Sabtu, 19 Januari 2013

Pesan Uskup Pangkalpinang pada Promulgasi Pembaharuan Struktur dan Organ Keuskupan Pangkalpinang



Berubah untuk Menggapai Cita-Cita


Dalam satu pesta tahbisan Uskup, seorang pemuka umat mengatas-namai seluruh umat Keuskupan mengatakan kepada Uskup baru sbb: “ Orang mengatakan bahwa yang berhasil dalam hidup adalah orang yang tahu masa depannya, mengambarkannya dan membiarkan dirinya didorong olehnya…. Dengan sesungguhnya karena kedudukannya yang strategis dan historis dan keragaman umat yang berada di dalamnya, menuntut seorang gembala yang punya visi dan sanggup membawa domba-dombanya ke padang rumput yang berlimpah makanannya. Gembala seperti itu harus memiliki gambaran mengenai masa depan; dia harus tahu ke mana kita harus pergi; dia harus memiliki satu peta yang membawa kepada tujuan akhir…. Satu dioses tanpa program adalah dioses tanpa visi; setiap pagi terbangun dengan suatu gagasaan baru dan menjadi bingung sendiri. Sebagaimana rusa rindu akan air, (Mz. 42:2 ), demikian kami membutuhkan satu cetak biru untuk Dioses, master plan, di mana tertera ke mana kita harus pergi dan mengarahkan semua usaha kita dan menghindari pemborosan tenaga dan sumber daya “Our Bishop – Reflections onn the Office of the Bishop in the Church“ (Francis Cardinal Arinze).

Dari apa yang dikutip Cardinal Arinze, kita menarik kesimpulan bahwa: setiap dioses harus memiliki arah ke mana dioses ingin dihantar. Visi akan membawa orang kepada program yang teratur. Kalau tidak ada visi dan program, maka kita bergerak di tempat dan tidak mengalami kemajuan. Tanpa visi dan misi serta program yang teratur, kita memboroskan banyak tenaga, waktu dan dana. Para gembala dan umat harus mengetahui Visi dan Misi tersebut.

Syukurlah oleh kerja sama kita semua, maka telah dirumuskan visi dan misi serta spritualitas Keuskupan kita seperti yang tertulis dalam buku: ”Menjadi Gereja Partisipatip“. Bagus sekali bahwa kita sudah memiliki visi dan misi serta spiritualitas. Dan tentang Sinode, khusus mengenai visi dan misi serta spiritualitas sudah diketahui bersama. Tetapi mengetahui saja tidak cukup sama sekali. Semua kita sepakat bahwa akan menjadi lebih bagus lagi kalau visi dan misi itu menjadi milik kita bersama, dihayati dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan kita yang nyata sehari-hari secara bersama-sama dalam KBG-KBG kita.

Menghayati visi, misi dan spiritualitas menuntut adanya perubahan. Sinode kita telah mencanangkan sesuatu yang baru seperti yang termuat dalam visi dan misi serta spiritualitas kita: cara baru hidup menggereja. Seperti anggur baru tidak bisa disimpan dalam kerbat lama, demikian halnya cara baru hidup menggereja tidak bisa dikemas dalam cara lama hidup menggereja. Seperti anggur baru dan kerbat akan menjadi rusak, demikian halnya cara baru dimasukkan dalam cara lama, maka kedua cara ini yaitu lama dan baru akan menjadi rusak. Karena itu kita putuskan untuk mencari kemasan baru untuk cara baru hidup menggereja. Dan itu berarti perlu sekali adanya perubahan dalam banyak hal yaitu: cara hidup, cara menggereja, cara berpastoral, perubahan struktur dalam keuskupan kita.  Yang berubah bukan hanya struktur tetapi juga manusianya. Lalu yang berubah bukan hanya para awamnya tetapi juga malah paling penting dan utama adalah para imam/clerus. Orang mengatakan bahwa busuk itu mulai dari kepala, maka sebaliknya kita dapat mengatakan bahwa harumnya juga mulai dari atas. Karena itu saya katakan yang penting malah paling utama adalah para imam/klerus (uskup dan para imam serta diakon). Banyak kali terjadi orang takut berubah karena sudah merasa mapan dan enak. Keenakan membuat orang terlena pada hal sekitar sudah berubah.

Ada satu percobaan sbb: seekor kodok dimasukkan ke dalam satu tempayan air dingin. Lalu dengan tiba-tiba air dipanaskan menjadi 100 derajat Celcius. Kodok dalam tempayan langsung bereaksi dengan melompat keluar dari tempayan. Percobaan diubah: air dalam tempayan dipanasi secara pelan-pelan. Kodok beradapatasi dengan perubahan. Makin lama makin panas. Tetapi kodok tidak bereaksi dengan melompat keluar dari tempayan. Ketika air sudah sangat panas, kodok sudah tidak bisa melompat keluar, karena tidak ada tenaga lagi untuk melompat. Akibatnya dia mati kepanasan dalam tempayan.

Keadaan seperti itu terjadi dalam Gereja kita. Kita sudah terlena dengan kondisi lama. Para pastor keenakan karena kuasa tahbisannya. Umat keenakan karena tidak perlu aktif. Enak menunggu komando dari pastor. Tidak ada komando tidak buat apa-apa. Keadaan ini membuat orang tidak merasa enak dalam tempayan gereja. Akhirnya banyak yang keluar meninggalkan Gereja seperti dialami di Eropa di mana gereja sudah menjadi kosong. Orang sudah tidak mau ke gereja lagi, khususnya kaum muda sudah tak senang dengan kondisi Gereja sekarang ini. Keadaan dan kondisi di Eropa pelan-pelan sudah merambat ke berbagai tempat atau benua di luar Eropa, juga di Indonesia. Karena itu perlu sekali berubah meski berisiko karena lebih berisiko atau lebih merugikan kalau tidak berubah.

Tahun lalu juga di bulan Januari 2012, telah disampaikan kepada semua umat bahwa semua yang telah dibicarakan dalam Sinode II Keuskupan Pangkalpinang sudah dibukukan dengan judul: Keuskupan Pangkalpinang menjadi Gereja Partisipatif. Di awal Januari 2013 ini, saya mempromulgasikan lagi beberapa keputusan baru terutama sehubungan dengan struktur untuk menunjang terwujudnya visi, misi serta spiritualitas. Keputusan ini menyangkut: Pembaharuan Struktur dan Organ, yaitu:
1.       Pembaharuan Struktur dan Organ Kuria: Di tingkat Keuskupan akan ada pembaharuan struktur. Ada satu dua organ yang ditambahkan. Yang paling menyolok adalah bahwa tidak ada lagi komisi di tingkat Keuskupan. Yang ada di tingkat Keuskupan hanyalah: SekUm PIPA (termasuk di dalamnya KKI dan Panitia APP) dan KomSos.
2.       Pembentukan Vikariat Episkopal: Dekenat dan jabatan Deken ditiadakan. Dan diganti dengan: Vikaris Episkopal (disingkat VikEp) dan wilayah yang menjadi tanggung jawab Vikaris Episkopal disebut: KeVikEpan. Selanjutnya saya mau ungkapkan bahwa Vikaris Episkopal adalah wakil Uskup di suatu wilayah tertentu. Sebagai Wakil Uskup di wilayah tertentu itu, VikEp mendapat kuasa eksekutif yang lebih besar sehingga dalam hal tertentu VikEp bisa mengambil keputusan. Kekuasaan VikEp itu sejajar dengan Vikaris Jendral yang adalah wakil Uskup untuk seluruh Keuskupan. Sedangkan VikEp adalah Wakil Uskup yang terbatas pada wilayah tertentu saja. Dulu pemimpin suatu wilayah adalah Deken yang memiliki kuasa administratif organisatoris saja.
3.       Pembentukan Organ Kevikepan: Di kevikepan akan ada komisi-komisi yang dipimpin oleh seorang VikEp. Ketua Komisi akan dipilih seorang imam dari wilayah itu.
4.       Pembaharuan Struktur dan Organ Paroki: Pastor Paroki akan menjadi Ketua DPP. Sedangkan DPP akan menjadi badan konsultatif melulu.
Penjelasan rinci kepada umat mengenai alasan mengenai adanya pembaharuan struktur dan organ, berikut tugas dan kewenangannya akan disampaikan kemudian sesudah promulgasi ini. Penjelasan rinci mengenai pembaharuan dan pembentukan ini akan disosialisasikan oleh Tim Dewan Imam dalam masa Vacalio legis selama kurang lebih tujuh (7) bulan. Sosialisasi terlebih dahulu akan dimulai dari para imam dan kemudian kepada DPP.  Selanjutnya Para Imam dan DPP dari setiap paroki akan mensosialisasikan lebih jauh kepada seluruh umat.

Akhirnya saya mengajak Para Imam, Kaum religious, dan semua umat Keuskupan Pangkalpinang. Marilah kita melangkah maju dalam semangat pembaharuan untuk menjadi Gereja Partisipatif dengan kesediaan menerima semua pembaharuan yang telah dipromulgasikan. Untuk ini kita membutuhkan bantuan Tuhan dan kerja keras kita semua. TUHAN MEMBERKATI.

Pangkalpinang, 19 Januari 2013


Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD
       Uskup Pangkalpinang

Sekilas tentang Konsili Vatikan II

KONSILI VATIKAN II : 1962 – 1965
Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara 11 Oktober 1962 hingga 8 Desember 1965 diadakan empat periode sidang. Jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara daripada yang menghadiri Konsili-Konsili sebelumnya[1]. Jumlah dokumen yang dihasilkannya pun lebih banyak, dan dampak-pengaruhnya atas kehidupan Gereja katolik lebih besar dari peristiwa manapun sesudah jaman reformasi pada abad XVI.

PERSIAPAN
Baik Paus Pius XI (1922-1939) maupun Paus Pius XII (1939-1958) pernah berfikir tentang membuka kembali Konsili Vatikan I (1869-1870), yang karena pecahnya perang antara Perancis dan Prusia (Jerman) terpaksa dihentikan secara mendadak.[2] Tetapi Paus Yohanes XXIII-lah yang mengejutkan umat katolik sedunia dengan maklumat beliau yang penuh optimisme pada 25 Januari 1959, bahwa beliau bermaksud mengundang suatu Konsili.[3] Yang beliau maksudkan bukan sekedar melanjutkan Konsili Vatikan I, melainkan menyelenggarakan Konsili yang baru sama sekali.[4] Beliau mengharapkan Konsili akan mengajak Gereja semesta mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Ada tiga sasaran yang mau dicapai, yakni: pembaharuan rohani dalam terang injil, penyesuaian dengan masa sekarang (“aggiornamento”) untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern,[5] dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat kristen.[6]

Persiapan Konsili dimulai dengan undangan yang ditujukan kepada semua Uskup di seluruh dunia, para pemimpin tarekat-tarekat imam religius, universitas-universitas serta fakultas-fakultas katolik, dan para anggota Kuria Romawi, untuk mengemukakan saran-saran mereka bagi permusyawarahan dan penyusuanan acar Konsili. Disepanjang sejarah Gereja belum pernah diadakan konsultasi seluas itu.[7] Hasilnya ialah lebih dari 9300 saran. Seluruh bahan itu dipilah-pilah, didaftar, dan dibagi-bagikan kepada sepuluh komisi persiapan, yang oleh Paus Yohanes diangkat pada tgl. 5 Juni 1960 untuk menyiapkan konsep-konsep naskah (“schemata”) untuk dibahas dalam Konsili.

Komisi-komisi mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan diantara para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang akan dimulai pada musim gugur.

SIDANG PERTAMA
Konsili Vatikan II menyelenggarakan empat periode sidang, yakni: 11 Oktober – 8 Desember 1962, 29 September – 4 Desember 1963, 14 September – 21 November 1964, dan 14 September – 8 Desember 1965. Dalam uraian pengantar ini tidak mungkin memaparkan ikhtisar sejarah Konsili.[8] Tetapi baiklah disajikan catatan tentang periode Sidang Pertama, yang paling dramatis dan paling penting. Suasana dan keputusan-keputusan yang diambil ketika itu menggariskan haluan dasar seluruh Konsili. Ada empat moment yang mempunyai relevansi khas.

Momen relevan yang pertama ialah Amanat Pembukaan yang disampaikan oleh Paus Yohanes XXIII pada tgl.11 Oktober 1962. Beliau mendesak supaya Konsili menempuh arah pastoral.[9] Menghadapi dunia yang memerlukan uluran belas kasihan.[10] Bukan maksud utamanya untuk mengulang-ulangi saja apa yang jelas sudah merupakan ajaran katolik, atau melontarkan kecaman-kecaman (“anathema”) terhadap kesesatan-kesesatan. Kendati mendesaknya tantangan-tantangan zaman, para Uskup diundang untuk menjauhkan sikap murung terhadap dunia modern, dan untuk merenungkan: mungkinkah Allah justru hendak memulai suatu era baru dalam sejarah manusia? Mereka diharapkan membedakan antara pokok-pokok iman disatu pihak, dan dipihak lain cara-cara mengungkapkannya yang tergantung juga dari situasi dan kondisi yang silih berganti, serta bagaimanapun juga harus menanggapinya. Jadi soal utama ialah : bagaimana pusaka iman diungkapkan dalam konteks situasi masa kini, untuk sungguh menyentuh hati manusia zaman sekarang dan memecahkan masalah-masalahnya yang aktual.

Momen kedua yang relevan ialah: ketika pada sidang kerja pertama para Uskup menyatakan tidak bersedia untuk begitu saja menerima para anggota komisi-komisi Konsili, yang disodorkan dalam daftar yang sudah siap, melainkan memutuskan untuk memilih sendiri para anggota komisi-komisi. Ketika itu peristiwa itu dianggap mengungkapkan, bahwa cukup banyak Uskup tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak naskah yang telah disiapkan. Mereka menginginkan waktu secukupnya untuk saling mengenal, dan memilih para anggota komisi-komisi, sehingga tidak begitu saja diulangi tekanan-tekanan naskah-naskah persiapan.

Momen ketiga yang sinyifikatif ialah perdebatan Konsili tentang Skema mengenai Liturgi. Diskusi itu mencerminkan, bahwa mayoritas para Uskup mendukung ajakan Paus untuk membaharui kehidupan Gereja. Maksud mereka makin jelas, ketika dimulai perdebatan tentang Skema “Tentang Sumber-Sumber Pewahyuan”. Teks itu oleh banyak Uskup dikritik dengan tajam sekali, dan pada pemungutan suara menjelang akhir diskusi lebih dari 60% menghendaki agar Skema dibatalkan.

Meskipun jumlah suara itu tidak mencukupi untuk mengembalikan Skema, Paus Yohanes memerintahkan perombakannya sama sekali. Momen keempat yang dramatis itu menampilkan maksud mayoritas para Uskup untuk menempuh haluan, yang dalam berbagai aspek menyimpang dari sikap-sikap dan strategi-strategi, yang menandai Katolisisme Romawi selama 150 tahun sebelumnya.

Paus Yohanes XXIII meninggal pada bulan Juli 1963, dan digantikan oleh Paus Paulus VI. Salah satu tindakan Paus baru yakni: mengumumkan bahwa Konsili akan dilanjutkan, dan harus tetap mengikuti haluan yang telah digariskan oleh Paus Yohanes dan dikukuhkan selama periode Sidang I. Selama tiga periode Sidang berikut yang diketuai oleh Paus Paulus VI terlaksanalah karya pokok Konsili.

DOKUMEN-DOKUMEN KONSILI
Konsili Vatikan II menghasilkan enam belas dokumen, yakni empat Konstitusi (tentang Liturgi, tentang Gereja, tentang Wahyu Ilahi, dan tentang Gereja dalam Dunia Modern), sembilan Dekrit (tentang Upaya-Upaya komunikasi sosial, tentang Gereja-Gereja Timur Katolik, tentang Ekumenisme, tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, tentang Pembinaan Imam, tentang Kerasulan Awam, tentang Kegiatan Misioner Gereja, dan tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam), dan tiga Pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen, dan tentang Kebebasan Beragama). Judul-judul itu sudah menampakkan, betapa luaslah jangkauan Konsili.

Dokumen utama Konsili ialah Konstitusi dogmatis tentang Gereja (“Lumen Gentium”).[11] Titik tolaknya ialah Eklesiologi resmi yang dominan menjelang Konsili, dan ditandai dengan tekanan pada dimensi-dimensi kelembagaan Gereja.[12] Konstitusi mulai dengan pandangan tentang Gereja sebagai Misteri, sebagai persekutuan beriman, yang dipanggil untuk ikut menghayati hidup Tritunggal maha kudus. Persekutuan dalam Allah itu memperbuahkan persekutuan antara para anggota Gereja, yang menjadikan mereka umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Dalam satu Gereja dimensi Ilahi dan manusiawi menciptakan suatu gejala sosial tersendiri, Gereja Kristus yang “berada dalam” Gereja Katolik Romawi, kendati banyak unsur-unsurnya yang baku terdapat juga diluar batas-batasnya yang kelihatan.[13]

Selanjutnya “Lumen Gentium” menguraikan, bahwa dalam Gereja sebagai umat Allah terwujudlah Misteri dalam kurun sejarah antara Kenaikan Kristus ke Sorga dan Kedatangan-Nya pada akhir zaman.[14] Ditekankan kesejahteraan fundamental martabat para anggota, yang mendasari pembedaan-pembedaan antara hirarki, kaum awam dan para religius. Orang menjadi warga penuh dalam Gereja, bila ia memiliki Roh Kristus, dan berada dalam persekutuan iman, Sakramen-Sakramen, dan tata-laksana serta struktur Gerejawi. Gereja itu bersifat “katolik”, artinya: menjangkau semua bangsa dan kebudayaan, dipanggil untuk menghimpunnya di bawah Kristus Tuhan, dan untuk memperkaya Gereja semesta melalui pertukaran timbal balik sumber-sumber budaya pelbagai bangsa. Dalam Konstitusi ini dan dalam dokumen-dokumen Konsili kuat-kuat menekankan teologi Gereja setempat; dengan kata lain: prinsip, bahwa misteri Gereja selalu diwujudkan dalam jemaat-jemaat setempat, paroki-paroki, keuskupan-keuskupan, wilayah-wilayah geografis dan budaya yang lebih luas. Perspektif itu khususnya nampak dengan jelas dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (“Ad Gentes”).

Perspektif teologis dan rohani dua bab pertama “Lumen Gentium” dijabarkan dalam Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi (“Dei Verbum”) dan Konstitusi tentang Liturgi (“Sacrosanctum Consilium”).[15] “Dei Verbum” memandang perwahyuan sebagai komunikasi diri Allah melalui sabda dan karya-Nya, yang mencapai kesempurnaannya dalam Yesus Kristus. Perwahyuan pembawa penebusan itu disalurkan melalui Kitab Suci dan Tradisi. Dalam uraiannya tentang kedua pengantara perwahyuan itu Konsili menekankan peranan sentral Kitab suci, dan mendukung sahnya penelitian modern secara kritis ilmiah. Digarisbawahi pula peranan Tradisi, yang dimengerti sebagai proses hidup menerima serta menafsirkan Kitab suci dalam kenyataan hidup Gereja sehari-hari.

Sesudah pengantar teologis tentang peranan Liturgi dan khususnya Ekaristi suci yang bagi Gereja penting sekali, Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” menggariskan prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja secara mendalam. Upacara-upacara perlu diperbaharui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas melambangkan misteri penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih penuh oleh semua warga Gereja.

Seusai pembahasan Gereja sebagai Misteri dan Umat Allah, “Lumen Gentium” mengarahkan perhatian kepada penggolongan anggota Gereja. Bab III menguraikan peranan hirarki,[16] khususnya episkopat, dengan maksud mengimbangi tekanan Konsili Vatikan I pada wewenang dan “tidak dapat sesatnya” (“infallibilitas”) Paus, dengan menempatkan pelayanan kesatuan dalam konteks lebih luas Dewan para Uskup. Diajarkan sifat sakramental episkopat, begitu pula tanggung jawab Uskup atas Gereja setempat dan atas kesejahteraan Gereja semesta. Ajaran Konsili Vatikan I tentang Wewenang Mengajar (“Magisterium”) diulangi, tetapi sekaligus ditafsirkan secara lebih penuh dari yang mungkin tercapai pada tahun 1870. Dua artikel terakhir menguraikan imamat, dan mencantumkan keputusan untuk memulihkan diakonat sebagai pelayanan tetap. Bahan Bab III itu dilengkapi dengan Dekrit-Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup (“Christus Dominus”), tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam (“Presbyterorum Ordinis”), dan tentang Pembinaan Imam (“Optatam Totius”).

Bab IV “Lumen Gentium” menguraikan peranan kaum awam.[17] Disajikan “gambaran tipologis” awam sebagai orang kristen, yang berhak penuh untuk ikut menghayati hidup dan menunaikan misi Gereja, dengan hidup secara kristen dalam dunia sekular. Awam menghadirkan Gereja di dunia, dan dipanggil untuk menghadapi masalah persoalan sehari-hari dengan sabda serta rahmat Kristus. Sekaligus ia menyumbangkan pandangan maupun pengalamannya tentang hidup sekular demi pembangunan Gereja. Prinsip-prinsip yang digariskan dalam Bab ini secara lebih penuh dijabarkan dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam (“Apostolicam Actuositatem”).

Bab VI tentang para religius dalam Gereja menjelaskan makna tiga kaul, yang diikrarkan oleh para religius untuk menerima tangtangan nasehat-nasehat Injili. Bab ini mendorong mereka untuk menunaikan tanggung jawab mereka sendiri demi kehidupan dan misi Gereja. Dekrit “Perfectae Caritatis” menyajikan prinsip-prinsip tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius,[18] yang sekaligus mencerminkan cita-cita “aggiornamento” untuk seluruh Gereja. 1) kembali kepada Injil sebagai pedoman hidup yang utama; 2) kembali kepada sumber-sumber karisma dan spiritualitas masing-masing tarekat; 3) integrasi dalam Gereja seluruhnya; 4) menanggapi kebutuhan jaman dalam perihidup maupun kerasulan; 5) penghapusan deskriminasi antara para anggota.[19]

Dalam Bab V dan VII “Lumen Gentium” kembali memandang Gereja semesta, sambil menekankan panggilan semua orang untuk kesucian dan persekutuan Gereja di dunia dengan Gereja yang jaya dalam Kerajaan Allah. Bab terakhir Konstitusi dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria, dan menjadikan peranannya sebagai anggota maupun lambang Gereja kunci untuk menafsirkan teologi tentang Maria.

Eklesiologi “Lumen Gentium” yang lebih mendalam dan lebih kaya besar sekali dampaknya atas hubungan-hubungan ekumenis antara Gereja katolik dengan Gereja-Gereja serta jemaat-jemaat kristen lainnya. Hubungan-hubungan itu oleh Konsili dijajaki baik dalam “Lumen Gentium” maupun dalam Dekrit tentang Ekumenisme (“Unitaris redintegratio”), Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik (“Orientalium Redintegratio”), dan Dekrit tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan kristen (“Nostra Aetate”). Dokumen-dokumen itu mencetuskan kesanggupan Gereja yang antusias untuk menggantikan sikap curiga dan bermusuhan antar Gereja dan antar Agama dengan sikap dialog dan kerjasama.[20]

Konsili juga menyajikan dua dokumen untuk menanggapi situasi Gereja dalam dunia modern. “Gaudim Et Spes”, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, menyajikan citra Gereja yang berbagi kegembiraan dan harapan, penderitaan dan kegelisahan dengan sesama sezaman.[21] Konstitusi GS mengandaikan semua yang telah ditetapkan oleh Konsili tentang Gereja, tetapi juga melengkapinya, sejauh menekankan bahwa anggota Gereja ialah anggota masyarakat (bdk. GS 1). Dan bahwa Gereja wajib bekerja sama dengan masyarakat (bdk. GS 40).[22] Bersama mereka semua Gereja ikut merasa bertanggung jawab untuk mengisi sejarah dunia. Bagian I dokumen menyajikan refleksi teologis tentang hubungan Gereja dan Dunia, serta secara istimewa menekankan, bahwa pihak yang satu mempunyai sumbangannya kepada pihak lain. Asas-asas itu diterapkan dalam bagian II pada masalah-masalah aktual tentang perkawinan dan keluarga, kebudayaan, kehidupan ekonomi, sosial dan politik, serta tentang damai dan perang.[23]

Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (“Dignitatis Humanae”) mencantumkan pandangan Konsili tentang soal Gereja dan negara. Konsili membela hak pribadi manusia atas kebebasan beragama, dan menentang camput tangan pemerintah dalam pelaksanaan hak itu. Dalam dokumen itu dan dalam Konstitusi “Gaudium et Spes” Konsili menganjurkan sikap yang jauh lebih terbuka terhadap dunia modern daripada yang terdapat dalam gereja katolik Roma selama 150 tahun sebelumnya. Konsili ditutup pada 8 Desember 1965 dengan amanat Paus Paulus VI,[24] dan pembacaan “Pesan-Pesan Konsili”, yang atas nama para Bapa Konsili dibawakan oleh beberapa Kardinal, dan ditujukan kepada pelbagai kelompok: para pemimpin negara, kaum intelektual, para seniman, kaum wanita, kaum miskin, mereka yang sakit dan menderita, kaum buruh dan generasi muda.

DAMPAK – PENGARUH KONSILI
Sebagai peristiwa Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan Gereja Konsili merupakan pengalaman pertama pelaksanaan kolegial Kewibawaan tertinggi gerejawi.[25] Gereja, yang samapai saat itu sering membanggakan sifatnya tetap tak berubah, menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis terhadap dirinya. Banyak sikap-sikap dan strategi-strateginya ditinjau kembali dan ditantang dalam terang Injil dan dalam Konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang.

Gejala itu berkelanjutan di masa pasca Konsili. Perubahan-perubahan yang paling menonjol terjadi dalam Liturgi. Sebab Paus Paulus VI tidak hanya menghendaki supaya seruan Konsili untuk membaharui diri dilaksanakan sepenuhnya, tetapi bahkan supaya pembaharuan itu lebih jauh lagi dari apa yang diharapkan Konsili. Dipelbagai bidang kehidupan Gereja disetujuai usaha-usaha pembaharuan: hubungan-hubungan antara klerus dan awam, antara Uskup dan para imam, antara Roma dan Gereja-Gereja setempat, antara umat katolik dan umat beragama lain, dan sebagainya. Usaha-usaha pembaharuan yang secara resmi direstui dan didukung sering pula diiringi dengan gerakan-gerakan di kalangan umat yang penuh semangat. Di antara gerakan-gerakan itu ada yang menanggapi seruan Konsili dan serasi dengan usaha-usaha pembaruan yang resmi. Ada pula yang bersifat lebih radikal dari apa yang digambarkan atau diperintahkan oleh Konsili.
Konsili disambut secara berlain-lainan dipelbagai kawasan dunia dan oleh bermacam-macam lingkungan budaya. Tetapi kiranya tidak berlebihan mengatakan bahwa tiada Gereja di dunia yang sama sekali tidak terkena dampak dari pembaharuan yang diamanatkan oleh Konsili. Itu sendiri sudah membenarkan tekanan Konsili dalam Gereja setempat dan pada peran serta dan tanggung jawab semua orang kristen dalam kehidupan Gereja. Di beberapa bidang perubahan-perubahan itu begitu pesat dan cukup mendalam, sehingga boleh dipandang sebagai suatu “krisis” dalam Gereja.

Dua puluh tahun sesudah Konsili masih berlangsunglah suatu diskusi yang hangat baik tentang makna Konsili maupun tentang nilai apa yang terjadi sejak saat itu. Pada garis besarnya terdapat tiga tafsiran. Pandangan yang progresif menganggap Konsili moment yang sudah sangat terlambat bagi Gereja yang terlanjur sudah tidak relevan lagi, yang akhirnya mau menatap tantangan-tantangan zaman modern. Pandangan yang tradisional menyepakati, bahwa Konsili mengakibatkan perubahan-perubahan yang cukup besar, tetapi apa yang oleh kelompok yang progresif tadi disambut baik, oleh kelompok tradisional dianggap sebagai suatu “kapitulasi” Gereja yang patut disayangkan terhadap prinsip-prinsip dan gerakan-gerakan yang sebelum itu dengan tepat ditentangnya sejak Revolusi Perancis. Kedua pandangan itu sepakat melihat makna Konsili yang cukup berbobot, sungguhpun keduanya sama sekali tidak setuju dalam cara mereka menilai perkembangan itu.

Di antara kedua posisi yang sama-sama ekstrim itu terdapat pandangan “jalan tengah” yang masih penuh ketegangan juga. Ada yang menganggap Konsili “melulu” sebagai usaha pembahruan, sebenarnya tanpa memaksudkan banyak perkembangan yang de facto menyusulnya. Atas perkembangan-perkembangan itu yang mereka anggap bertanggungjawab ialah kaum progresif, yang mengabaikan cara Konsili merumuskan amanatnya (“huruf” Konsili) untuk membela apa yang mereka anggap “semangat Konsili”. Menurut kelompok “jalan tengah” yang pertama itu, kekeruhan-kekeruhan pasca Vatikan II hanya dapat dijernihkan dengan kembali baik kepada “huruf” maupun kepada semangat Konsili yang sejati.

Kelompok “jalan tengah” lainnya mempertahankan, bahwa -- entah apa yang dimaksudkan oleh para Bapa Konsili sendiri-- banyak usaha “pembaharuan” yang dulu mereka dukung de facto mempunyai dampak cukup “revolusioner” bagi sikap-sikap, strategi-strategi dan adat kebiasaan umat katolik sehari-hari. Secara khas mereka menunjuk kepada sikap Konsili yang lebih terbuka terhadap dunia modern, kepada seruannya untuk “mawas diri”, dan kepada dukungannya terhadap perwujudan Gereja secara konkrit ditingkat lokal. Menurut tafsiran mereka, Konsili sendirilah yang bertanggungjawab atas banyaknya perubahan-perubahan yang cukup besar dalam Gereja sejak Konsili. Dokumen-dokumen Konsili perlu ditekankan makna historis-sosiologisnya dalam konteks dunia katolik modern. Sinode para Uskup di Roma pada tahun 1985, yang bersidang untuk merayakan ulang tahun ke-20 penutupan Vatikan II, membuka forum diskusi tentang makna Konsili.

Perdebatan tidak menampakkan tanda-tanda mereda, Apakah sebenarnya Konsili itu, betapa relevan dan berjasanya Konsili bagi Gereja, hanya dapat ditentukan dalam rangka penerimaannya oleh Gereja semesta. Agaknya dua dasawarsa masih terlampau singkat untuk mengadakan evaluasi final tentang Konsili Vatikan II. Banyak unsur ajaran Konsili telah dipraktekkan dan diterima penuh syukur di kalangan luas Gereja. Unsur-unsur lain sekarangpun masih perlu dilaksanakan. Tetapi sudah jelaslah, bahwa Konsili Vatikan II merupakan titik balik dalam sejarah dunia modern Gereja katolik, suatu momen dalam proses Gereja mewujudkan diri secara nyata, proses yang baru mulai menampilkan kesungguhan dan kekuatannya.

by: Robert Hardawiryana SJ.

Sumber:
1.    Uraian pengantar tentang konsili Vatikan II ini sebagian merupakan saduran karangan Joseph A. Komonchak, “Vatikan Council II” dalam The New Dictionary of Theology, diterbitkan oleh Joseph A. Komonchak, Mary Collins, Dermot A. Lane, Dublin: Gill and Mac-milland Ltd, edisi 1, 1987, hlm.1072-1077. Kecuali itu digunakan sebagai nara sumber antara lain:
2.    Konstitusi Paus Yohanes XXIII, Humanae Salutis, tgal.25 Desember 1961 untuk mengundang Konsili Vatikan II.
3.    Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, 1 Oktober 1962.
4.    Amanat para Bapa Konsili kepada umat manusia pada awal periode Sidang I Konsili, 20 Oktober 1962
5.    Dr. B. S. Mardiatmaja SJ, “Gagasan – Gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan Kedua”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm.1-22 (termasuk Daftar Kepustakaan).
6.    Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II”. Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 23-53 (termasuk Daftar Kepustakaan)
7.    Tom Jacobs, “Latar Belakang Dekat Konsili Vatikan II, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 54-71 (termasuk Daftar Kepustakaan)
8.    Dr. C.Groenen OFM, “Gereja Yesus Kristus dari awal (th. ±30) sampai Konsili Vatikan I (1870)”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 72-104 (termasuk Daftar Kepustakaan)
9.    Dr. P.Go O.Carm, “Beberapa Aspek Moral Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 105-150
10. Dr. P. Go O.Carm, “Beberapa Aspek Hukum Kanonik Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 151-165
11. Adolf heuken SJ, Katekismus Konsili Vatikan II, Jakarta: Cipta Loka Caraka 1987


[1] Pada Pembukaan Konsili hadirlah 2540 Bapa Konsili. Baiklah dikenangkan pula dampak relatif cukup besar 29 pengamat dari 17 Gereja lain dan undangan yang bukan katolik, para pendengar pria maupun wanita, perhatian besar media cetak, dan makin banyak tersedianya informasi tentang Konsili.
[2] Tentang Konsili Vatikan I, lihat : H. Jedin, “Sejarah Konsili”, Yogyakarta: Kanisius 1973, hlm.111-138; T. Jacobs, “Latar Belakang dekat Konsili Vatikan II”, khususnya hlm.60-63
[3] Paus Yohanes XXIII, Konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, 25 Desember 1961, memandang sebagai suatu motivasi untuk mengundang Konsili; membuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberi sumbangan efektif demi pemecahan soal-soal zaman modern.
[4] Dalam konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, 25 Desember 1961 Paus Yohanes XXIII mencetuskan harapan beliau: semoga Konsili Vatikan II merupakan ulangan Pentekosta bagi umat kristen. Juga dogma-dogma Tradisi Gereja ditempatkan dalam konteks baru dan ditafsirkan secara baru.
[5] Paus Paulus VI pada sidang terakhir Konsili mengartikan “aggiornamento” sebagai usaha untuk makin mendalami semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma yang digariskan.
[6] Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, 11 Oktober 1962, antara lain menekankan perlunya meningkatkan persatuan kristen, bahkan seluruh “keluarga manusia”. Maksud itu terungkap dengan jelas misalnya ketika pada 5 Januari 1964 Paus Paulus VI dalam kunjungan beliau ke Tanah Suci merangkul Atenagoras, Patriark Ortodoks utama dari Gereja Timur. Peristiwa lain: pernyataan bersama, yang diumumkan di Istanbul dan di Vatikan pada 7 Desember 1965, tentang peristiwa-peristiwa pada tahun 1054, yang menimbulkan perpecahan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks di Istanbul. “Pernyataan Katolik-Ortodoks” itu mengungkapkan kerinduan akan persekutuan makin penuh antara Gereja di Istanbul dan Gereja katolik.
[7] Konstitusi apostolik Paus Yohanes XXIII “Humanae Salutis”, 25 Desember 1961, menampilkan pentingnya konsultasi seluas itu dalam proses persiapan Konsili.
[8] Lihat : Daftar “Beberapa Peristiwa Penting Selama Konsili Vatikan II”.
[9] Menurut “Presbyterorum Ordinis” 12, tujuan pastoral Konsili ialah : 1) Pembaharuan Gereja, 2) pewartaan Injil diseluruh dunia, dan 3) dialog dengan dunia modern.
[10] Amanat Paus Paulus VI pada hari raya Natal 1965 menggarisbawahi, bahwa suasana dominan selama Konsili diilhami oleh gambaran Injili tentang Gembala Baik, yang tidak berhenti mencari sebelum menemukan domba yang sesat.
[11] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan pokok …”, hlm.25-38. Suatu “Skematisasi” dokumen-dokumen Konsili Vatikan II dalam tiga bagian (pemahaman diri Gereja, pendalaman tentang hidup Gereja sendiri, dan pendalaman tentang misi Gereja): lih. Martadiatmaja, “Gagasan-gagasan Dogmatik …”, hlm.10-11.
[12] “Lumen Gentium”, dan karena itu seluruh Eklesiologi Vatikan II, dikembangkan berpangkal pada pandangan “Mystici Corporis”, seperti dirumuskan dalam skema I tentang Gereja. “Vatikan II memang membuka pandangan baru terhadap Gereja, tetapi tidak menolak yang lama”, bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.44.
[13] Lih. LG.8; bdk. UR.3.
[14] Seperti terungkap dalam Bab I dan II, pandangan baru tentang Gereja berarti, Suatu sentralisasi vertikal pada Kristus dan suatu desentralisasi horisontal pada umat Allah”, Y. Congar, “L’Eglise : De saint Augustin a I’epoque modernr:, Paris : Cerf 1970, hlm.473.
[15] Tentang bagaimana “Sacrosanctum Concilium” melengkapi “Lumen Gentium”, lihat T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm. 28.
[16] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.31-32.
[17] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.33-35.
[18] J. A. Komonchak membuat kesalahan dengan menukarkan bab V (tentang panggilan untuk kesempurnaan) dengan bab VI (para religius), cf. hlm.1075.
[19] Bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.37.
[20] Sebelas hari sesudah Konstitusi tentang Gereja resmi diumumkan pada 21 November 1964, Paus Paulus VI untuk pertama kalinya mengunjungi India, sesudah pada awal tahun itu juga beliau mengunjungi Yordania dan Israel.
[21] Amanat Para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, 20 Oktober 1962, memandang sebagai isyu yang mendesak secara khas; disamping perdamaian, masalah keadilan sosial, mengacu kepada Ensiklik Paus Yohanes XXIII “Mater et Magistra”. Juga “Pesan-Pesan Akhir Konsili”, Yang disampaikan oleh Paus Paulus VI dan para Bapa Konsili pada tgl.8 Desmber 1965, menggarisbawahi makin perlunya umat kristen melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat modern. Tentang GS lihat T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.39- 42.
[22] Boleh dikatakan juga, bahwa “Lumen Gentium” harus dibaca ke arah “Gaudium et Spes”, bdk. T. Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.23.
[23] Amanat para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, 20 Oktober 1962, mengacu kepada amanat radio Paus Yohanes XXIII , 11 September 1962, yang menekankan kerinduan umat manusia akan perdamaian.
[24] Dibacakan “Breve” (amanat tertulis singkat) Paus pada hari itu juga, yang menyatakan Konsili ditutup secara resmi, dan bahwa semua Dekrit harus “dilaksanakan dengan seksama oleh segenap umat beriman”.
[25] Dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II ternyata prinsip kolegial dan sinodal dalam kepemimpinan Gereja bukan hanya tidak dihapus, melainkan bahkan dilaksanakan. Sementara Paus diakui primatnya (Vatikan I dan II), Paus tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan Dewan para Uskup (Vatikan II).