Rabu, 06 Oktober 2021

JIKA PAROKUS BERGAYA SEPERTI JOKOWI

 

Jokowi memang fenomenal. Hadirnya Jokowi dalam kampanye pemilihan Gubernur DKI hingga tampilnya sebagai orang nomor satu di Jakarta itu sungguh menyedot perhatian banyak orang, bukan saja di dalam negeri melainkan juga di luar negeri. Banyak orang senang, simpati dan menaruh harapan perubahan pada wajah ibukota negara ini. Semua rasa dan asa itu diletakkan di pundak Jokowi (plus Ahok), karena kepribadian dan kinerja mereka sungguh mendukung terwujudnya rasa dan asa rakyat itu.

Kehadiran Jokowi juga menyita perhatian saya. Karena begitu kagum pada sosok Jokowi ini, sampai-sampai terbawa ke alam mimpi. Yah, saya pernah bermimpi soal Jokowi ini. Tapi mimpi itu bukan tentang Jokowi dan Jakarta, melainkan sosok Jokowi yang merasuk dalam sanubari pastor paroki. Yang menjadi landasan mimpi saya adalah pertanyaan, bagaimana seandainya Pastor Paroki seperti Jokowi dalam mengelola paroki dan karya pastoral.

Jawaban atas pertanyaan itu menghadirkan 7 adegan dalam mimpiku, mirip dalam tayangan film. Inti dari 7 adegan itu adalah perubahan. Yah, sebagaimana Jokowi membawa asa akan Jakarta Baru, demikian pula pastor paroki dapat menghadirkan perubahan dalam wajah parokinya.  Perubahan apa saja?

OKTOBER SEBAGAI BULAN ROSARIO, INI PENJELASANNYA

 

Bulan Oktober, bagi umat katolik, dikenal sebagai bulan Rosario. Pada bulan ini, meski bulan-bulan lain tetap terbuka, umat katolik akan melantunkan doa rosario, baik secara pribadi maupun dalam kelompok/keluarga. Penetapan bulan Oktober sebagai bulan Rosario ini didasarkan pada kebijakan Paus Leo XIII (1878 – 1903) yang menetapkan seluruh bulan Oktober sebagai Bulan Rosario untuk menghormati Bunda Maria. Hal ini berawal dari penetapan tanggal 7 Oktober sebagai hari pesta Santa Maria Ratu Rosario oleh Paus Pius V (1566 – 1572).

Kenapa tanggal 7 Oktober menjadi pesta Santa Maria Ratu Rosario? Adakah peristiwa tertentu di baliknya?

Pesta Bunda Maria Ratu Rosari tanggal 7 Oktober dirayakan untuk memperingati kemenangan armada laut Kristen di Lepanto (1571). Pada masa kekuasaan Paus Pius V, Gereja sedang dilanda bahaya besar dari Timur yang mengancam untuk memusnahkan Kristianitas di seluruh Eropa. Kaum Muslim sangat kuat dan agresif. Bapa Paus memberi peringatan kepada para raja dan pangeran di Eropa bahwa musuh akan membunuh atau menjual mereka yang ditawan ke dalam perbudakan. Akan tetapi, peringatan itu tidak diindahkan.

Ketika Jenderal La Valette yang hebat itu mempertahankan Malta dari serangan bangsa Moor, tak seorang pun yang membantunya kecuali Paus Pius V. Paus mengirimkan uang dari bendahara Vatikan demi mempertahankan benteng yang penting itu. Keterlibatan Paus membuat Raja Turki marah dan menyatakan perang kepada Italia serta mengancam akan menghancurkan setiap kota yang berada di tepi pantai.

MERAYAKAN EKARISTI DENGAN GAYA BIOSKOP

 

Biskop adalah sebuah gedung hiburan. Di sana orang dapat menonton tayangan film pada layar lebar (mirip pertunjukan layar tancap). Awalnya gedung bioskop dijadikan tempat rekreasi atau sarana hiburan. Banyak orang menghilangkan kepenatan hidup dengan pergi menonton film di bioskop. Akan tetapi, sejak berkembangkan alat pemutar CD sehingga orang dapat menonton film di rumah, peran bioskop dewasa kini sedikit mengalami perubahan. Ia tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga ajang gengsi selain tempat pacaran.

Meski mengalami perubahan, ada satu hal yang sama pada acara nonton di bioskop. Karena sudah menjadi kebiasaan, dari dulu hingga kini, satu acara yang sama itu menjadi sebuah budaya. Budaya itu dapat kita lihat pada akhir atau menjelang akhir acara nonton bioskop. Ketika pada layar muncul tulisan “The End”, maka ada banyak penonton sudah mulai berdiri dan berjalan keluar. Mereka tidak lagi membaca beberapa tulisan akhir yang muncul, yang biasanya berisi daftar panjang pemeran dan pendukungnya. Malah, ketika cerita film sudah menunjukkan gejala akhir (biasanya waktu tokoh antagonisnya mati dan sang jagoan bertemu dengan pujaan hatinya), sudah ada penonton yang pergi meninggalkan gedung bioskop. Inilah budaya bioskop.

Ternyata budaya bioskop ini sudah merasuk dalam kehidupan menggereja, khususnya pada acara perayaan ekaristi. Di beberapa paroki dapat kita temui fenomena serupa. Ada banyak umat pergi meninggalkan gedung gereja saat perayaan ekaristi belum selesai. Ada yang keluar setelah komuni. Tak sedikit juga yang pulang saat pengumuman dibacakan. Lebih parah lagi, hampir sebagian besar umat keluar saat lagu penutup masih sedang dinyanyikan, sementara imam dan rombongannya masih di panti imam. Lagu penutup seakan mengiringi langkah umat keluar dan membiarkan imam dan rombongannya mengatur sendiri.