirnya ia memilih keluar dari dunia politik. Ia keluar dari Senayan.”
“Dia itu manusia langka! Tempatnya emang bukan di Senayan, tapi di museum. Jadi barang pajangan untuk dilihat, dikagumi dan dibicarakan orang serta menjadi bahan catatan sejarah.”
Malam kian larut. Kapal yang kami tumpangi terus melaju membelah kegelapan malam. Angin bertiup sangat kencang sehingga menusuk tulang-tulang persendianku. Sesekali aku menggigil, tapi aku berusaha menahannya. Malu bila ketahuan Vera yang sepertinya sudah biasa dengan angin malam. Aku mencoba merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Ternyata ia melakukan hal yang sama. Maka kucoba memberanikan diri untuk merangkulnya. Vera memeluk pinggangku.
Kuperhatikan daerah sekitarku. Ternyata tinggal kami berdua yang ada di anjungan. Kuajak Vera duduk di bangku tengah. Vera duduk di antara kedua pahaku. Posisi ini memungkinkan aku puas memeluknya dari belakang. Kuraih tangan Vera untuk melihat jam. Pukul 24:10. Tentu pintu-pintu sudah ditutup. Soalnya tadi dua puluh menit sebelum pukul 24:00, diumumkan agar penumpang kembali ke tempatnya masing-masing; pintu-pintu keluar akan dikunci. Aku sudah mengajak Vera untuk kembali, tapi ia mau habiskan malam ini bersamaku.
“Dingin ya, bang.”
“Ehm!”
Kami terdiam dalam keheningan malam. Sejenak kami coba merasakan aliran-aliran kehangatan dalam tubuh sebagai reaksi atas dekapan tubuh.
“Ver, apa kamu sebenarnya suka dengan pekerjaanmu ini?”
“Segalanya serba terpaksa. Mulanya sih Vera sempat kaget, karena dari kampung dijanjikan kerja di restoran. Tapi, akhirnya terpaksa Vera jalani saja.”
“Di dunia ini banyak juga yang serba terpaksa. Ada yang sudah susah payah kuliah, akhirnya jadi tukang ojek. Kadang ijasahnya nggak cocok dengan bidang kerja yang sedang digelutinya. Nah, miripkan dengan kami?” Vera tersenyum. “Ada sarjana lulusan akademi pelayaran, ujung-ujungnya jadi guru SMP, karena nggak ada pekerjaan lain. Di pelosok desa terpencil pula [3]
Aku jadi ingat pada beberapa temanku yang sudah menyandang gelar sarjana. Ada yang jadi pegawai bank. Ada yang satpam. Ada yang jadi kepala gudang. Ada yang kerja di LSM anak jalanan. Ada juga yang kerjanya di bengkel. Benar apa yang dikatakan Vera. Semua itu dilakukan karena terpaksa. Semua itu karena uang. Uanglah yang membuat Vera dan rekan-rekannya terjun dalam dunia pelacuran di negeri orang.
Uang sudah menjadi dewa yang selalu disembah dan dicari-cari. Manusia sudah menjadi budak. Apa saja dilakukan, halal dan tak hahal, hanya demi uang. Mengapa manusia mau mencari dan mengejar uang? Kenapa mereka mau menjadi budak uang? Demi kebahagiaan? Apakah kebahagiaan harus diiperoleh dengan uang?
Apalagi di Indonesia ini. The name of the game is (only) money, kata orang. Di Indonesia ini yang ada cuma permainan duit. Jangan bicara soal rasa aman. Jangan bicara soal penegakan hukum. Jangan ngomong soal keadilan. Jangan ngomong soal kehidupan dan bernegara yang tertib dan teratur. Jangan ngomong soal hati nurani. Semua nilai dan ukuran kehidupan cuma diukur dengan uang... Sebab permainan yang dikenal di Indonesia cuma duit, duit, duit. Duit menjadi permainan satu-satunya, yang mendominasi kehidupan bangsa. Semua orang tahu, mana ada urusan apa pun di Indonesia ini, yang tidak pakai duit.[4] 
Jari telunjukku membelai lembut di pipi Vera yang mulus. Vera tetap berada dalam dekapanku. Aku seakan tak mau melepaskannya. Kusandarkan kepalaku ke sisi kanan kepalanya hingga ia dapat merasakan hembusan nafasku.
“Ver ....”
Vera menengadah menatapku. Perlahan kelopak matanya tertutup dan bibirnya sedikit terbuka. Sebuah isyarat bahwa ia ingin dicium. Aku tak mau membuang kesempatan itu. Segera kurapatkan bibirku. Dalam sekejap kami larut dalam lumatan kenikmatan nafsu birahi. Tangan kananku dengan sengaja mendarat lembut di sebuah bukit yang kenyal. Kucoba membelai dan meremasnya, namun tiba-tiba Vera menepis tangan usilku.
“Yang ini ada bayarannya, lho!” ujar Vera tanpa ekspresi marah. Ia malah tersenyum, membuat aku jadi malu.
Akhirnya kami larut dalam kehangatan malam. Dinginnya malam sudah tak terasa. Putaran waktu terus berpacu menyongsong pagi. Kapal Bukit Siguntang tetap melaju  menembus kegelapan dan kesunyian malam di tengah lautan pekat. Pelabuhan Tanjung Priok sudah siap menanti. Di sanalah kami nanti berpisah, menuju pada kehidupan kami masing-masing.
Vera terlelap dalam dekapanku.
Selamat jalan, Ver! batinku. Semoga kamu selalu bahagia walau pekerjaanmu dipandang hina oleh masyarakat. Aku tetap menerimamu apa adanya. Apapun dirimu, aku akan tetap selalu menerimamu, meski aku tak bisa memilikiku ***

by: adrian
KM Bukit Siguntang, dalam perjalanan ke Tg. Priok, Jakarta,
 25-26 Feb 2002
Baca juga cerpen lainnya:
1.      Maafkan Aku, Lala
2.      Leo dan Lia
3.      Cita-cita Warni
4.      Kuda Lumping
5.      Pasien Kamar 14
6.      Jam Waker



[1] Empat satu adalah jenis permainan kartu dengan cara menjumlahkan angka kartu hingga berjumlah 41 (kartu gambar bernilai sepuluh). Song adalah sejenis permainan kartu khas kepulauan Riau, yang dimainkan dengan cara membuat kartu seri atau dengan membuat kartu paralel (Joker memiliki posisi netral). Kalau di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan Leng
[2] Ini tambahan terakhir, dikutip dari Kompas, (maaf kami lupa tanggalnya); yang jelas kutipan tersebut diambil dari kolom “Kilasan Kawat Dunia”, masih dalam format lama (thn 2002). 
[3] Kisah seorang guru SMP di sebuah desa miskin di pegunungan gamping dalam Ratri, Murid Nomor Satu, cerpen karya Seno Gumira Adjidharma
[4] Bagian yang dicetak miring adalah tambahan kemudian, dikutip dari Kompas, 17 Maret 2002, hlm 25. Diandaikan tulisan ini sudah ada saat itu.

Orang Kudus 29 Juni: St. Petrus & Paulus

Santo petrus & paulus, rasul
Sejak semula Gereja menghormati kedua rasul, Petrus dan Paulus, secara bersama-sama. Kedua rasul ini dianggap sebagai sokoguru Gereja.

Simon, anak Yunus dan saudara Andreas, lahir di Betsaida, Galilea, sebuah kampung di tepi danau Genesaret. Seperti ayahnya, Simon adalah seorang nelayan yang ulet, bertabiat jujur dan rajin. Ia tidak berpendidikan tetapi cukup trampil dalam pekerjaannya sebagai seorang nelayan. Kepribadiannya sangat menarik perhatian Yesus; karena itu Yesus berkenan menjadikannya seorang murid-Nya, bahkan mengangkatnya menjadi pemimpin para rasul dan pemimpin Gereja yang pertama.

Pada mulanya, Simon bersama saudaranya Andreas, menjadi murid Yohanes Pemandi. Oleh Andreas, Simon diperkenalkan kepada Yesus, Sang Mesias yang dinanti-nantikan oleh seluruh bangsa Israel. “Kami telah menemukan Mesias, yaitu Kristus,” kata Andreas kepada Simon. Pada saat itu, Yeus berkata kepada Simon, “Engkau Simon anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (Artinya: Petrus).” (Yoh 1: 41 – 42). Kefas berarti wadas atau batu karang. Sejak saat itu dia lebih dikenal dengan nama Petrus.

Petrus secara resmi berkeputusan mengikuti, Sang Mesias, dengan meninggalkan segala-galanya, ketika ia menyaksikan mujizat penangkapan ikan secara ajaib oleh Yesus. Kata Yesus kepada Petrus, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Petrus berkata kepada Yesus, “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa. Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Dengan kepercayaan ini Petrus menyaksikan kuasa Yesus, Sang Mesias. Dan di depan Yesus yang penuh kuasa ilahi itu Petrus bersujud, “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” Kepada Petrus yang rendah hati itu Yesus berkata, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Setelah penyerahan diri ini Petrus diperkenankan menyaksikan berbagai peristiwa dan akhirnya dipercayakan tugas menjadi pemimpin para rasul dan gembala kaum beriman.

Di samping kisah-kisah yang menampilkan pribadi Petrus sebagai orang kepercayaan Yesus, terdapat juga kisah Injil yang menampilkan pribadi Petrus  sebagai seorang yang masih dangkal imannya dan belum memahami benar kehendak Allah atas diri Yesus. Dalam Matius 16: 21 – 28 dikisahkan tentang pemberitahuan Yesus tentang penderitaan-Nya dan Petrus serta merta berkata, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takakan menimpa Engkau!” “Enyahlah iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia,” demikian teguran Yesus kepada Petrus. Ia juga menyangkal Yesus ketika Yesus ditangkap dan diadili (Mat 26: 30 – 35; 69 – 75).

Sesudah kebangkitan Yesus, Petrus diangkat menjadi pemimpin keduabelas rasul dan menggembalakan kaum beriman di Yerusalem. Petrus juga yang menerima orang kafir pertama ke dalam Gereja dan memimpin konsili pertama di Yerusalem.

Paulus (Saulus) lahir di Tarsus, Asia Kecil, dari keluarga Yahudi yang berkewarganegaraan Romawi. Ia seorang terdidik dan belajar di Yerusalem pada Gamaliel, dari kelompok Farisi. Sebagai seorang Farisi yang fanatic, Saulus tiada hentinya mengejar dan memenjarakan murid-murid Yesus.

Dalam perjalanannya ke Damsyik, Yesus menangkapnya dan menjadikan dia seorang rasul untuk bangsa-bangsa kafir. Ia dipermandikan oleh Ananias. Ia menjelajahi seluruh daerah Laut Tengah untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa kafir. Perjalanan misinya senantiasa diwarnai dengan berbagai kesulitan dan pertentangan dengan kaum kafir. Di Yerusalem ia ditangkap oleh seorang Yahudi lalu dipenjarakan dan dibawa ke Roma sebab ia naik banding kepada kaisar. Akhirnya ia dibebaskan. Tak lama kemudian dia ditangkap lagi dan akhirnya menemui ajalnya sebagai martir di Roma pada tahun 67.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan HR St Petrus & Paulus, Rasul, Thn-C

Hari Raya St. Petrus & Paulus, Rasul, Thn C/I
Bac I   : Kis 12: 1 – 11; Bac II        : 2Tim 4: 6 – 8, 17 – 18;
Injil     : Mat 16: 13 – 19

Hari ini adalah hari raya St. Petrus dan St. Paulus, rasul. Bacaan-bacaan hari ini menampilkan kedua sosok rasul ini. Bacaan pertama dan Injil menampilkan sosok Rasul Petrus, sedangkan bacaan kedua rasul Paulus. Ada dua kesamaan dari kedua sosok ini yang ada dalam sabda Tuhan hari ini.

Kesamaan pertama ada pada diri Yesus yang mereka ikuti dan layani. Yesus inilah, yang dalam Injil disebut Petrus sebagai Mesias, sang penyelamat. Dialah yang diwartakan oleh Petrus dan Paulus. Dan karena Dia jugalah mereka mengalami bahaya dan penderitaan. Petrus dipenjarakan (kis 12: 4 – 10), sedangkan Paulus “dari setiap usaha yang jahat.” (2 Tim 4: 18).

Kesamaan kedua adalah penyelamatan dari bahaya yang mereka alami. Karena Yesus mereka mendapat bahaya, namun karena Yesus pula mereka mendapat penyelamatan. Petrus mendapatkan penyelamatan melalui malaikat Tuhan (Kis 12: 11) dan Paulus juga mendapat penyelamatan dari Tuhan (ay. 18).

Pada hari raya dua rasul besar ini, ditambah dengan sabda Tuhan, kita ditawarkan teladan hidup kedua orang kudus ini. Kita diajarkan bagaimana cara mengikuti Yesus. Kedua rasul ini sudah menunjukkan apa yang pernah dikatakan Yesus, sang Gurunya, yaitu bahwa mengikuti Dia berarti memanggul salib-Nya juga. Bersediakah kita?

by: adrian

Jumat, 28 Juni 2013

Sinode II Keuskupan Pangkalpinang: Mari Bercermin

Harimau yang Berubah

Seekor anak harimau ditinggal mati induknya. Dia berjalan dalam kedukaan tanpa arah dan tiba di sebuah peternakan seorang petani. Di peternakan itu ada induk kambing. Melihat nasib anak harimau itu, timbullah naluri keibuan induk kambing itu. Maka, induk kambing itu mengadopsi anak harimau itu dan membesarkannya bersama anaknya yang lain.

Karena dibesarkan dan hidup dalam lingkungan kambing, anak harimau itu menyadari dirinya sebagai seekor kambing. Maka dia berjalan dan mengembik seperti kambing. Dia juga makan daun-daunan seperti kambing. Waktu demi waktu berlalu. Sang anak harimau itu pun tumbuh menjadi besar. Dan dia tetap menyadari kalau dirinya adalah kambing. Sekalipun saudara-saudaranya mengatakan bahwa dirinya adalah harimau, karena wajahnya lain dari mereka, dia tetap setia pada pendapatnya.

Pada suatu hari dia bersama saudara-saudaranya berjalan di padang yang luas. Mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam. Tiba-tiba datang beberapa ekor harimau menyergap. Anak harimau yang telah menjadi besar berlari menyelamatkan diri bersama saudara-saudaranya. Seekor harimau besar merasa aneh ketika melihat hal itu. Bersama temannya, dia berusaha mengejar anak harimau yang telah besar.

Harimau besar itu berhasil menangkapnya. Dalam ketakutannya, anak harimau yang telah besar itu memohon belas kasihan.

Harimau besar, “Kami tidak akan memakanmu. Kami cuma mau bertanya kenapa kamu lari ketakutan sama seperti kambing-kambing itu?”

Anak harimau, “Aku kambing.”
Harimau besar, “Kamu harimau! Kamu sama seperti kami.”
Anak harimau, “Bukan! Aku kambing.”

Harimau besar itu, bersama temannya, mengajak anak harimau yang telah besar itu ke tepi danau. Air danau itu tenang dan sangat bening. Harimau besar itu menyuruh anak harimau yang telah besar itu untuk melihat wajahnya di permukaan danau.

Ketika anak harimau yang telah besar itu melihat dirinya di permukaan air danau yang bening dan tenang, dia langsung menyadari siapa dirinya. Spontan dia pun mengaum. Dan dia menjadi harimau.

Tiga Cermin
Tgl 2-8 Agustus Gereja Keuskupan Pangkalpinang menyelenggarakan sinodenya yang kedua. Dalam sinode ini peserta sinode mencoba untuk menemukan apa yang akan dilakukan bersama ke depan dalam kurun waktu satu dekade. Sinode mau mengajak kita untuk bergerak bersama dalam satu kata dan satu tindakan dengan tetap menghargai kekhasan paroki masing-masing.

Sinode sebenarnya bisa dijadikan ajang untuk berefleksi, melihat diri sendiri untuk memperbaiki diri. Berefleksi merupakan suatu tindakan seperti bercermin/berkaca untuk melihat diri sendiri, yang dengannya orang bisa membenahi dirinya (yang baik dipertahankan, yang kurang diperbaiki). Ibarat orang bercermin, orang akan melihat dirinya sendiri lalu membenahi dirinya. Pembenahan berdampak pada kesempurnaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan sikap rendah hati agar jangan sampai buruk rupa cermin dibelah.

Dalam sinode ini, peserta sinode banyak ditawarkan cermin. Dalam kesempatan ini saya mengambil tiga cermin yang menjadi tema pertemuan di hari kedua. Tiga cermin ini adalah Politik, Ekologi dan Hubungan Antar Agama. Saya mengambil 3 tema ini menjadi cermin untuk kita berefleksi karena waktu sinode kemarin ketiga tema tersebut tidak dijadikan cermin agar kita bisa melihat wajah Gereja Keuskupan Pangkalpinang. Tiga tema itu hanya sebatas resume. Dia cuma menjadi realitas di luar kita. Ada kesan bahwa menampilkan 3 tema itu sebagai resume membuat Gereja seakan-akan hanya bias mengadili realitas di luar dirinya. Padahal realitas itu tak jauh berbeda dengan realitas di dalam Gereja Keuskupan Pangkalpinang sendiri. Untuk itulah sebenarnya sinode ini seharusnya menjadi ajang bersih-bersih diri dengan refleksi diri. Kita perlu merefleksikan 3 tema itu untuk konteks keuskupan. Dalam hal ini refleksi berarti otokritik.

Cermin I: Tema Politik
Dalam dunia politik, khususnya gambaran perpolitikan di Indonesia, terungkap beberapa realitas. Pertama, uang menjadi dominan. Adanya transaksi kekuasaan dan jabatan, semua karena uang. Hal ini telah menghilangkan nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Dan ini terjadi di tingkat elite. Kedua, pimpinan yang tidak tegas. Ketidaktegasan ini mengakibatkan banyaknya kebijaksanaan yang tidak berjalan dan memperparah situasi. Ketiga, ketidaktegasan pemimpin ini mungkin disebabkan oleh adanya politik saling sandera. Yang satu memegang kartu truf yang lain, demikian pula sebaliknya. Keempat, mental melodramatik. Mental ini terlihat dari sikap mudah lupa, cepat iba dan gampang sekali bosan.

Kelima, menghadapi realitas politik di atas, muncullah berbagai sikap dalam masyarakat. Ada masyarakat yang mengambil sikap apatis, tidak mau peduli dengan masalah yang terjadi: yang penting urusan pribadi saya aman-aman saja. Ada juga masyarakat yang bersikap pragmatis: selagi menguntungkan saya akan terlibat. Dan ada pula masyarakat yang memiliki sikap kritis demi tegaknya nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bersama.

Nah, uraian di atas merupakan gambaran realitas perpolitikan di negara kita. Realitas ini dipaparkan dalam sinode, sudah seharusnya gambaran ini menjadi cermin bagi kita untuk melihat wajah keuskupan. Dengan berani melihat wajah kita melalui cermin politik, kita tidak hanya bisa mengkritik/mengecam elite politik negara ini dan menuntut adanya perubahan, melainkan juga kita bisa mengkritik diri kita sendiri dan menuntut terjadinya perubahan di keuskupan kita. Dan kalau ini benar-benar dijadikan cermin, marilah kita sama-sama melihat:
     1)      Apakah pengaruh uang sangat dominan dalam kehidupan kita, baik sebagai imam maupun sebagai awam? Apakah ambisi-ambisi jabatan kekuasaan, yang semuanya demi uang, sampai-sampai nilai-nilai moral dan kejujuran dilangkahi, ada dalam realitas kita?
     2)      Apakah pemimpin kita sudah bertindak tegas?
     3)      Kalau di negara ada politik saling sandera, apakah di keuskupan ada politik saling sandera antara hirarki gereja?
     4)      Apakah ada mental melodramatik di kalangan umat dalam menyikapi persoalan di level hirarki?
     5)      Bagaimana sikap umat dan kaum pinggiran? Apakah ada yang apatis, kritis atau pragmatis?

Inilah pertanyaan panduan untuk dapat melihat wajah keuskupan. Kita masih bisa menambah lagi dengan pertanyaan lain, misalnya soal kebohongan publik. Seperti dalam dunia politik kita saat ini dimana rakyat dibingungkan dengan kebohongan-kebohongan para elite. Kita bisa bertanya bagaimana dengan kita? Bukankah umat sempat dibingungkan dengan pernyataan para imam soal adanya imam yang bergaji? Ada yang berkata bahwa ada imam yang menerima gaji di atas uang saku dan tidak menyerahkan ke keuskupan, tapi ada imam yang mengelak dengan mengeluarkan argumen hukum (aturan). Umat bingung siapa yang benar dan siapa yang berbohong?

Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat. Ibarat kalau kita bercermin. Jika ternyata rambut belum tertata atau masih ada sisa bedak yang belum rata atau kancing baju yang kurang pas, maka kita segera menata rambut atau merapikan bedak atau mengatur kancingnya.

BERANIKAH KITA???

Tema II: Tema Ekologi

Dalam uraian tema ekologi ini terungkap beberapa realitas negatif yang terjadi di Indonesia atau secara khusus di provinsi Bangka-Belitung dan Kepulauan Riau, yang termasuk wilayah Keuskupan Pangkalpinang. Realitas itu adalah pertama, keserakahan segelintir orang yang menguasai sebagian besar lahan yang ada, yang mana lahan itu merupakan salah satu aset kekayaan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Keserakahan ini berdampak pada kerusakan alam.  Kedua, egoisme orang yang hanya memperhatikan kepentingan sesaat untuk diri sendiri (keluarga/kelompok) tanpa memperhitungkan anak cucu manusia.

Sikap serakah membuat orang mengeksploitasi alam dan lingkungan secara tak bertanggung jawab. Segala cara dilakukan, entah legal atau tidak legal, demi pemenuhan nafsunya. Demikian pula sikap egois. Sikap ini menyebabkan orang mencari keuntungan pribadi tanpa peduli akan nasib sesama baik di masa kini maupun di masa depan.

Di sini kita bisa bercermin untuk melihat diri kita, umat Allah Keuskupan Pangkalpinang. Dengan menjawab pertanyaan berikut ini, kita bisa melihat wajah itu:
     1)      Apakah keserakahan ada pada diri imam dan/atau umat sehingga sebagian besar aset kekayaan keuskupan dikuasainya?
      2)      Apakah keserakahan yang berdampak pada eksploitasi lingkungan ada dalam diri imam dan/atau umat?
      3)      Apakah egoisme dalam semangat memanfaatkan aset kekayaan keuskupan, sama seperti egoisme memanfaatkan kekayaan alam di negara ini, untuk kepentingan pribadi dan keluarga ada pada diri imam dan/atau umat?
   
   Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat.

BERANIKAH  KITA???

Tema III: Tema Hubungan Antar Agama
Dalam penjelasan tentang tema hubungan antar agama, terlihat adanya beberapa realitas negatif yang terjadi di Indonesia. Realitas itu adalah pertama, adanya fanatisme agama yang berdampak mulai dari kebencian dan penolakan kelompok lain sampai kepada kekerasan yang mengatas-namakan agama. Kedua, adanya pemaksaan kehendak kepada orang lain. Pemaksaan ini bukan saja terarah kepada orang yang berbeda agama melainkan juga yang seagama dengan dirinya. Di sini seakan ada kesan bahwa sayalah yang benar sedangkan yang lain salah. Tiga, adanya politik pembiaran. Ini bisa terjadi karena tidak adanya ketegasan dari elite politik (pimpinan negara) dan juga elite agama sehingga agama sering dipolitisasi. Keempat, cara beragama hanya berhenti di tempat ibadah, bersifat ritual dan tidak memiliki dampak sosial yang membangun peradaban. Kelima, rusaknya pendidikan agama, bukan saja di tingkat formal (sekolah) tetapi juga pada tingkat informal (keluarga).
Dari sini kita diajak untuk bercermin sehingga bisa mengenal wajah keuskupan Pangkalpinang. Untuk itu mari kita lihat wajah keuskupan kita dengan berkaca pada tema hubungan antara agama:
      1)      Apakah sifat fanatisme akan iman dan/atau Gereja Katolik ada pada diri umat dan/atau umat?
      2)      Apakah sifat merasa diri benar ada pada diri imam dan/atau umat sehingga terjadinya pemaksaan kehendak? Imam memaksakan kehendaknya karena merasa dirinya benar dan pintar sementara umat salah dan bodoh.
     3)      Apakah ada rasa benci dan sikap menolak orang dari kelompok lain dalam diri imam dan/atau umat?
   4)      Apakah ada umat dan/atau imam yang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan menggunakan dasar agama?
      5)      Apakah ada politik pembiaran di Gereja kita saat terjadi tindak kekerasan?
    6)      Bagaimana cara beragama kita? Apakah masih bersifat ritual dan hanya mengejar kesalehan pribadi atau sudah memiliki dampak sosial yang membangun peradaban?
    7)      Apakah imam dan/atau umat (keluarga) sudah menanamkan benih-benih cinta kasih, saling menghormati dan menghargai dalam diri anak-anak kita?
   
   Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat.

BERANIKAH KITA???

Akhir Kata
Seorang ibu peserta sinode mengungkapkan kerisihannya pada kemewahan para imamnya. Kemewahan yang dimaksudkannya adalah kalung emas dan kamera. Spontan saya teringat akan realitas politik negeri ini: Senayan menjadi showroom mobil. Jadi, kalau di senayan dijadikan ajang pamer kekayaan elite politik, sinode kemarin pun tak kurang menjadi ajang pameran kekayaan para imam.

Tulisan ini tidak memiliki maksud lain selain mau mengajak kita untuk bercermin, melihat kelemahan-kelemahan kita. Dan dari aksi bercermin ini akan muncullah perubahan. Akan tetapi perubahan mengandaikan adanya KEMAUAN dari SEMUA umat Keuskupan Pangkalpinang, baik dari kalangan hirarki (uskup dan para imam), kelompok hidup bakti serta kaum awam. Kalau hanya kaum awam atau kelompok hidup bakti saja yang bercermin dan mau melakukan perubahan, maka tidak akan ada perubahan yang sesungguhnya. Jadi, perubahan akan terjadi bila ada aksi bersama. Untuk itulah sangat bagus tema ini dijadikan cermin saat sinode. Bukankah sinode itu berarti berjalan bersama?

Perubahan adalah langkah akhir; atau buah dari refleksi. Langkah awal yang musti dilakukan adalah pertobatan dan rekonsiliasi. Pertobatan adalah aksi individu. Masing-masing kita melihat diri kita, apakah masih ada kekurangan dalam diri saya berkaitan dengan 3 cermin di atas. Setelah menemukan kekurangan itu, kita masing-masing segera berbenah diri. Pertobatan ini bukan hanya terjadi pada diri umat, melainkan juga, dan malahan yang utama, para imamnya. Sedangkan rekonsiliasi merupakan aksi kolektif. Kita harus menumbuhkan rekonsiliasi dimulai dari kelompok kaum religius, kelompok kaum lembaga hidup bakti, kelompok kaum awam dan antar kelompok.

Serrata Terrace Hotel, 8 Agustus 2011

Orang Kudus 28 Juni: St. Ireneus Lyon

SANTO IRENEUS LYON, USKUP & MARTIR
Ireneus lahir di Asia Kecil kira-kira pada tahun 140. Pendidikannya berlangsung di Smyrna. Pelajaran agama diperolehnya dari Santo Polykarpus, seorang murid Santo Yohanes Rasul. Rowayat hidupnya kurang diketahui, tetapi dari tulisan-tulisannya sendiri dapatlah diperoleh banyak informasi tentang dirinya. Pada masa tuanya ia mengirimkan sepucuk surat kepada seorang temannya di Smyrna. Dari surat itu diketahui kesannya terhadap pengajaran Santo Polykarpus. Sebagian suratnya dapat dibaca dalam kutipan berikut: “Peristiwa-peristiwa pada masa itu masih kuingat baik daripada yang terjadi baru-baru ini. Karena yang kita pelajari pada masa muda tumbuh subur dan mengakar dalam batin kita. Saya masih ingat di mana Polykarpus duduk ketika ia mengajar, bagaimana caranya berjalan dan bagaimana sikapnya. Saya masih ingat akan kotbah-kotbahnya kepada umat dan bagaimana ia mengisahkan pergaulannya dengan Yohanes serta orang-orang lain yang menjadi saksi hidup Tuhan. Polykarpus mengajarkan apa yang didengarnya dari saksi-saksi mata kehidupan Yesus dan mujizat-mujizat-Nya. Semua berkat kemurahan Allah itu telah kuterima dengan sepenuh hati dan serta oleh rahmat Allah selalu kurenungkan dengan seksama.”

Ireneus bekerja di Lyon sebagai seorang imam. Pada tahun 177, timbullah aksi penghambatan agama di Lyon. Uskup kota Lyon, Potinus, meninggal karena suatu penganiayaan yang kejam atas dirinya. Ireneus diangkat menjadi penggantinya. Sebagai uskup ia menggembalakan umatnya dengan penuh perhatian dan cinta. Kepada umatnya ia selalu berkotbah dalam bahasa setempat, meskipun ia sendiri dibesarkan dalam bahasa Yunani. Dalam kepemimpinannya ia selalu berusaha membela ajaran iman yang benar. Ia juga memperjuangkan kesatuan Gereja dan menegakkan kewibawaan paus.

Nama Ireneus, yang berarti pencinta damai, diusahakan menjadi kenyataan dalam seluruh hidupnya. Dalam perselisihan antara Gereja Latin dan Yunani tentang tanggal hari raya Paskah, ia menjadi juru bicara paus. Ia meninggal pada tahun 202 selaku seorang martir Kristus.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Jumat Biasa XII-C

Renungan Hari Jumat Biasa XII, Thn C/I
Bac I   : Kej 17: 1, 9 – 10, 15 – 22; Injil : Mat 8: 1 – 4

Dalam bacaan pertama, Tuhan menunjukkan kuasa-Nya kepada Abraham. Kuasa itu terlihat dari kemauan Allah. Dia ingin agar nama Sarai, isteri Abraham, diganti menjadi Sara, karena “ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya.” (ay. 16). Abraham, mewakili sikap manusia, meragukan keinginan Allah itu. Namun di sini Tuhan membutuhkan iman. Sebab dengan iman apa yang mustahil bagi manusia akan menjadi nyata.

Dalam Injil hari ini kuasa Allah itu tampak dalam diri Yesus dengan menunjukkan kemauan-Nya. Kepada orang kusta itu Yesus berkata, “Aku mau, jadilah engkau tahir!” (ay. 2). Dan kemauan Yesus ini ditanggapi dengan iman dari orang kusta, maka terjadilah penyembuhan sesuai keinginan orang kusta dan kemauan Yesus. Peristiwa ini mau memperlihatkan keallahan Yesus.

Sabda Tuhan hari ini mau mengatakan kepada kita bahwa kuasa Allah dapat terjadi dalam hidup kita bila kita menanggapinya dengan iman. Untuk itu, kita diajak untuk datang kepada-Nya dan menyerahkan hidup kita kepada penyelenggaraan ilahi-Nya.

by: adrian

Kamis, 27 Juni 2013

Cara Mencuci Seprei

TIPS MENCUCI SePREI


Seprei merupakan salah satu perlengkapan kamar tidur. Setiap kamar tidur tentulah memiliki seprei. Seprei merupakan kain persegi empat yang berfungsi untuk menutupi kasur. Umumnya seprei ini terbuat dari bahan katun. Namun dewasa ini banyak juga ditemui seprei berbahan sutra, linen, polyester, satin, katun CVC, dll.

Karena sering digunakan, maka dapatlah dipastikan bahwa kain seprei cepat kotor. Seprei yang bersih dapat membantu kenyamanan istirahat kita di tempat tidur. Sedangkan seprei yang kotor akan mengganggu kenyamanan kita. Untuk itu, kain seprei yang kotor harus segera diganti dan dicuci.

Akan tetapi, mencuci kain seprei ini tidaklah sama dengan mencuci pakain lain. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan demi keutuhan kain seprei itu sendiri. Berikut ini ada beberapa tip mencuci seprei.

1.      Baca dengan teliti label seprei untuk mengetahui jika seprei tersebut memerlukan cara pencucian spesifik. Kebanyakan seprei dapat dicuci menggunakan mesin cuci rumahan.

2.      Agar hasil cucian maksimal, pisahkan cucian seprei, sarung bantal dan sarung guling dari cucian pakaian yang lain. Pisahkan sesuai dengan jenis kainnya.

3.      Pilih tingkat kepanasan air pada mesin cuci yang sesuai untuk bahan seprei anda. Campuran poliester sebaiknya dicuci dengan air hangat, sedangkan katun bisa dicuci dengan air panas. Semakin panas air yang digunakan memungkinkan untuk membunuh kuman dan kutu yang bersembunyi di seprei anda.

4.      Cuci seprei anda paling tidak 2 minggu sekali. Ingatlah dalam sehari anda menghabiskan waktu lebih lama di tempat tidur dari pada mengenakan pakaian yang anda mencuci secara teratur. Karenanya seprei pun seharusnya dicuci secara teratur.

5.      Seperti halnya baju, dalam mencuci seprei hendaknya dipisahkan sesuai warnanya. Jika tidak dipisahkan, warna gelap atau merah bisa luntur dan merusak warna yang lebih muda.

6.      Untuk mengeringkan, gantung seprei di luar agar terkena matahari. Namun tetap hindari pengeringan dengan matahari secara langsung untuk waktu yang lama untuk melindungi warna seprei. Jika tidak memungkinkan dikeringkan dengan matahari, bisa dikeringkan dengan pengering namun perlu ditambahkan pelembut kain

Demikianlah beberapa tips yang perlu diperhatikan dalam usaha mencuci seprei. Semoga dapat berguna!


by: adrian, diolah dari email simply fresh

Orang Kudus 27 Juni: St. Cyrillus Aleksandria

Santo cyrillus aleksandria, uskup & pujangga gereja
Cyrillus lahir di Aleksandria, Mesir, pada tahun 376. Pada tahun 412 ia dinobatkan menjadi Patriark Aleksandria. Sebagai seorang ahli, ia telah memberikan banyak pandangan yang bermanfaat bagi masyarakat dengan ikut aktif di dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Menghadapi berbagai pertentangan paham yang berkembang di antara umatnya, Cyrillus tetap tenang dan teguh di dalam pendirian dan imannya di atas landasan ajaran para rasul. Dengan tegas ia menentang ajaran Nestorius yang menggugat kepribadian Kristus dan kedudukan Bunda Maria sebagai Bunda Allah.

Sekitar tahun 430, dalam sebuah surat kepada Paus Salestianus I (422 – 432), Cyrillus dengan tegas mengecam ajaran sesat Nestorius, Patriark Konstansinopel. Untuk memurnikan ajaran sesat itu, Cyrillus mengundang para uskup untuk mengadakan konsili di Efesus pada tahun 431. Konsili ini mengutuk ajaran Nestorius yang menyesatkan itu. Terhadap hasil konsili itu Nestorius melancarkan serangan kepada Cyrillus dan kawan-kawannya. Cyrillus ditangkap dan dipenjarakan dan kemudian dibuang. Meskipun diperlakukan dengan kejam, Cyrillus tetap gembira karena kesengsaraannya merupakan suatu pujian dan keikutsertaannya dalam penderitaan Kristus. Ia juga menghasilkan tulisan-tulisan yang berisi pembelaan-pembelaan ajaran iman yang benar, beberapa buku komentar Kitab Suci dan juga tentang trinitas.

Lama-kelamaan orang semakin menyadari adanya kebenaran di dalam diri Cyrillus. Kali ini Gereja sekali lagi mendapat kemenangan atas serangan musuh-musuhnya yang timbul dari dirinya sendiri.

Setelah lama mengabdikan dirinya terhadap kepentingan perkembangan iman, Cyrillus meninggal pada tahun 444. Pada tahun 1882 ia digelari sebagai Pujangga Gereja.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun