Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Di dalamnya memuat sila-sila yang dapat mengatur kehidupan berbangsa. Karena itulah Pancasila menjadi norma. Cukup bijaklah para pemimpin bangsa kita dahulu ketika menghapuskan 7 kata yang ada dalam sila pertama, yang hanya memperhatikan kepentingan satu kelompok agama tertentu. Dengan hilangnya 7 kata itu, maka Pancasila menjadi norma yang universal, bukan saja berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia melainkan juga dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat dunia.
Norma-norma apa saja yang terkandung dalam Pancasila? Secara garis besarnya,
ada lima norma, yang dikenal dengan istilah 5 sila. Karena itu juga disebut
dengan Pancasila (panca= lima). Akan tetapi dalam kelima norma itu terkandung
begitu banyak nilai-nilai luhur manusia. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa,
bukan cuma mengatur kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa; bukan juga mau
mengatakan bahwa dalam negara Indonesia tidak ada tempat bagi ateisme.
Ketuhanan yang maha esa memuat nilai-nilai dan sikap umat manusia kepada Tuhan.
Sikap itu bukan hanya ditujukan kepada Tuhan, melainkan juga kepada sesama.
Apalah artinya kita bersikap positif terhadap Tuhan sementara kepada sesama
kita berlaku negatif.
Ketuhanan yang maha esa berarti kita diminta untuk memuliaan Allah dengan
mengangkat harkat martabat manusia. Dari sinilah kita dapat mewujudkan
norma-norma lainnya seperti keadilan, keadaban, kesatuan dan persatuan serta
kerukunan. Karena itu, sangat ironis jika kita mengaku memuliakan Allah tapi
tindakan kita justru merendahkan martabat manusia, merusak kesatuan dan kerukunan.
Dan inilah yang sedang terjadi dewasa ini. Karena itu, banyak suara mengatakan bahwa Pancasila sedang diuji. Berbagai kasus di negara ini benar-benar telah menguji "kesaktian" Pancasila. Kasus intoleransi dalam beragama, kekerasan dengan mengatas-namakan agama (juga Tuhan), korupsi merajalela, kerusakan alam dan masih banyak lagi contoh. Saudara-saudara kristen dan katolik, di kawasan Barat, merasa sulit untuk mendapatkan izin membangun rumah ibadah, tidak seperti saudara mereka di wilayah Papua dan Flores. Sementara saudaranya muslim tidak mendapat kesulitan mendirikan mesjid di wilayah Timur (meski tidak semua, tapi prosentasenya sangat kecil); dan di wilayah Barat mereka dapat membangun meski tanpa izin sekalipun. Di Pangkalpinang, orang katolik mendapat kesulitan untuk mendirikan seminari (seperti madrasah atau pondok pesantren dalam agama islam), sementara ada begitu banyak madrasah dan pondok pesantren yang tidak punya izin.