Rabu, 01 Mei 2013

Dokumen Konsili Vatikan II: Lumen Gentium (Selesai)

DARI RISALAH KONSILI EKUMENIS VATIKAN II
PENGUMUMAN
Oleh Sekretaris Jendral Konsili
Pada Sidang Umum ke-125, tanggal 16 November 1964.[1]

(1. Kadar teologis Konstitusi “De Ecclesia”)
Ditanyakan manakah seharusnya kualifikasi teologis ajaran, yang dipaparkan dalam Skema “de Ecclesia” dan yang diajukan untuk pemungutan suara.

Komisi untuk Ajaran menjawab pertanyaan itu dalam membahas “Modi” (amandemen-amandemen) mengenai bab III Skema “De Ecclesia”, sebagai berikut: “Dengan sendirinya sudah jelaslah, bahwa teks Konsili selalu harus ditafsirkan menurut peraturan-peraturan umum, yang diketahui oleh siapa pun”.

Pada kesempatan itu Konstitusi untuk Ajaran mengacu kepada Pernyataan pada tgl. 6 maret 1964, yang teksnya kami kutip di sini: “Mengingat kebiasaan Konsili-Konsili serta tujuan pastoral Konsili sekarang ini, Konsili ini hanyalah mendefinisikan perkara-perkara iman dan kesusilaan yang harus dipegang teguh oleh Gereja, dan yang oleh Konsili sendiri secara eksplisit dinyatakan sebagai perkara iman dan kesusilaan”.

“Sedangkan hal-hal lain, yang dikemukakan oleh Konsili sebagai ajaran Magisterium Tertinggi Gereja, harus diterima dan dimengerti oleh semua dan setiap orang beriman, menurut maksud Konsili sendiri, yang menjadi nyata baik dari bahan yang diuraikan, maupun dari cara merumuskannya, menurut norma-norma penafsiran teologis”.

(2. Arti kolegialitas).[2]
Oleh kewibawaan tertinggi kemudian telah disampaikan kepada para Bapa Konsili Catatan penjelasan Pendahuluan pada “Modi”[3] tentang bab III Skema “de Ecclesia”. Ajaran, yang diuraikan dalam bab III itu harus dijelaskan dan dimengerti menurut maksud catatan itu.

CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN
“Komisi memutuskan untuk mengawali pembahasan amandemen-amandemen dengan catatan-catatan umum berikut:

1. “Collegium (“Dewan”) tidak diartikan secara yuridis melulu, yakni dalam arti kelompok yang terdiri dari anggota-anggota yang sederajat, seolah-olah mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada ketua melainkan dalam arti kelompok yang tetap, yang struktur maupun kewibawaannya harus dijabarkan dari Perwahyuan. Oleh karena itu dari Jawaban terhadap Modus 12 secara eksplisit dikatakan tentang “Dua belas”, bahwa Tuhan menetapkan mereka “bagaikan Dewan atau kelompok yang tetap” (ad modum collegii seu coetus stabilis[4]). Bdk. Juga Modus 53, c. berdasarkan itu pula, tentang Dewan para Uskup acap kali dipakai juga istilah “Ordo” (Tingkat) atau “Corpus” (Badan). Kesejajaran antara Petrus serta para Rasul lainnya di satu pihak dan Imam Agung Tertinggi serta para Uskup di lain pihak, tidak berarti penerusan kekuasaan luar biasa para Rasul kepada para pengganti mereka; jadi juga tidak berarti – seperti sudah jelas – kesetaraan (“aequalitas”) antara Kepala dan anggota Dewan, melainkan melulu keserupaan, kemiripan (“proportionalitas”) antara relasi pertama (Petrus – para Rasul) dan relasi kedua (Paus – para Uskup). Maka Komisi memutuskan untuk menulis dalam artikel 22: bukan “eadem” melainkan “pari ratione”. Bdk. Modus 57.

2. Seseorang menjadi anggota Dewan berdasarkan pentakdisan menjadi Uskup dan persekutuan hirarkis dengan Kepala maupun para anggota Dewan. Bdk. Art 22, pada akhir § 1.

Dalam pentakdisan diberikan partisipasi antologis dalam tugas-tugas (“munera”) kudus, seperti jelas sekali ternyata dari Tradisi, juga Tradisi Liturgi. Dengan sengaja digunakan istilah “munerum” (tugas-tugas), bukan “potestatu” (kekuasaan), karena istilah terakhir itu dapat dimengerti sebagai kekuasaan yang langsung siap untuk bertindak. Tetapi supaya ada kekuasaan yang siap langsung bertindak itu, masih juga diperlukan penentuan kanonik atau yuridis oleh kewibawaan hirarkis. Penentuan kekuasaan itu dapat berupa penyerahan fungsi khusus atau pengangkatan bawahan untuk suatu fungsi dan diberikan menurut norma-norma yang disetujui oleh Kewibawaan tertinggi. Norma lebih lanjut seperti itu pada hakekatnya diperlukan, karena yang dimaksudkan ialah fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh pelbagai subjek, yang atas kehendak Kristus bekerja sama dengan hirarkis. Sudah jelaslah, bahwa “persekutuan” itu berlangsung dalam kehidupan Gereja menurut situasi zaman, sebelum bagaikan “dibekukan” dalam hukum.

Oleh karena itu dikatakan secara eksplisit bahwa diperlukan persekutuan Hirarkis dengan Kepala serta anggota Gereja. Persekutuan ialah pengertian, yang dalam Gereja kuno (seperti sekarang pula, terutama di Timur) dianggap sangat penting. Yang dimaksudkan bukanlah suatu perasaan yang kabur, melainkan suatu kenyataan organis, yang memerlukan bentuk yuridis pun sekaligus dijiwai oleh cinta kasih. Maka Komisi, praktis dengan kesepakatan bulat, memutuskan: harus ditulis “dalam persekutuan hirarkis”. Bdk. Modus 40, pun juga apa yang dikatakan tentang “misi kanonik”, dalam art. 24.

Dokumen-dokumen para paus pada masa akhir ini tentang yurisdiksi para Uskup harus ditafsirkan dalam arti penentuan kekuasaan yang masih perlu itu.

3. Tentang Dewan (“Collegium”), yang tidak dapat tanpa Kepala, dikatakan: “merupakan subyek kuasa tertinggi dan penuh terhadap seluruh Gereja”. Hal itu perlu disetujui, supaya kepenuhan kekuasaan paus jangan dipertanyakan. Sebab Dewan harus selalu mencakup Kepalanya, yang di dalam Dewan itu tetap menjalankan tugasnya seutuhnya selaku Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta. Dengan kata lain pembedaan bukan antara Paus (di satu pihak) dan para Uskup secara kolektif (di pihak lainnya), melainkan antara Paus dipandang tersendiri dan paus bersama para Uskup. Karena Paus ialah Kepala Dewan, maka dia seorang diri dapat menjalankan berbagai tindakan, yang sama sekali tidak dapat dijalankan oleh para Uskup; misalnya: mengundang Dewan untuk berkumpul dan memimpinnya, menyetujui norma-norma untuk bertindak, dan lain-lain. Bdk. Modus 81. Terserah kepada kebijakan Paus, yang diserahi reksa pastoral terhadap seluruh kawanan Kristus, untuk – sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan Gereja yang silih silih-berganti di sepanjang sejarah, - menentukan cara reksa pastoral itu seyogyanya dijalankan, entah secara pribadi, entah secara kolegial. Paus mengambil langkah untuk mengatur, mendorong, menyetujui pelaksanaan kolegial, demi kesejahteraan Gereja, menurut kebijaksanaannya.

4. Sebagai Gembala Tertinggi Gereja paus setiap saat dapat menjalankan kekuasaannya, kapan saja berkenan kepadanya, bila itu diperlukan oleh tugasnya. Sedangkan Dewan para Uskup, walaupun senantiasa ada, tidak dengan sendirinya terus menerus bertindak secara kolegial dalam arti yang sempit, sebagaimana ternyata juga dari Tradisi Gereja. Dengan kata lain, Dewan tidak selalu “dalam keadaan bertindak sepenuhnya”, bahkan hanya saat-saat tertentu saja menjalankan tindakan kolegial dalam arti yang sempit, itu pun hanya atas persetujuan Kepala. Dikatakan “atas persetujuan Kepala”, supaya jangan ada yang berfikir tentang sifat tergantung bagaikan dari seseorang yang berada di luar Dewan. Istilah “persetujuan” justru menunjukkan adanya persekutuan antara Kepada dan para anggota, dan mencakup perlunya tindakan yang termasuk kompetensi kepala. Hal itu secara eksplisit ditegaskan dalam artikel 22 § 2, dan di sana dijelaskan juga, menjelang akhir artikel. Rumus negatif “hanya” mencakup semua kasus. Maka jelaslah, bahwa norma-norma yang telah disetujui oleh Kewibawaan tertinggi selalu harus diindahkan. Bdk. Modus 84.

Semuanya itu menyatakan, bahwa yang menjadi pokok yakni: hubungan para Uskup dengan Kepala mereka, dan tidak pernah dimaksudkan: kegiatan para Uskup tanpa tergantung dari Paus. Dalam kasus terakhir ini, karena Kepala tidak mengadakan tindakan, para Uskup juga tidak dapat bertindak sebagai Dewan, seperti jelas pula dari pengertian “Dewan” (“Collegium”). Persekutuan hirarkis semua para Uskup dengan Paus dalam Tradisi jelas sudah lazim.

NB. Tanpa persekutuan hirarkis itu mustahil dijalankan tugas sakramentalontologis, yang harus dibedakan dari aspek kanonik-yuridis. Akan tetapi Komisi untuk Ajaran berpandangan: bahwa soal-soal sekitar “liseitas” (halalnya) atau “validitas” (sahnya) tindakan disini tidak usah di bahas, melainkan diserahkan kepada perdebatan para teolog, khususnya melalui kekuasaan, yang di facto dijalankan dalam Gereja-Gereja Timur yang terpisah; mengenai penjelasan hal terakhir itu terdapat pelbagai pendapat.

+ PERICLES FELICI
Uskup Agung tituler Samosata,
Sekretaris Jendaral,
Konsili Ekumenis Vatikan II.


[1] Dua catatan yang di kutib dari Risalah Konsili ini disampaikan kepada para Bapa Konsili untuk menjelaskan suara yang mereka berikan. Keduanya penting untuk menafsirkan Konstitusi ini. Paus Paulus VI menggarisbawahinya dalam amanat beliau kepada para Bapa Konsili menjelang penutupan Sidang III Konsili, pada tanggal 21 November 1964, pada saat beliau secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja, mengenai ajaran tentang martabat Uskup: “… sambil mengindahkan penjelasan-penjelasan yang diberikan baik untuk penafsiran yang harus diberikan kepada istilah-istilah yang digunakan, maupun untuk kualifikasi teologis yang oleh Konsili mau diberikan kepada ajaran yang diuraikan, kami tidak ragu-ragu, berkat pertolongan Allah, untuk secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja” (Doct. Cath. LXI, tgl. 6 Desember 1964, kolom 1589).
[2] Kewibawaan tertinggi, yang telah meminta, supaya pembahasan amandemen-amandemen naskah “de Ecclesia” didahului dengan penjelasan pendahuluan, jelas ialah paus Pulus VI sendiri.
[3] “Modi” ialah amandemen-amandemen yang diajukan oleh para Bapa Konsili kepada Komisi untuk Ajaran.
[4] Lih. Konsili dogmatis tentang gereja, art. 19.

D E P R E S I

DEPReSI: PENGERTIAN, PENYEBAB & GEJALANYA

Depresi adalah gangguan mental yang setiap orang berpeluang mengalaminya. Banyak dari kita kebingungan untuk membedakan antara depresi, stress dan kesedihan. Belum lagi membedakan beberapa jenis dari depresi, misalnya unipolar depression, biological depression, manic depression, seasonal affective disorder, dysthymia, dan lainnya. Ada begitu banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan tentang depresi. Sekarang saatnya kita mengetahui apa itu depresi, dengan tujuan memudahkahkan seseorang atau diri anda ketika mengalami depresi.

Definisi Depresi
Ada beberapa definisi depresi. Menurut Rice PL (1992), depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan.

Menurut Kusumanto (1981) depresi adalah suatu perasaan kesedihan yang psikopatologis, yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Depresi dapat merupakan suatu gejala, atau kumpulan gejala (sindroma).

Menurut Kartono (2002) depresi adalah kemuraman hati (kepedihan, kesenduan, keburaman perasaan) yang patologis sifatnya. Biasanya timbul oleh; rasa inferior, sakit hati yang dalam, penyalahan diri sendiri dan trauma psikis. Jika depresi itu psikotis sifatnya, maka ia disebut melankholi.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang, muncul perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan¸yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata dan berkurangnya aktivitas.

Penyebab Depresi
Beberapa ahli juga memberikan penjelasan mengenai penyebab depresi. Menurut Kaplan dalam Tarigan (2003) Faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya

   1.      Faktor Biologi
Dalam penelitian biopsikologi, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan sistem limbiks serta ganglia basalis dan hypothalamus.
   2.      Faktor Genetik
Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10 – 25 %.
   3.      Faktor Psikososial
Mungkin faktor inilah yang banyak diteliti oleh ahli psikologi. Faktor psikososial yang memyebabkan terjadinya depresi antara lain:
  • Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan : suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood.
  • Faktor kepribadian Premorbid : Tidak ada satu kepribadian atau bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipetipe kepribadian seperti oral dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya.
  • Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang hilang. depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa.
  • Ketidakberdayaan yang dipelajari: Didalam percobaan, dimana binatang secara berulang-ulang dihadapkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya.
  • Teori Kognitif: Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi Asikal H.S. dalam Tarigan (2003) Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu : a) Pandangan negatif terhadap masa depan, b) Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga, c) Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Meyer berpendapat bahwa depresi adalah reaksi seseorang terhadap pengalaman hidup.
Penyebab depresi adalah faktor biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Gejala-gejala Depresi (Symptoms of Depression)
Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik & sosial yang khas. Beberapa orang memperlihatkan gejala yang minim, beberapa orang lainnya lebih banyak. Tinggi rendahnya gejala bervariasi pada individu dan juga bervariasi dari waktu ke waktu. Berikut ini beberapa gejala dari depresi :
  • Terus menerus merasa sedih, cemas, atau suasana hati yang kosong
  • Perasaan putus asa dan pesimis.
  • Perasaan bersalah, tidak berdaya dan tidak berharga.
  • Kehilangan minat atau kesenangan dalam hobi dan kegiatan yang pernah dinikmati.
  • Penurunan energi dan mudah kelelahan.
  • Kesuultan berkonsentrasi, mengingat, atau membuat keputusan.
  • Insomnia, pagi hari terbangun, atau tidur berlebihan.
  • Nafsu makan berkurang bahkan sangat berlebihan. Penurunan berat badan bahkan penambahan berat badan secara drastis.
  • Selalu berpikir kematian atau bunuh diri, percobaan bunuh diri
  • Gelisah dan mudah tersinggung
  • Terus menerus mengalami gejala fisik yang tidak respon terhadap pengobatan, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan sakit kronis
Pada umumnya gejala depresi antara lain murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan menurunnya daya tahan.

Rujukan :
  1. Rice P.L. (1999) Stress and Health, 3rd Edition, Brookes/Cole.
  2. Kusumanto, R., Iskandar, Y., 1981. Depresi, Suatu problema Diagnosa dan Terapi pada praktek umum. Jakarta: Yayasan Dharma Graha
  3. Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 3, Gangguan-gangguan Kejiwaan. Jakarta: Rajawali Pers.
Tarigan, C., Julita 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia Organik. Diakses dalam http://www.usu.go.id.