Rabu, 25 November 2015

(Pencerahan) Tak Semua Rangkap Jabatan Itu Serakah

KESERAKAHAN DAN RANGKAP JABATAN
Serakah atau keserakahan merupakan salah satu sifat buruk yang harus dihindari. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru terdapat 10 kali penyebutan kata ini, yaitu sekali dalam Injil (Mrk 7: 22), tujuh kali dalam surat Paulus (Rom 1: 29; Ef 4: 19; Ef 5: 3; Ef 5: 5; Kol 3: 5; 1Tim 3: 8 dan Tit 1: 7) dan dua kali dalam surat Petrus (2Ptr 2: 3 dan 2Ptr 2: 14). Semuanya menyerukan agar umat menghindari sifat serakah ini, karena orang yang serakah tidak akan mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah (Ef 5: 5).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “serakah” dipahami sebagai selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Orang yang memiliki sifat ini mempunyai perasaan tidak puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya. Dia ingin lagi dan lagi, sekalipun ia sadar akan keterbatasan dirinya. Karena itu, kata “serakah” ini berpadanan dengan kata tamak atau rakus.
Dalam arti tertentu, kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, ke dalam dosa disebabkan karena sifat serakah mereka. Sekalipun sudah menikmati hidup bahagia di taman Eden, namun mereka tidak puas. Mereka ingin lebih. Pada titik inilah setan masuk dan menggoda. “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej 3: 4 – 5). Manusia ingin lebih dari apa yang sudah ada, sehingga akhirnya ia menuruti godaan setan.
Keserakahan dapat terlihat dalam berbagai wujud. Perselingkuhan yang terjadi dalam dunia rumah tangga bisa dikatakan sebagai bentuk lain dari keserakahan, karena suami atau istri merasa tidak puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya, yaitu pasangan hidupnya. Keserahakan juga dapat dilihat pada perilaku remaja yang melakukan hubungan seks sebelum nikah, karena tindakan itu hanya dikhususkan bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri (makanya, hubungan seks = hubungan suami istri). Orang yang melakukan korupsi pun dapat dimasukkan ke dalam kategori serakah.
Masih banyak lagi bentuk konkret dari keserakahan. Yang akan dibahas di sini adalah soal rangkap jabatan. Ada banyak dalam kehidupan kita, baik itu dalam dunia sipil maupun dalam dunia Gereja, fenomena rangkap jabatan. Artinya, satu orang memegang beberapa jabatan. Menjadi persoalan, apakah rangkap jabatan termasuk kategori serakah?
Perlu disadari bahwa tidak semua yang rangkap jabatan itu adalah serakah. Akan tetapi, yang serakah itu pasti rangkap jabatan. Tidak ada orang yang tidak serakah hanya memiliki satu jabatan saja. Karena sifat tidak puas dengan apa yang sudah ada itu membuat orang berusaha untuk mendapatkan jabatan lain. Namun, orang yang rangkap jabatan belum bisa dikatakan sebagai orang serakah.
Orang memiliki beberapa jabatan, atau biasa disebut rangkap jabatan, dapat disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, keterbatasan tenaga kerja. Keterbatasan ini bisa disebabkan karena real tidak ada orang. Misalnya, di Keuskupan Jayapura pernah terjadi satu imam menjabat 2 – 3 paroki. Hal ini dikarenakan jumlah imamnya tak sebanding dengan jumlah parokinya, sehingga satu orang merangkap jabatan. Atau bisa juga keterbatasan itu karena demi penghematan. Misalnya, di suatu lembaga pendidikan, tenaga sekretaris merangkap jabatan sebagai kepala gudang sekaligus mengajar.
Kedua, jabatan yang didapat karena jabatan sebelumnya. Artinya, jabatan lain itu didapat karena jabatan pertama yang disandangnya. Istilah teknisnya ex-officio. Contohnya, dalam pemerintahan, ketua Forum Kebersamaan Umat Beragama (FKUB) dijabat oleh wakil kepala daerah. Jadi, orang mendapatkan jabatan ketua FKUB karena jabatan wakil kepala daerah yang melekat padanya. Atau Pastor Kepala Paroki adalah juga sekaligus ketua Dewan Pastoral Paroki dan Ketua Dewan Pengelola Harta Benda Gereja. Jabatan ketua DPP dan DPHGB diperoleh karena jabatan Pastor Kepala Paroki.
Jadi, jangan langsung menghakimi orang yang merangkap beberapa jabatan sebagai orang serakah. Harus dilihat dulu latar belakang jabatan-jabatan itu. Mungkin jabatan-jabatan lain itu diperoleh karena jabatan pertama atau karena adanya keterbatasan tenaga kerja.

Renungan Hari Rabu sesudah HR Kristus Raja - Thn I

Renungan Hari Rabu Biasa XXXIV, Thn B/I
Injil hari ini melanjutkan ramalan Tuhan Yesus tentang kehancuran. Kepada para murid-Nya, Tuhan Yesus mengatakan bahwa mereka akan mendapat tantangan dan aniaya yang sangat berat. Namun Tuhan Yesus meminta mereka untuk tidak takut atau lari dari masalah. Justru Ia meneguhkan mereka untuk tetap bersaksi tentang Dia. Di sini Tuhan Yesus mau meyakinkan mereka bahwa Dia tidak akan meninggalkan mereka sendirian, sehingga dengan demikian mereka dapat terus memberi kesaksian.
Gambaran kehancuran dan kesetiaan dalam Injil hari ini terlihat juga dalam Kitab Daniel, dalam diri Daniel sendiri. Dalam bacaan pertama, kita tahu bahwa Daniel merupakan orang buangan, tawanan Kerajaan Babel. Sebagai tawanan, Daniel mengalami kehancuran, namun ia tetap menunjukkan kesetiaan kepada Allah. Karena itu, Allah senantiasa menyertainya. Bahkan dalam situasi seperti itu, Daniel tetap bersaksi tentang kemahakuasaan Allah. Daniel lebih tertarik pada bersaksi daripada menerima pemberian hadiah.
Seringkali manusia takut bila menghadapi tantangan dan cobaan, apalagi bila diketahui bahwa hal itu sangatlah berat. Tak sedikit yang lari menghindari atau bersembunyi. Demikian pula dalam hal iman. Berhadapan dengan tantangan iman, banyak di antara kita yang mudah menyerah. Wujudnya adalah dengan meninggalkan iman, tergiur akan tawaran dan hadiah. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk teguh dalam iman. Kita tak perlu cemas dan takut. Kita tidak sendirian dalam menghadapi semuanya itu. Tuhan selalu menyertai kita, asal kita mau membuka diri bagi-Nya.***
by: adrian