Kamis, 22 April 2021

MENCERMATI KASUS JOSEPH PAUL ZHANG


 

Belum lama ini publik muslim Indonesia dihebohkan dengan video seorang Youtuber bernama Joseph Paul Zhang. Sontak tema penistaan agama dan ujaran kebencian mengiringi kehebohan tersebut. Yang menjadi korban dalam kasus ini adalah umat islam; dan ini sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah. Setiap ada penodaan agama islam, kehebohan pasti mengiringinya. Salah satu pusat kehebohan itu adalah klaim Joseph Paul Zhang bahwa dirinya adalah nabi ke-26 setelah nabi Muhammad. Pernyataan ini dinilai sungguh melukai hati perasaan umat islam. Karena itulah, mereka lantas mencap Joseph Paul Zhang sebagai penoda agama.

Sebenarnya umat islam harus bangga karena dalam pernyataan tersebut secara tersirat Joseph Paul Zhang mengakui kenabian Muhammad. Dari nama, “penoda” ini bukanlah umat islam, tapi dia mengakui Muhammad sebagai nabi ke-25. Di saat umat agama lain tidak mengakui kenabian Muhammad, ini ada orang yang mengakuinya. Sudah seharusnya umat islam bangga. Tapi, yang terlihat justru tersinggung, marah dan lantas mengecam Joseph Paul Zhang. Jika umat islam sudah yakin bahwa Muhammad adalah nabi terakhir, yah anggap saja pernyataan Joseph Paul Zhang itu ngawur. Umat islam harus belajar dari pengalaman orang Yahudi dan Nasrani saat pertama kali Muhammad mengklaim dirinya nabi. Baik orang Yahudi maupun Nasrani langsung menolak kenabian Muhammad tanpa sama sekali merasa tersinggung atau marah. Mereka malah merasa lucu. Hal ini karena mereka sudah yakin dengan agamanya. Mereka punya standar atau kriteria nabi, yang bila dikenakan ke Muhammad “jauh panggang dari api”.

Dalam tulisan ini, kami sama sekali bukan hendak membela Joseph Paul Zhang. Posisi sikap kami adalah mengecam perbuatannya, sekalipun dia merasakan bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai pengungkapan kebenaran. Sikap kami ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh Paus Fransiskus dan Ahmad al-Tayyeb, dalam Dokumen Abu Dhabi (4 Februari 2019). Dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa agama tidak boleh menghasut pemeluknya untuk menebarkan kebencian dan permusuhan tetapi harus menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Kami juga mendukung upaya untuk menegakkan hukum untuk penangan kasus ini.

PRASANGKA NEGATIF: BAIK ATAU BURUK?


 

Seorang teman menulis di status facebook-nya: “Prasangka negatif adalah tetangga  yang paling dekat dengan kebodohan.” Istilah tetangga yang paling dekat merupakan istilah lain dari sama dengan. Jadi, sebenarnya teman itu mau menulis bahwa prasangka negatif itu merupakan suatu kebodohan.

Benarkah demikian?

Yesus mengajarkan kita untuk mengeluarkan balok di mata kita lebih dahulu baru kita dapat mengeluarkan selumbar di mata teman kita (Mat. 7: 3 – 5). Selumbar itu lebih kecil dari balok, namun kita melihatnya menjadi besar karena ia ada di luar diri kita. Sementara balok yang lebih besar menjadi kecil karena ia ada di diri kita. Di sini Yesus mau mengatakan bahwa setiap kita punya balok di mata kita. Hendaklah kita semua menanggalkan atau mengeluarkan balok itu sehingga kita dapat melihat sesama kita apa adanya.

Karena itu, pertama-tama harus disadari adalah bahwa setiap prasangka itu selalu negatif. Kenegatifan ini sepertinya manusiawi. Semua manusia memiliki kecenderungan melihat yang negatif.

Akan tetapi tidak selamanya prasangka negatif itu buruk atau jahat. Tidak selamanya juga prasangka negatif itu bodoh.  Sebuah prasangka itu negatif karena ia bertolak dari yang positif. Ketika orang tidak menemukan yang positif, dari situlah akhirnya muncul prasangka negatif.

Contohnya, prasangka negatif seorang isteri terhadap suaminya. Ia mengira sang suami selingkuh. Kenapa muncul prasangka ini? Bisa jadi ada perubahan sang suami. Biasanya suami pulang jam 18.300, mesrah dengan isteri, bercanda sama anak-anak, nonton bareng di ruang tamu, ada gairah di ranjang, dll. Gambaran ini merupakan gambaran positif. Namun yang terjadi akhir-akhir ini, ia pulang jam 22.00, dengan muka masam, tak ada canda dengan anak-anak, tak ada acara nonton bareng, di ranjang langsung pulas, dll. Ini adalah gambaran negatif. Nah, karena hilangnya gambaran positif inilah, sang istri akhirnya berprasangka negatif: suami ada selingkuhan. Apakah ini bodoh?

Contoh lain. Kita tentu kenal dengan Gayus HP Tambunan. Kenapa ia akhirnya dipenjara karena kasus korupsi? Semuanya berawal dari prasangka negatif. Orang tahu bahwa Gayus itu pegawai pajak golongan III-A.  Gaji PNS Golongan III-A sekitar 2 – 2,5 juta per bulan. Dengan gaji segitu siapapun dapat memberikan gambaran positifnya. Namun yang terjadi adalah Gayus memiliki uang 25 millyar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 millyar dan perhiasan senilai 14 millyar di bank atas nama isterinya. Belum lagi rumahnya yang nilainya millyaran rupiah. Ini merupakan gambaran negatif. Nah, ketika orang tidak menemukan yang positif pada diri Gayus sebagai PNS golongan III-A, orang akhirnya berprasangka negatif. Apakah ini bodoh?