Jumat, 19 April 2013

(C E R P E N) Pasien Kamar 14

PASIEN KAMAR 14
Namanya Togop. Aku baru mengenalnya pada hari ketiga praktekku di rumah sakit. Bukan praktek medis tapi praktek mendampingi, menemani dan kalau bisa sambil menghibur para pasien. Di kampus dikenal dengan istilah pastoral care. Maklum aku bukan calon dokter apalagi perawat. Namun biar bagaimanapun aku selalu dianggap sebagai dokter. Semua pasien yang aku dekati atau aku temani selalu menyapaku: dokter. Mungkin lantaran seragamku yang mirip dengan mahasiswa kedokteran UMI yang lagi ko-as.
Togop sore itu mendekatiku yang lagi asyik menikmati waktu istirahat dengan sebatang Surya di tangan. Seperti pasien lainnya, ia pun menyapaku dengan sebutan Pak dokter. Sore itu ia ingin pamit ke pasar untuk mencari makanan. Pihak rumah sakit sendiri sebenarnya sudah menyediakan makanan untuk pasiennya, termasuk si Togop. Tapi kucing sudah menyantapnya dulu saat ia sedang mandi. Maklum, perawat yang mengantar makanannya hanya meletakkan makanannya begitu saja. Terbuka dan tanpa penutup. Sementara di rumah sakit itu kucing-kucing sangat banyak jumlahnya dan bebas bergentayangan. Mungkin rumah sakit bukan lagi sekedar rumah bagi orang sakit tetapi juga bagi kucing, baik yang bersih maupun yang korengan.
Awal mulanya aku kebingungan apakah harus mengizinkannya atau melarangnya. Melarangnya jelas bukan wewenangku. Namun bila mengizinkannya, ada ketakutan dalam diriku seandainya ia kabur. Barangkali biaya berobatnya sudah banyak dan ia tak mampu membayarnya. Bukankah kabur merupakan cara termudah dan tercepat untuk melunasi utang? Dan bila hal itu terjadi tentulah aku yang paling bertanggung jawab.
Entah dorongan apa dan dari mana, tiba-tiba dengan ringan bibirku mengucapkan kata: ya! Sekejap aku sadar akan kekeliruanku. Tapi si Togop sudah berlalu. Hatiku diliputi perasaan cemas. Akh, betapa bodohnya aku, batinku. Bagaimana bila ia pergi dan tak kembali lagi. Bukankah pihak rumah sakit akan rugi? Apakah kerugian itu ditimpakan kepadaku?
“O..., nggak apa-apa, Bang,” jelas perawat setelah kujelaskan ketololanku. “Orang itu pasti kembali lagi. Sudah biasa. Rumah sakit ini sudah dianggapnya rumahnya sendiri.”
Penjelasan itu membuat hatiku sedikit tenang. Dari perawat itu juga aku jadi tahu bahwa pasien itu adalah penghuni kamar 14. Ruangan isolasi khusus penderita penyakit TBC, kata perawat itu. Mendengar tiga huruf itu, aku jadi takut. Takut ketularan. Bukankah penyakit itu termasuk berbahaya. Dari data yang pernah kubaca, angka kematian akibat penyakit ini terbilang cukup tinggi.
Keesokan harinya, aku mengamati ruangan 14 dari kejauhan. Kulihat si Togop duduk sendirian di bangku yang ada di depan ruangan tersebut. Tubuhnya kurus kering. Wajahnya terlihat memelas. Matanya terlihat cekung dengan bilur-bilur hitam di sekitar kelopak matanya. Nafasnya tersengal-sengal. Tatapan matanya kosong. Sesekali ia terbatuk-batuk. Lama-lama aku jadi jatuh kasihan padanya. Sudah menderita, diasing-singkirkan pula. Ini tampak jelas dari lokasi ruangan itu yang terletak di pojok. Selain itu, tak ada perawat yang menjaga, seperti ruangan lain di mana ada minimal dua orang perawat. Kalau ruangan lain selalu dibersihkan setiap pagi, tapi tidak dengan ruangan 14. Belum lagi tak adanya satu orang pun yang menjenguknya meski ia tidak tergolong sebatang kara. Masih ada keluarganya.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan mendekatinya. Terlintas diwajahnya raut kebingungan dan heran saat aku menghampirinya. Mungkin karena selama ini tak ada orang yang mendekatinya, kok kini tiba-tiba ada orang asing menghampirinya. Namun kebingungan dan keheranan itu segera pupus setelah aku coba bersikap ramah. Aku tersenyum dan ia pun membalas senyumanku. Aku duduk di sampingnya. Agak sedikit jauhan.
Aku memperkenalkan diri. Cuma nama. Karena itu pantas saja selama obrolan itu ia terus menyebutku: Bapak dokter. Ia banyak berkisah tentang dirinya. Istri dan kedua anaknya pergi meninggalkannya. Dan keluarganya pun menjauh darinya. Tentulah karena penyakit itu. Ia pun dipecat dari pekerjaannya, juga karena sakit yang dideritanya. Sungguh hidup ini tidak berguna. Ingin mati saja rasanya, keluhnya. Tuhan tidak adil. Atau mungkin Tuhan tidak ada.
 “Bukan itu saja. Pihak rumah sakit pun kurang memberi perhatian serius pada saya. Bapak bisa lihat. Di ruangan lain pasti ada dua orang perawatnya. Di sini? Perawat ke sini paling cuma saat jam makan saja.”
Aku hanya mendengar. Tak mau aku terlibat dalam perdebatan ataupun diskusi. Karena memang bukan itu tujuanku praktek di rumah sakit. Di sini aku menjadi tempat pembuangan keluh kesah, pengaduan, tumpah ruah segala uneg-uneg para pasien. Memang terkadang hanya dengan mendengarkan saja, tanpa kita sadari, kita sudah menghibur atau malah bisa sedikit meringankan beban orang. Orang merasa sudah diperhatikan.
 “Bagaimana dengan biaya pengobatan?”
“Aku pake kartu miskin. Selain itu ada juga JPS.” Ia terbatuk. Aku cemas, namun aku berusaha menekan perasaan itu. Takut ia tersinggung. “Sebenarnya JPS menuntut adanya kartu miskin. Jadi, surat miskin dan JPS itu sama saja. Tapi, kayaknya kartu miskin membuat pelayanan yang aku terima juga miskin. Bapak bisa bayangkan, penyakit separah ini masak cuma dikasih obat dua jenis saja. Memang awalnya ada sirup. Tapi satelah habis, tak ada lagi. Suntikan pun tak pernah aku terima. Bayangkanlah!”
Yang ini sungguh tak mau komentar. Pokoknya no comment. Bukan cuma lantaran bukan tugasku, melainkan juga memang aku tidak tahu menahu. Aku tidak berkompeten dalam masalah obat-obatan. Aku juga tidak paham tentang JPS atau kartu miskin itu.
Beberapa saat kami diam membisu. Berbagai persoalan bergejolak di dalam benakku dan tak satupun bisa kujawab. Setidaknya untuk saat itu. Aku berusaha mengambil  rokokku. Aku ingin merokok untuk menghilangkan kebekuan dan kekakuan situasi. Sadar akan siapa yang duduk di sampingku, kuurungkan niatku. Kembali kumasukkan rokokku ke saku baju.
Tiba-tiba si Togop batuk. Batuknya cukup keras hingga keluar gumpalan darah segar dari mulutnya. “Maaf!” Dia memohon.
“Nggak apa-apa, Pak.”
“Saya lebih baik mati saja.” Sebuah kalimat singkat keluar dari mulutnya. Kalimat itu sebenarnya sudah pernah diucapkan sebelumnya. Apakah pengulangan ini mau menunjukkan kebulatan tekad, batinku.
“Dari pada hidup menyusahkan orang lain dan diri sendiri, bukankah lebih baik mati saja.”
***
Ini kali ketiga aku mengunjungi dan ngobrol dengan pasien kamar 14. Kali ini aku datang tidak dengan tangan kosong. Aku membawa sekotak susu Dancow dan beberapa butir telur ayam kampung. Aku masuk ke kamarnya, namun si Togop tidak ada. Tempat tidurnya sudah rapi. Sudah pergikah dia? Atau jangan-jangan... sekejap muncul perasaan aneh.
“Sus, ke mana pasien kamar 14?”
“O, Bapak yang namanya Basuki. Ini ada surat buat Bapak.“ Perawat itu menyodorkan amplop kepadaku. Memang di situ tertera namaku.“ Ia meninggal semalam. Bunuh diri.” Jelas perawat lebih lanjut.
Jadi, dia benar-benar melaksanakan niatnya. Aku termenung. Dia telah menyelesaikan penderitaannya meski dengan cara yang tragis. Kubuka amplop itu dan kubaca isi suratnya.
“Bapak dokter yang baik. (Sampai akhir hidupnya pun, dia masih menyapaku ‘dokter’, batinku). Cuma dokter yang penuh perhatian padaku.  Lainnya tidak. Aku amat kecewa hidup di dunia ini. Sungguh hidup ini tak ada artinya lagi. Hidup membuat aku sebatang kara. Makanya aku memutuskan untuk bunuh diri. Dengan demikian aku tidak lagi menyusahkan orang lain dan diriku sendiri.
Puncak kekecewaanku adalah pagi tadi. Aku disuruh pulang. Katanya rawat jalan saja. Mereka mengunci ruangan. Obat dan makanan tidak lagi diberi. Tapi aku ngotot. Bukankah ada dana JPS yang membiaya pengobatanku? Apa dana itu sudah habis? Tapi mereka tidak beri tahu alasannya.
Bapak dokter yang baik. Selamat jalan!”
Aku termangu. Sekejap muncul dipikiranku, jangan-jangan dana JPS yang seharusnya untuk kesembuhannya sudah “disunat” oleh birokrasi. Dan pihak rumah sakit tidak menerimanya secara penuh sehingga mengalami kesulitan dalam penanganan pasien. Wah, kalau memang demikian, sungguh malang benar nasibmu kawan, gumanku. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Kulipat rapi surat itu dan kumasukkan ke dalam saku celanaku. Aku berjalan menuju bangku. Kesedihan membuatku tak sanggup untuk berdiri. Tanpa sadar setetes air bening menetes di pipiku....
Sinaksak, 28 Peb 2001
Baca juga:
1.      Ulang Tahun Ramadhan
3.      Cita-cita Warni
6.      Kuda Lumping

Tidak ada komentar:

Posting Komentar