PASIEN KAMAR 14
Namanya
Togop. Aku baru mengenalnya pada hari ketiga praktekku di rumah sakit. Bukan
praktek medis tapi praktek mendampingi, menemani dan kalau bisa sambil
menghibur para pasien. Di kampus dikenal dengan istilah pastoral care. Maklum aku bukan calon dokter apalagi perawat. Namun biar
bagaimanapun aku selalu dianggap sebagai dokter. Semua pasien yang aku dekati
atau aku temani selalu menyapaku: dokter. Mungkin lantaran seragamku yang mirip
dengan mahasiswa kedokteran UMI yang lagi ko-as.
Togop
sore itu mendekatiku yang lagi asyik menikmati waktu istirahat dengan sebatang Surya di tangan. Seperti pasien lainnya, ia
pun menyapaku dengan sebutan Pak dokter. Sore itu ia ingin pamit ke pasar untuk
mencari makanan. Pihak rumah sakit sendiri sebenarnya sudah menyediakan makanan
untuk pasiennya, termasuk si Togop. Tapi kucing sudah menyantapnya dulu saat ia
sedang mandi. Maklum, perawat yang mengantar makanannya hanya meletakkan
makanannya begitu saja. Terbuka dan tanpa penutup. Sementara di rumah sakit itu
kucing-kucing sangat banyak jumlahnya dan bebas bergentayangan. Mungkin rumah sakit
bukan lagi sekedar rumah bagi orang sakit tetapi juga bagi kucing, baik yang
bersih maupun yang korengan.
Awal mulanya
aku kebingungan apakah harus mengizinkannya atau melarangnya. Melarangnya jelas
bukan wewenangku. Namun bila mengizinkannya, ada ketakutan dalam diriku
seandainya ia kabur. Barangkali biaya berobatnya sudah banyak dan ia tak mampu
membayarnya. Bukankah kabur merupakan cara termudah dan tercepat untuk melunasi
utang? Dan bila hal itu terjadi tentulah aku yang paling bertanggung jawab.
Entah
dorongan apa dan dari mana, tiba-tiba dengan ringan bibirku mengucapkan kata: ya! Sekejap aku sadar akan kekeliruanku.
Tapi si Togop sudah berlalu. Hatiku diliputi perasaan cemas. Akh, betapa bodohnya aku, batinku.
Bagaimana bila ia pergi dan tak kembali lagi. Bukankah pihak rumah sakit akan
rugi? Apakah kerugian itu ditimpakan kepadaku?
“O...,
nggak apa-apa, Bang,” jelas perawat setelah kujelaskan ketololanku. “Orang itu
pasti kembali lagi. Sudah biasa. Rumah sakit ini sudah dianggapnya rumahnya
sendiri.”
Penjelasan
itu membuat hatiku sedikit tenang. Dari perawat itu juga aku jadi tahu bahwa
pasien itu adalah penghuni kamar 14. Ruangan isolasi khusus penderita penyakit
TBC, kata perawat itu. Mendengar tiga huruf itu, aku jadi takut. Takut
ketularan. Bukankah penyakit itu termasuk berbahaya. Dari data yang pernah
kubaca, angka kematian akibat penyakit ini terbilang cukup tinggi.
Keesokan
harinya, aku mengamati ruangan 14 dari kejauhan. Kulihat si Togop duduk
sendirian di bangku yang ada di depan ruangan tersebut. Tubuhnya kurus kering.
Wajahnya terlihat memelas. Matanya terlihat cekung dengan bilur-bilur hitam di
sekitar kelopak matanya. Nafasnya tersengal-sengal. Tatapan matanya kosong.
Sesekali ia terbatuk-batuk. Lama-lama aku jadi jatuh kasihan padanya. Sudah
menderita, diasing-singkirkan pula. Ini tampak jelas dari lokasi ruangan itu
yang terletak di pojok. Selain itu, tak ada perawat yang menjaga, seperti
ruangan lain di mana ada minimal dua orang perawat. Kalau ruangan lain selalu
dibersihkan setiap pagi, tapi tidak dengan ruangan 14. Belum lagi tak adanya
satu orang pun yang menjenguknya meski ia tidak tergolong sebatang kara. Masih
ada keluarganya.
Aku
beranjak dari tempat dudukku dan berjalan mendekatinya. Terlintas diwajahnya
raut kebingungan dan heran saat aku menghampirinya. Mungkin karena selama ini
tak ada orang yang mendekatinya, kok kini tiba-tiba ada orang asing
menghampirinya. Namun kebingungan dan keheranan itu segera pupus setelah aku
coba bersikap ramah. Aku tersenyum dan ia pun membalas senyumanku. Aku duduk di
sampingnya. Agak sedikit jauhan.
Aku
memperkenalkan diri. Cuma nama. Karena itu pantas saja selama obrolan itu ia
terus menyebutku: Bapak dokter. Ia banyak berkisah tentang dirinya. Istri dan
kedua anaknya pergi meninggalkannya. Dan keluarganya pun menjauh darinya.
Tentulah karena penyakit itu. Ia pun dipecat dari pekerjaannya, juga karena
sakit yang dideritanya. Sungguh hidup ini tidak berguna. Ingin mati saja
rasanya, keluhnya. Tuhan tidak adil. Atau mungkin Tuhan tidak ada.
“Bukan itu saja. Pihak rumah sakit pun kurang
memberi perhatian serius pada saya. Bapak bisa lihat. Di ruangan lain pasti ada dua orang perawatnya. Di sini?
Perawat ke sini paling cuma saat jam makan saja.”
Aku
hanya mendengar. Tak mau aku terlibat dalam perdebatan ataupun diskusi. Karena
memang bukan itu tujuanku praktek di rumah sakit. Di sini aku menjadi tempat
pembuangan keluh kesah, pengaduan, tumpah ruah segala uneg-uneg para pasien.
Memang terkadang hanya dengan mendengarkan saja, tanpa kita sadari, kita sudah
menghibur atau malah bisa sedikit meringankan beban orang. Orang merasa sudah
diperhatikan.
“Bagaimana dengan biaya pengobatan?”
“Aku
pake kartu miskin. Selain itu ada juga JPS.” Ia terbatuk. Aku cemas, namun aku
berusaha menekan perasaan itu. Takut ia tersinggung. “Sebenarnya JPS menuntut
adanya kartu miskin. Jadi, surat miskin dan JPS itu sama saja. Tapi, kayaknya kartu
miskin membuat pelayanan yang aku terima juga miskin. Bapak bisa bayangkan,
penyakit separah ini masak cuma dikasih obat dua jenis saja.
Memang awalnya ada sirup. Tapi satelah habis, tak ada lagi. Suntikan pun tak
pernah aku terima. Bayangkanlah!”
Yang
ini sungguh tak mau komentar. Pokoknya no
comment. Bukan cuma lantaran bukan tugasku, melainkan juga memang aku tidak
tahu menahu. Aku tidak berkompeten dalam masalah obat-obatan. Aku juga tidak paham tentang JPS atau kartu miskin itu.
Beberapa
saat kami diam membisu. Berbagai persoalan bergejolak di dalam benakku dan tak
satupun bisa kujawab. Setidaknya untuk saat itu. Aku berusaha mengambil rokokku. Aku ingin merokok untuk
menghilangkan kebekuan dan kekakuan situasi. Sadar akan siapa yang duduk di
sampingku, kuurungkan niatku. Kembali kumasukkan rokokku ke saku baju.
Tiba-tiba
si Togop batuk. Batuknya cukup keras hingga keluar gumpalan darah segar dari mulutnya.
“Maaf!” Dia memohon.
“Nggak
apa-apa, Pak.”
“Saya
lebih baik mati saja.” Sebuah kalimat singkat keluar dari mulutnya. Kalimat itu
sebenarnya sudah pernah diucapkan sebelumnya. Apakah pengulangan ini mau
menunjukkan kebulatan tekad, batinku.
“Dari
pada hidup menyusahkan orang lain dan diri sendiri, bukankah lebih baik mati
saja.”
***
Ini
kali ketiga aku mengunjungi dan ngobrol dengan pasien kamar 14. Kali ini aku
datang tidak dengan tangan kosong. Aku membawa sekotak susu Dancow dan beberapa
butir telur ayam kampung. Aku masuk ke kamarnya, namun si Togop tidak ada.
Tempat tidurnya sudah rapi. Sudah pergikah dia? Atau jangan-jangan... sekejap
muncul perasaan aneh.
“Sus,
ke mana pasien kamar 14?”
“O,
Bapak yang namanya Basuki. Ini ada surat buat Bapak.“ Perawat itu menyodorkan
amplop kepadaku. Memang di situ tertera namaku.“ Ia meninggal semalam. Bunuh
diri.” Jelas perawat lebih lanjut.
Jadi,
dia benar-benar melaksanakan niatnya. Aku termenung. Dia telah menyelesaikan
penderitaannya meski dengan cara yang tragis. Kubuka amplop itu dan kubaca isi
suratnya.
“Bapak
dokter yang baik. (Sampai akhir hidupnya pun, dia
masih menyapaku ‘dokter’, batinku). Cuma dokter yang penuh perhatian padaku. Lainnya tidak. Aku amat kecewa hidup
di dunia ini. Sungguh hidup ini tak ada artinya lagi. Hidup membuat aku
sebatang kara. Makanya aku memutuskan untuk bunuh diri. Dengan demikian aku
tidak lagi menyusahkan orang lain dan diriku sendiri.
Puncak kekecewaanku adalah pagi tadi. Aku disuruh
pulang. Katanya rawat jalan saja. Mereka mengunci ruangan. Obat dan makanan
tidak lagi diberi. Tapi aku ngotot. Bukankah ada dana JPS yang membiaya
pengobatanku? Apa dana itu sudah habis? Tapi mereka tidak beri tahu alasannya.
Bapak dokter yang baik. Selamat jalan!”
Aku
termangu. Sekejap muncul dipikiranku, jangan-jangan dana JPS yang seharusnya
untuk kesembuhannya sudah “disunat” oleh birokrasi. Dan pihak rumah sakit tidak
menerimanya secara penuh sehingga mengalami kesulitan dalam penanganan pasien. Wah, kalau memang
demikian, sungguh malang benar nasibmu kawan, gumanku. Sudah jatuh, tertimpa
tangga pula.
Kulipat rapi surat itu dan kumasukkan ke dalam saku
celanaku. Aku berjalan menuju bangku. Kesedihan membuatku tak sanggup untuk
berdiri. Tanpa sadar setetes air bening menetes di pipiku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar