Hukum Gereja membolehkan pria
yang sudah genap 16 tahun atau wanita yang sudah genap 14 tahun untuk menikah
(bdk. Kan. 1083). Namun perlu disadari bahwa penentuan usia ini semata-mata
dari sudut biologis-seksual saja. Kematangan psikologis jauh lebih penting dan
esensial daripada kematangan fisik-biologis. Karena ini, pada kanon 1072 para
pastor diminta untuk menjauhkan kaum muda dari pernikahan dini. Dengan kata
lain, Gereja menghendaki agar kaum remaja dan kaum muda katolik tidak terjebak
dalam pernikahan usia muda.
Ada banyak alasan kenapa
pernikahan dini harus dihindari. Pertama-tama mental dan kepribadian pasangan
muda belum siap untuk menjalani hidup rumah tangga. Umumnya pasangan muda ini
terbuai dengan indahnya romantisme pacaran sehingga berpikir seperti itulah
kehidupan rumah tangga kelak.
Karena ketidak-siapan mental dan
kepribadian itu, maka pernikahan dini sangat rentan terhadap kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT). Cepat atau lambat indahnya romantisme masa pacaran akan
sirna dan berubah menjadi pahitnya prahara. Biasanya korbannya selalu kaum
wanita (istri) dan anak.
Pernikahan dini berdampak pada
kesehatan, khususnya kaum wanita. Sebuah studi mengungkapkan bahwa wanita yang
menikah pada usia 10 – 14 tahun memiliki kemungkinan meninggal 5 kali lebih
besar selama kehamilan atau melahirkan dibandingkan dengan yang menikah di usia
20 – 25 tahun. Sementara itu, yang menikah pada usia 15 – 19 tahun memiliki
kemungkinan 2 kali lebih besar. Penelitian lain, wanita yang menikah di usia
muda rentan terhadap kanker serviks.
Alasan lain adalah terputusanya
akses pendidikan. Pernikahan dini mengakibatkan anak tidak mampu mencapai
pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak juga pada kehidupan rumah
tangga dan pola asuh anak.
Karena itu, hindarilah niat
menikah di usia muda. Siapkanlah diri matang-matang sebelum memasuki hidup
rumah tangga.
diambil dari tulisan 6 tahun lalu