Selasa, 02 Juni 2020

KORUPSI BERAWAL DARI CINTA UANG


Enam hari sebelum paskah, Yesus datang ke Betania, tempat tinggal Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati. Di situ diadakan perjamuan untuk Dia, dan marta melayani, sedang salah seorang yang turut makan dengan Yesus adalah Lazarus. Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu.
Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan Dia, berkata, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin. Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya (Yoh 12: 1 – 6).
Uang itu memang menggoda, karena ia adalah salah satu bentuk godaan. Uang, sebagai godaan, masuk dalam kelompok harta kekayaan. Oleh karena itu, orang yang selalu dan sering bersentuhan dengan uang, seperti kasir, bendahara, dll, adalah orang pertama yang digoda atau tergoda. Rasul Paulus, dalam suratnya kepada Timotius, berkata, “Akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1Tim 6: 10).
Contoh di atas sudah membuktikan. Yudas Iskariot adalah pemegang kas kelompok para murid. Dia memegang uang. Dan uang itu juga yang menggoda dia. Makanya dikatakan ia sering mengambil uang dalam kas. Bahkan karena godaan uang ia rela menjual Yesus.

TELEVISI MENGANCAM KEHIDUPAN

Dewasa kini televisi sudah menjadi kebutuhan pelengkap utama dalam rumah tangga. Setiap rumah setidaknya mempunyai satu televisi. Hal ini dapat dimaklumi karena menonton acara televisi sudah menjadi budaya dalam masyarakat; sudah menjadi bagian dari agenda hidup keseharian sebagaimana makan dan tidur. Tak jarang anak dibiarkan sendiri menonton televisi tanpa pendampingan orangtua.
Akan tetapi, sering kali kita lupa kalau ternyata televisi memiliki akibat psikologis terhadap perkembangan anak. Salah satu dampak buruknya adalah anak akan kehilangan kepekaan gender dan moral. Kenapa bisa demikian?
Tak bisa dipungkiri bahwa pemilik stasiun televisi adalah seorang pebisnis. Semua pebisnis umumnya mempunyai orientasi profit: mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hukum ekonomi menjadi pijakan dasarnya. Karena itu wajar bila televisi lebih mementingkan selera pasar dan iklan. Sebuah penelitian mengungkapkan 30% tayangan televisi berisi sinetron, 39% iklan, sedangkan acara yang mengandung pendidikan hanya 0,07%.
Jamak dijumpai dalam acara televisi, baik sinetron maupun acara hiburan lainnya, adegan kebanci-bancian. Sekilas adegan ini dirasa menghibur sehingga bisa mengundang tawa. Namun ketika adegan tersebut kontinu muncul di depan mata, terlebih mata anak, tentulah adegan tersebut menjadi suatu pembiasaan dan pembenaran. Anak tidak lagi dihadapkan pada kebingungan akan status gender: pria atau wanita, tetapi bahwa itu menjadi gender tersendiri. Dan bukan tidak mungkin anak akan mengambil peran tersebut bagi dirinya, karena dirasa bahwa peran tersebut bisa menghibur dan membuat orang lain senang.
Bukan cuma masalah gender yang muncul dari televisi. Perilaku kasar dan kekerasan juga bisa lahir dari televisi, khususnya acara sinetron atau film. Kekasaran itu terlihat pada kata-kata kasar dan tidak pantas, sedangkan kekerasan dapat dilihat pada aksi anak yang gemar berkelahi, menindas dan memeras (bulying), dan sebagainya. Harian KOMPAS pernah melakukan penelitian terkait masalah ini. Diberitakan bahwa 60% tayangan televisi maupun media lain telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan.