Kamis, 01 Oktober 2020

PANCASILA BUKAN SEKEDAR DIBACA, TAPI DIAMALKAN


Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Di dalamnya memuat sila-sila yang dapat mengatur kehidupan berbangsa. Karena itulah Pancasila menjadi norma. Cukup bijaklah para pemimpin bangsa kita dahulu ketika menghapuskan 7 kata yang ada dalam sila pertama, yang hanya memperhatikan kepentingan satu kelompok agama tertentu. Dengan hilangnya 7 kata itu, maka Pancasila menjadi norma yang universal, bukan saja berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia melainkan juga dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat dunia.

Norma-norma apa saja yang terkandung dalam Pancasila? Secara garis besarnya, ada lima norma, yang dikenal dengan istilah 5 sila. Karena itu juga disebut dengan Pancasila (panca= lima). Akan tetapi dalam kelima norma itu terkandung begitu banyak nilai-nilai luhur manusia. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, bukan cuma mengatur kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa; bukan juga mau mengatakan bahwa dalam negara Indonesia tidak ada tempat bagi ateisme. Ketuhanan yang maha esa memuat nilai-nilai dan sikap umat manusia kepada Tuhan. Sikap itu bukan hanya ditujukan kepada Tuhan, melainkan juga kepada sesama. Apalah artinya kita bersikap positif terhadap Tuhan sementara kepada sesama kita berlaku negatif.

Ketuhanan yang maha esa berarti kita diminta untuk memuliaan Allah dengan mengangkat harkat martabat manusia. Dari sinilah kita dapat mewujudkan norma-norma lainnya seperti keadilan, keadaban, kesatuan dan persatuan serta kerukunan. Karena itu, sangat ironis jika kita mengaku memuliakan Allah tapi tindakan kita justru merendahkan martabat manusia, merusak kesatuan dan kerukunan.

Dan inilah yang sedang terjadi dewasa ini. Karena itu, banyak suara mengatakan bahwa Pancasila sedang diuji. Berbagai kasus di negara ini benar-benar telah menguji "kesaktian" Pancasila. Kasus intoleransi dalam beragama, kekerasan dengan mengatas-namakan agama (juga Tuhan), korupsi merajalela, kerusakan alam dan masih banyak lagi contoh. Saudara-saudara kristen dan katolik, di kawasan Barat, merasa sulit untuk mendapatkan izin membangun rumah ibadah, tidak seperti saudara mereka di wilayah Papua dan Flores. Sementara saudaranya muslim tidak mendapat kesulitan mendirikan mesjid di wilayah Timur (meski tidak semua, tapi prosentasenya sangat kecil); dan di wilayah Barat mereka dapat membangun meski tanpa izin sekalipun. Di Pangkalpinang, orang katolik mendapat kesulitan untuk mendirikan seminari (seperti madrasah atau pondok pesantren dalam agama islam), sementara ada begitu banyak madrasah dan pondok pesantren yang tidak punya izin.

INSPIRASI DARI GURU RENANG


Pak Joko dan Pak Jono adalah guru, sekaligus pelatih renang di Sekolah Berenang Menengah Pertama. Jabatan guru dan pelatih ini didapat atas perintah atau SK dari Kepala Sekolah.

Suatu hari ada pelajaran berenang. Ini merupakan pertemuan pertama. Pak Joko menangani siswa kelas A, sedangkan Pak Jono siswa kelas B. Pak Joko langsung mengajak para siswanya ke kolam renang dan menyuruh mereka berdiri di tepi kolam.

“Sekarang kalian berenang ke sana,” perintah Pak Joko sambil menunjuk sisi lain dari kolam renang yang ada di depan para murid. “Doni dan Domi, kalian pakai gaya bebas. Dono dan Dodo pakai gaya punggung. Dollo gaya kupu-kupu dan Dore gaya dada. Siap?! Mulai!”

Semua siswa, mungkin karena takut atau sekedar menghargai sang guru, terjun ke dalam kolam. Ada yang tenggelam, ada yang hanya mengepak-ngepak kembali ke tempat semula dengan wajah pucat. Ada pula yang terdampar di sisi kiri dan kanan kolam. Satu orang berhasil ke tujuan. Itu pun dengan susah payah. Entah sudah berapa liter air kolam masuk ke dalam mulutnya.

Sementara di tempat yang lain, Pak Jono mengajak siswanya ke ruang kelas. “Kalian, kalau berenang, harus mengenakan pakaian renang,” jelasnya kepada mereka. Ia memberitahukan alasannya. Kemudian ia menerangkan tentang teknik-teknik berenang, tentang gaya berenang seperti gaya bebas, gaya punggung, gaya kupu-kupu dan gaya dada.

“Baiklah, minggu depan kita praktekkan pelajaran hari ini di kolam renang,” ujar Pak Jono setelah memberikan beberapa penjelasan.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu 

INILAH KEBOHONGAN IBU DEMI KEBAIKAN KITA


Aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata: “Makanlah nak, aku tidak lapar” ———- Inilah KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata: “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata: ”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata: ”Cepatlah tidur nak, aku tidak capek” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata: “Minumlah nak, aku tidak haus!” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT