Senin, 30 November 2020

PAHAMI DAHULU SEBELUM BERBUAT


Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far, atau yang lebih dikenal dengan nama Ebiet G Ade, pernah menulis syair lagu dengan judul “Dengarkanlah Kata-Kataku”.  Penggalan bait refreinnya, yang cukup menyentuh hati, berbunyi:

“Dengarkanlah dengan hatimu

Jangan engkau dengar dengan jiwa buta

Dengarkanlah kata-kataku

Jangan engkau melihat siapa aku”

Di sini Ebiet mau mengajak kita, para pendengar, untuk mengubah pola pikir dalam melihat sesuatu yang ada di luar diri kita. Misalnya soal kebenaran atau juga kebaikan. Bagi Ebiet, kebenaran atau kebaikan itu bukan soal rasa: saya suka dan/atau tidak suka; bukan juga soal kepentingan: di pihak saya dan/atau musuh saya.

Ebiet G Ade menghendaki agar kita menilai sesuatu itu bukan dengan jiwa buta. Artinya, menilai sesuatu itu bukan didasari pada diri sendiri: saya suka maka itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika saya tidak suka maka sesuatu itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus; jika sesuatu itu ada di pihak saya maka ia itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika sesuatu itu “anti” saya maka ia itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus.

Ebiet G Ade menghendaki agar kita melihat isinya, bukan pada kulitnya. “Dengarkanlah kata-kataku, jangan engkau melihat siapa aku.” Dengan kata lain Ebiet G Ade ingin agar kita “jangan menilai buku itu dari kulitnya.” Sekalipun kulit buku atau sampul buku itu tidak bagus dan tidak menarik, belum tentu isinya juga tidak bagus dan tidak menarik. Sebaliknya, belum menjadi jaminan bahwa sampul atau kulit yang menarik menentukan isi buku yang menarik juga.

Legenda Rawa Pening

TOLOK UKUR KEASLIAN SEBUAH TULISAN


Jika kita mencermati argumen-argumen umat islam di media sosial, umumnya kita dapat menemukan satu ciri khasnya, yaitu argumen tanpa nalar. Kebanyakan argumen yang dibangun sungguh di luar akal sehat sehingga bagi yang masih mempunyai akal budi hal tersebut terasa tak masuk akal. Misalnya, argumentasi soal keaslian tulisan. Dalam sebuah tulisan ada seorang menyatakan bahwa Al-Qur’an terjaga keasliannya, sedangkan Alkitab tidak. Dasar keasliannya adalah reaksi umat; jika ada amuk massa, maka tulisan itu asli, tapi jika tidak maka tulisan tersebut palsu.

Tentulah argumentasi tersebut sangat dangkal dan lemah. Akan tetapi, sepertinya sudah menjadi ciri khas islam bahwa kebenaran ditentukan juga dengan kekerasan (amuk massa). Hal ini ditegaskan pula dalam salah satu hadis terpercaya, dimana dikatakan bahwa Allah SWT mendukung agama melalui orang yang berhati culas kejam. Karena itulah, islam selalu diidentikkan dengan radikalisme dan terorisme.

Sebuah Kebenaran

Patut diakui bahwa jika Al-Qur’an diubah-ubah atau dipalsukan pastilah akan menimbulkan reaksi besar, bukan saja di Indonesia melainkan seluruh dunia. Umat islam akan marah, protes dan melakukan tindakan anarki lainnya. Berbeda dengan Injil atau Kitab Suci orang kristen. Akan tetapi, apakah kemarahan, protes dan tindakan anarki merupakan tolok ukur keaslian tulisan?

Harus disadari juga bahwa reaksi marah, kekerasan bahkan sikap anarkis umat islam ini bukan hanya muncul bila terjadi sesuatu pada Al-Qur’an yang tidak benar, melainkan juga pada atribut agama. Misalnya, jika ada “pelecehan” atau informasi yang tidak disukai berkaitan dengan Nabi Muhammad, maka umat islam seluruh dunia akan demo, protes, marah bahkan bertindak brutal. Tentu kita masih ingat akan kasus pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” oleh Toko Buku Gramedia pada 14 Juni 2012. Gramedia takut menghadapi ancaman umat islam. Atau ketika ada video dengan nabi Muhammad, umat islam sedunia marah.