Kamis, 10 Maret 2022

RANGKAP JABATAN, ANTARA KETIDAK-PERCAYAAN DAN SERAKAH

Rangkap jabatan merupakan masalah yang kerap muncul. Dalam dunia politik, masalah ini sering dilontarkan. Ada begitu banyak kritik yang dialamatkan kepada beberapa pejabat yang memiliki jabatan rangkap, entah itu dua, tiga atau lebih. Karena itu, mengawali pemerintahannya, Presiden Jokowi membuat pembaharuan. Jokowi ingin menghilangkan rangkap jabatan bagi bawahannya. Karena itu, kepada mereka yang menerima jabatan menteri diminta untuk mundur dari jabatan politik.

Jokowi beralasan melarang bawahannya memiliki jabatan rangkap. Salah satunya adalah konflik kepentingan. Miftah Thoha, dalam KOMPAS, 30 Juli 2013, halaman 6, menulis, “Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apapun – baik etika, manajemen, sosial, politik maupun ekonomi – kurang pantas. Selain kurang pantas, rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau korupsi.”

Rangkap jabatan bukan hanya milik warga sipil-sekular saja, melainkan juga sudah merambah ke dalam Gereja. Baik umat awam maupun imam ada yang mempunyai jabatan rangkap dalam Gereja. Berikut ini hanya sekedar contoh.

Wahyu bertugas di paroki antah berantah. Selain bertugas sebagai pastor paroki, Wahyu juga bertugas di anu dan di ani. Lokasi tugas anu dan ani masih satu kota, sehingga tidak terlalu masalah. Tapi parokinya berada di luar kota, kurang lebih 3 jam perjalanan. Karena itu, Wahyu harus membagi waktu untuk mengurus pekerjaannya: beberapa hari ia di paroki sisanya di tempat lain. Hasilnya, ada banyak pekerjaan terbengkelai.