Minggu, 17 Maret 2019

MENGHADAPI SITUASI POST POWER SYNDROME

Hari ini, dua tahun lalu, persisnya 17 Maret 2017, blog budak-bangka menurunkan sebuah tulisan dengan judul “Post Power Syndrome”. Tulisan tersebut masuk dalam label bilik psikologi, karena berbicara mengenai persoalan kejiwaan seseorang. Tulisan dua tahun lalu itu diambil dari tulisan di Harian Kompas, 11 Februari 2017, hlm 13.
Hampir setiap orang akan mengalami situasi Post power syndrome (PPS). PPS merupakan suatu gejala “penyakit” yang dialami kebanyakan orang setelah tidak lagi punya aktivitas tetap. Karena itu, tulisan dua tahun lalu itu berangkat dari kisah pengalaman seorang mantan direktur di perusahaan multinasional. Dari kisah tersebut mengalirlah ulasan dan telaah psikologis mengenai orang-orang yang “tidak menjabat lagi” di suatu jabatan.
Tulisan tersebut dikemas dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana dan ringan sehingga dapat dengan mudah dinikmati pembaca mana pun. Di dalam tulisan tersebut ada banyak tawaran berguna atau petunjuk praktis bagi mereka-mereka yang akan menghadapi situasi “tidak lagi menjabat”. Apa saja tawaran tersebut? Dan bagaimana orang dapat menghadapi situasi “tak menjabat lagi” dengan hati sukacita? Langsung saja klik dan baca di sini. Selamat membaca!!!

PAUS FRANSISKUS: TEKNOLOGI MENCIPTAKAN PESONA BERBAHAYA


Teknologi memiliki potensi yang memberi manfaat bagi semua umat manusia, tetapi juga menimbulkan hal yang beresiko akan akibat-akibat tak terduga, demikian kata Paus Fransiskus. Evolusi yang cepat dari peningkatan kapasitas teknologi, misalnya dengan kecerdasan buatan dan robot, menciptakan “pesona berbahaya; alih-alih memperlakukan kehidupan manusia dengan peralatan yang meningkatkan kepedulian, ada resiko menyerahkan kehidupan ke logika instrumen,” jelas Paus Fransiskus pada 25 Februari lalu.
“Perubahan itu diarahkan untuk menciptakan hasil yang naas – mesin tidak terbatas bisa berjalan sendiri, tetapi akhirnya mengontrol umat manusia,” jelas Paus Fransiskus. Pernyataan Paus Fransiskus ini disampaikan dalam audensi dengan anggota Akademi Kepausan untuk Kehidupan dan mereka berpartisipasi dalam siding ppleno pada 25 – 27 Februari, yang mencakup lokakarya dua hari tentang “Etika Robot: Manusia, Mesin dan Kesehatan.”
Dalam pidatonya itu, Paus Fransiskus mencatat “paradoks dramatis” yang sedang bekerja saat ini: tepat ketika umat manusia telah mengembangkan kemampuan ilmiah dan teknologi untuk membawa kesejahteraan yang lebih baik dan lebih luas bagi semua orang, sebaliknya ada peningkatan ketidak-setaraan dan konflik yang semakin memburuk.
Sementara bersyukur atas penelitian yang telah memecahkan masalah yang dulu dianggap tidak dapat diatasi, komplikasi dan ancaman baru dan lebih berbahaya telah muncul, jelas Paus Fransiskus. Masalahnya adalah ketika teknologi dikejar semata-mata untuk menguasai kemampuan yang sama sekali baru sambil mengabaikan tujuan sebenarnya dari teknologi dan untuk siapa itu ditujukan.

KEBENARAN BUKAN SOAL PERASAAN


Hari ini, empat tahun lalu, persisnya 17 Maret 2015, blog budak-bangka menurunkan sebuah tulisan dengan judul “Antara Kesenangan dan Kebenaran”.  Tulisan tersebut masuk dalam kategori sebagai inspirasi hidup. Sebagaimana diketahui, ada begitu banyak sumber yang dapat dijadikan inspirasi hidup. Salah satunya adalah Kitab Suci. Bagi orang Kristen, kitab suci sudah menjadi pedoman hidup bagi umat manusia.
Inspirasi hidup dalam tulisan empat tahun lalu itu diambil dari Kitab Nabi Yeremia. Salah satu hal yang hendak disampaikan adalah bahwa tak selamanya yang menyenangkan itu benar. Tentulah hal ini sangat bertentangan dengan pendapat umum, yang lebih suka pada hal-hal yang menyenangkan. Kebenaran selalu ditentukan dari perasaan senang.
Tulisan tersebut dikemas dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana dan ringan sehingga dapat dengan mudah dinikmati pembaca mana pun. Ada begitu banyak pesan yang terkandung di dalamnya, yang berguna bagi kita. Mau membaca tulisan tersebut? Langsung saja klik dan baca di sini. Selamat membaca!!!