Senin, 24 September 2018

MEMAHAMI SELIBAT ROHANIWAN KATOLIK


Saudara-saudara protestan sering mempertanyakan para imam yang tidak menikah. Tak sedikit dari mereka, sama seperti orang lain, merasa aneh dengan perilaku tidak menikah para imam ini. Memang hal ini dapat dimaklumi karena umumnya mereka melihat perkawinan itu sebagai tujuan dan kewajiban. Orang yang sudah mencapai usia matang berkewajiban untuk menikah. Tidak menikah tentulah akan menimbulkan skandal: tidak laku atau punya kelaian seksual.
Namun kebanyakan orang protestan menilai bahwa hidup selibat (atau tidak menikah) yang dijalani para iman merupakan bentuk pelanggaran atas perintah Allah. Dasarnya adalah kitab Kejadian 1: 28. Di sana Allah, setelah memberkati Adam dan Hawa, bersabda, “Beranakcuculah dan bertambah banyak…”. Ini dimengerti sebagai perintah untuk menikah dan melahirkan anak.
Tulisan “Ini Alasan Kenapa Pastor Tak Menikah” menjawab tanda tanya orang-orang selama ini. Memang patut diakui ketentuan selibat baru muncul pada awal abad IV, persisnya pada Konsili Elvira (sekitar tahun 304). Selain itu juga, hidup selibat bukanlah sebuah doktrin. Dengan kata lain, aturan hidup selibat ini baru ditetapkan Gereja kemudian, bukan perintah langsung dari Yesus Kristus atau para jemaat perdana.
Semua proplematik hidup selibat para imam diulas dengan sangat menarik dalam tulisan ini. Untuk mengetahui lebih lanjut ulasan tulisan tersebut, silahkan klik di sini untuk membaca.

MENIKAH ITU BUKAN TUJUAN, TAPI .....


Tak sedikit orang melihat perkawinan itu sebagai tujuan hidupnya. Ini bisa terjadi karena perkawinan dilihat sebagai kewajiban atau keharusan. Orang dengan konsep perkawinan ini tidak termotivasi untuk menjaga, merawat dan membangun hidup perkawinan. Setelah menikah, ya selesai sudah, tinggal menuntut haknya.
Bagi calon pasutri katolik, perkawinan harus dilihat sebagai awal atau permulaan. Setidaknya ada 3 permulaan dalam perkawinan. Pertama, perkawinan sebagai awal hidup baru sebagai suami istri. Dengan menikah seorang pria (wanita) disadarkan bahwa dirinya adalah seorang suami (isteri). Mereka tidak sebebas ketika masih lajang. Seorang pria akan menjaga jarak dengan wanita lain, karena dia punya isteri; demikian pula dengan isteri.
Kedua, perkawinan sebagai awal pengenalan jati diri asli. Patut diakui bahwa sewaktu pacaran masing-masing pihak menampilkan diri yang terbaik supaya pasangannya tertarik. Jati diri yang buruk semaksimal mungkin disembunyikan. Setelah menikah masing-masing pihak baru mengenal karakter asli pasangannya. Karena sudah menikah, mau tak mau berusaha untuk menerima dan menyesuaikan. Tak jarang hal ini menjadi kerikil dalam hidup rumah tangga.
Ketiga, perkawinan sebagai awal perjuangan. Apa yang harus diperjuangkan? Setelah menikah pasutri berjuang untuk menyatukan perbedaan di antara mereka, seperti hobi, kebiasaan, selera masakan, sifat dan karakter, dll. Mereka juga harus berjuang membangun keluarga kristiani.
by: adrian