Selasa, 11 Agustus 2015

(Pencerahan) Merefleksikan Pencobaan Yesus

KETIKA YESUS DICOBAI
Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Dan Iblis membawa-Nya ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku."
Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!"
Kisah diatas diambil dari kita pencobaan yang dialami Tuhan Yesus, setelah Dia dibaptis Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan. Kisah lengkapnya dapat dibaca di Matius 4: 1 – 11.
Kisah pencobaan ini sangat menarik untuk direnungkan, khususnya oleh para imam dalam menghayati kaul kemiskinan. Kisah di atas biasa hanya menyoroti Tuhan Yesus melawan 3 godaan utama dalam hidup. Umat diajak untuk mengikuti Tuhan Yesus dalam melawan 3 godaan yang bakal dihadapinya nanti. Dan karena si penggodanya adalah iblis, yang sudah punya konotasi buruk dan jahat, maka godaan yang melekat dengannya pun dinilai buruk dan jahat.
Kali ini, kisah pencobaan Tuhan Yesus ini akan dilihat dengan cara yang lain. Ini untuk menjawab kebutuhan para imam dalam menghayati kaul atau janji kemiskinannya. Dewasa kini sangat sulit menemui imam yang benar-benar miskin, tidak punya barang mewah. Kebanyakan imam bergelimpangan benda mewah, yang tak mungkin ia dapat hanya mengandalkan uang sakunya. Dan ketika ditanya dari mana ia mendapatkan semuanya itu, umumnya mereka menjawab bahwa semua itu diberi oleh umat.
Pada contoh kisah di atas, Tuhan Yesus mendapat tawaran kemewahan dunia. Akan tetapi Tuhan Yesus dengan tegas menolaknya. Pertanyaan refleksinya adalah: apakah penolakan Yesus ini disebabkan karena iblis yang menawarkan atau memang tawaran itu bertentangan dengan misi-Nya?
Mari kita berandai-andai. Seandainya yang menawarkan kemegahan dunia itu adalah malaikat, apakah Tuhan Yesus menerimanya? Iblis sudah dikenal sebagai musuh Allah. Dia jahat. Karena itu tawarannya pun pastilah jahat. Sementara malaikat adalah suruhan Allah. Mereka baik. Karena itu, dapat juga dipastikan tawarannya baik. Tapi, akankah Yesus menerima atau menolak?
Bisa dipastikan bahwa Tuhan Yesus akan menolak tawaran itu. Penolakan itu bukan dilihat dari si pemberinya, melainkan pada hakikat tawaran itu. Sekalipun yang menawarkan itu adalah malaikat, namun karena hakikat tawaran itu bertentangan dengan misi perutusan-Nya, maka Tuhan Yesus akan menolaknya.
Pada titik inilah para imam hendaknya berefleksi atas kemewahan hidupnya. Banyak imam dengan mudah menerima saja pemberian umat, dengan alasan untuk menghargai pemberian itu. Dapat dipastikan, jika yang memberi itu bukan umat, atau orang yang dikenaalnya jahat, imam akan menolaknya. Jadi, di sini imam belum tampil seperti Tuhan Yesus, yang menolak bukan karena si pemberinya, melainkan karena nilai pemberian itu.
Seorang imam, dengan kaul kemiskinannya, dipanggil untuk menghayati hidup miskin dan sederhana. Karena itu, hal-hal yang dapat menggangu dan bertentangan dengan penghayatan hidup miskin dan sederhana ini harus ditolak, sekalipun itu berasal dari umat.
Batam, 21 Juli 2015
by: adrian
Baca juga refleksi lainnya:

Renungan Hari Selasa Biasa XIX - Thn I

Renungan Hari Selasa Biasa XIX, Thn B/I
Bac I  Ul 31: 1 – 8; Injil             Mat 18: 1 – 5, 10, 12 – 14;

Sabda Tuhan hari ini memiliki tema tentang  kepemimpinan yang rendah hati. Dalam bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Ulangan, kerendahan hati seorang pemimpin terlihat pada sosok Nabi Musa. Sekalipun dia sudah berkarya cukup lama membawa Bangsa Israel keluar dari Mesir, namun ia tidak dapat menikmati indahnya tanah terjanji yang telah dijanjikan Allah kepada mereka. Musa tahu diri. Karena itu, dengan rendah hati Musa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Yosua (ay. 7 – 8). Musa tidak menunjukkan ambisi yang berlebihan untuk mempertahankan kekuasaan hingga waktunya.
Sikap tidak berambisi yang berlebihan ditunjukkan Yesus dalam Injil lewat sosok anak kecil. Injil menceritakan perdebatan di antara para murid mengenai siapa yang terbesar. Tuhan Yesus mengambil sosok anak kecil dalam pelajaran, sekaligus menjawab perdebatan para murid. Bagi Tuhan Yesus, anak kecil adalah simbol kerendahan hati dan sikap tidak berambisi banyak. Karena itu, siapa yang ingin menjadi besar, ia harus “menjadi seperti anak kecil.” (ay. 3). Di sini Tuhan Yesus hendak mengajari para murid, jika ingin menjadi pemimpin, mereka harus bersikap rendah hati.
Dewasa kini jamak kita jumpai orang yang begitu serakah dengan jabatan. Tak puas hanya satu, orang mencari jabatan lain lagi. Di mata banyak orang, tak terkecuali pada imam, jabatan adalah kekuasaan, karena darinya ia akan mendapat privilese, uang dan lainnya. Karena itu, orang akan berusaha untuk mempertahankan jabatan itu. Hari ini, secara umum, sabda Tuhan menghendaki kita untuk bersikap rendah hati satu sama lain. Salah satu wujud sikap rendah hati adalah mau mendahulukan orang lain atau kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Sikap rendah hati, khusus para pemimpin, dapat dilihat dari sikap tidak serakah akan jabatan.***
by: adrian