Selain
dikenal sebagai agama yang mengkafir-kafirkan, islam juga biasa diidentikkan
dengan agama yang mengharam-haramkan. Karena itu, dalam sebuah organisasi
islam, misalnya seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), ada satu komisi yang
bertugas mengurus masalah haram. Komisi ini biasa dijadikan rujukan bagi umat
islam untuk bersikap, apakah sesuatu itu boleh atau tidak; haram atau tidak.
Fatwa dan juga lebel halal dari komisi ini menjadi penentu bagi sebuah produk,
mulai dari makanan hingga lokasi wisata. Jika dirinci, ada begitu banyak jenis
fatwa atau label haram atau halal yang telah dikeluarkan oleh MUI. Misalnya,
pengharaman mengucapkan selamat natal, pengharaman atas rawon setan dan tahu
kuntilanak, pengharaman satu jenis permainan online, dan masih banyak lainnya.
Pelebelan “wisata halal” pada salah satu destinasi wisata mengindikasikan
adanya “wisata haram” bagi yang tak mendapatkan lebel tersebut.
Bagian ini akan membahas
satu jenis pengharaman, yang terkadang sedikit menimbulkan “kontroversi” di
tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Jenis itu adalah babi. Memang publik
sudah tahu kalau babi itu dilarang dalam islam, meski dalam praktek banyak juga
umat islam yang mengkonsumsi babi. Pengharaman atau pelarangan atas babi
sepertinya sudah final. Umat islam mendasarkan pada wahyu Allah dalam
Al-Qur’an. Umat islam memahami larangan itu berasal dari perintah Allah
sehingga harus diikuti. Pelanggaran atasnya berarti dosa, dan dosa berarti
neraka. Tapi, benarkah Allah sungguh melarangnya?
Dasar Al-Qur’an atas pelarangan babi dapat ditemukan dalam 4 surah, 2 surah dalam kelompok surah Makkiyyah dan 2 lainnya dalam kelompok surah Madaniyyah. Lebih lanjut dapat diperhatikan dalam tebel berikut ini. Pada kutipan ayat-ayat Al-Qur’an ini, pelarangan itu tidak hanya ditujukan kepada babi saja. Ada beberapa jenis makanan lain yang diharamkan Allah, namun di sini pembahasan lebih fokus pada babi.