Rabu, 04 September 2013

Cemburu & Cinta

CINTA Vs CEMBURU

Bertrand Russell, dalam bukunya The Conquest of Happiness, berkata bahwa cemburu merupakan salah satu dorongan hati manusia yang universal dan tertanam di dalam hati. Batas antara cinta dan cemburu demikian tipis. Kerap terjadi, semakin seseorang mencintai pasangannya, semakin ia khawatir akan kehilangan orang itu. Perasaaan cemburu merupakan salah satu konsekuensi mencinta. Dalam bukunya The Romance Factor, Allan McGinnis berpendapat bahwa cemburu dalam takaran tertentu dapat menandakan cinta.

Namun, kadang rasa cemburu dalam relasi cinta menjadi “buta”, yang dapat merusak relasi cinta itu. Ini disebabkan kepribadian yang tidak seimbang. Rasa cemburu bisa bersifat patologis, yakni semacam kelainan jiwa yang berakar pada proses pembentukan kepribadian sedari masa kecil.

Perasaan cemburu yang berlebihan dapat saja muncul sebagai manifestasi dari perasaan tak mau dikalahkan oleh orang lain. Seorang kekasih bersikap demikian karena ia tak ingin pasangan-nya mengagumi atau terpikat pada orang lain yang lebih unggul dari dirinya. Russell mengemukakan, perasaan cemburu pada hakikatnya muncul karena kebiasaan manusia membandingkan dirinya dengan manusia lain; lalu muncul perasaan terancam atau tersaingi.

Cara mengatasi rasa cemburu, menurut Russell adalah dengan melebarkan hati sebagaimana kita melebarkan pikiran. “Bagaimana kita bisa mengubah perasaan cemburu menjadi perasaan kagum,” ungkap Russell. Cara lain adalah dengan membiasakan diri berpikir positip. Di sini kita dapat melihat diri sendiri dari sudut positip dan bisa pula melihat kelebihan orang lain dengan besar hati

Sumber: HIDUP 9 Des 2007, hlm 24

Orang Kudus 4 September: St. Musa

SANTO MUSA, NABI
Musa dikenal dan dihormati sebagai pendiri bangsa Israel. Ia dipilih Yahweh, Allah Abraham, Ishak dan Yakob, untuk memimpin kaum keturunan Abraham keluar dari penindasan Firaun di Mesir, dan selanjutnya bersama mereka membawakan kurban persembahan kepada Allah di Gunung Sinai. Di sanalah Yahweh mengadakan perjanjian dengan mereka dengan perantaraan Musa, abdi-Nya.

Musa, seorang tokoh historis, peletak dasar bagi keberadaan Israel sebagai suatu bangsa merdeka, dan peletak dasar agama Yahudi. Sejarah awal Israel sebagai suatu bangsa di Palestina tidak bisa dipahami terlepas dari Musa. Sewaktu keluar dari Mesir atas campur tangan Allah, bangsa Hibrani menjadi sebuah kelompok orang yang merdeka, namun tidak terdidik dan tidak mempunyai suatu pengalaman pun untuk membentuk dirinya sendiri menjadi suatu kesatuan sosial-politik. Melalui perantaraan Musa, Allah mengikat perjanjian dengan mereka di Gunung Sinai. Oleh perjanjian Sinai itulah, bangsa Hibrani memperoleh suatu identitas nasional yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Mereka dipilih Allah dari antara bangsa-bangsa menjadi umat kesayangan-Nya dengan hukum atau undang-undang sendiri yang mengatur pola hidup dan tingkah laku mereka sebagai suatu bangsa.

Kisah tentang kehiduan dan karier Musa tetap tinggal kabur. Satu-satunya sumber informasi terpercaya hingga sekarang ialah Kitab Suci, khususnya Kitab Keluaran yang ada di dalam bilangan Kitab Pentateukh. Di sana Musa dilukiskan sebagai tokoh utama peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir dan pengembaraan mereka di padang gurun selama 40 tahun. Dia dibesarkan di dalam dua lingkungan budaya yang berbeda, yakni Mesir dan Midian. Namanya kemungkinan diturunkan dari sebuah kata kerja bahsa Mesir, yang berarti  ‘dilahirkan’. Tradisi Kitab Suci (Lih. Kel 2: 1 – Yos 24: 5) mengatakan bahwa ia dilahirkan di Mesir dari sebuah keluarga Hibrani, dan kemudian dibesarkan di lingkungan istana Firaun. Di dalam istana itu ia dididik dalam segala hikmat ornag Mesir dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya (bdk. Kis 7: 22). Namun pendidikan ala Mesir di istana Firaun itu nampaknya tidak merusak ikatan batin dengan orang sebangsanya. Sudah hampir dipastikan bahwa adatistiadat yang diwariskan dan Allah Abraham, Ishak dan Yakob itu diketahuinya di Mesir.

Kecuali itu, tradisi Kitab Suci pun mengatakan bahwa ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di daerah Midian, bagian Timur Mesir. Midian adalah tempat pengungsiannya setelah ia membunuh mandor Mesir yang menganiaya orang-orang sebangsanya. Di sana ia menemukan kembali tradisi nenek moyangnya yang tetap tidak berubah oleh pengaruh-pengaruh Mesir (bdk. Kel 4: 24 – 26). Alkitab menghubungkan peristiwa pengungsian itu dengan peristiwa perwahyuan Yahweh dan panggilan atas dirinya untuk mengmban tugas sebagai pembebas bangsa Israel dari kekejaman Firaun di Mesir (Kel 2: 14 – 14: 20). Dengan demikian jelaslah bahwa pengungsian itu merupakan penyelenggaraan ilahi dalam kerangka penyelamatan bangsa Israel.

Dalam hal penulisan Kitab Suci, Musa dipandang sebagai pengarang Kitab Pentateukh, kelima kitab pertama dari Perjanjian Lama. Ini tidak berarti bahwa ia sendirilah yang menuliskan setiap kata dari kitab itu. Walaupun kebanyakan bagian Kitab Pentateukh ditulis setelah kematiannya, namun dianggap sebagai tulisannya karena didasarkan pada tradisi lisan yang diwariskannya. Atas dasar itu dan juga karena ia adalah tokoh utama yang mendominasi fase awal sejarah Israel, maka seluruh Kitab Pentateukh dihubungkan dengan Musa sebagai pengarangnya.

Atas dasar yang sama, Musa dianggap sebagai pemberi Hukum Allah kepada bangsa Hibrani. Dialah yang menetapkan patokan dasar tingkah laku bangsa Hibrani sesuai dengan kehendak Yahweh. Generasi-generasi kemudian menyesuaikan hukum itu dengan tuntutan perkembangan zaman dan pandangan-pandangan hidup baru di bawah semangat Musa.

Musa tidak diizinkan Yahweh memasuki tanah Kanaan yang dijanjikan kepada keturunan Abraham karena ketegaran hati dan ketidakpercayaan bangsa Israel kepada Yahweh (Ul 1: 37 – 38). Tuhan hanya menunjuk kepadanya tanah terjanji itu dari atas Gunung Nebo. Akhirnya Musa meninggal di tanah Moab, di bagian Timur Kanaan. Orang-orang Israel meratapi dia selama 30 hari (Ul. 34: 5 – 8).

Dalam Perjanjian Baru, penggelaran terhadap Musa sering melebihi tokoh-tokoh Perjanjian Lama lainnya, mengingat kualitasnya sebagai pemberi Hukum Allah (Mat 8: 4; Mrk 7: 10). Kecuali itu ia dihubungkan dengan Yesus Kristus sebahai tokoh pra-lambang Mesias terjanji (Yoh 6: 32; Ibt 3, 5, 6)

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Rabu Biasa XXII-C

Renungan Hari Rabu Biasa XXII, Thn C/I
Bac I   : Kol 1: 18; Injil   : Luk 4: 38 44

Dalam Injil hari ini Yesus menegaskan tugas perutusan-Nya yang tidak dibatasi satu tempat saja. “Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus.” (ay. 43), demikian pernyataan Yesus kepada mereka yang berusaha menahan-Nya. Usaha untuk menahan Yesus mengindikasikan satu hal, yaitu mereka senang dengan Yesus dan ingin menikmatinya terus. Untuk mencari popularitas, sebenarnya inilah kesempatan Yesus. Namun Yesus memutuskan untuk pergi.

Memberitakan Injil Kerajaan Allah jugalah yang menjadi topik surat Paulus kepada Jemaat di Kolese. Lewat bacaan kedua hari ini, kita dapat mengetahui bahwa Paulus pernah mewartakan Injil di Kolese dan saat itu ia berada di tempat lain, juga untuk mewartakan Injil Tuhan. Dari tempat jauh Paulus mendengar pertumbuhan benih Injil di Kolese, sehingga membuat Paulus merasa bangga.

Hari ini Tuhan mau mengingatkan kita akan tugas perutusan kita. Lewat baptisan yang kita terima, kita terpanggil untuk mewartakan Injil Kristus ke mana-mana. Sama seperti Yesus, kita diminta untuk tidak puas diri di satu lokasi saja. Tuhan menghendaki agar warta Injil dikenal luas.

by: adrian