Minggu, 30 September 2012

Membaca Kemenangan Jokowi-Ahok

Dari hasil hitungan cepat dan didukung oleh keputusan KPUD hari Sabtu, pemenang pemilukada DKI Jakarta adalah pasangan Jokowi dan Ahok. Kemenangan ini mempunyai banyak arti, tergantung dari mana kita melihatnya. Dalam tulisan ini saya mau mengupas arti kemenangan tersebut bertitik tolak dari pernyataan DR Marzuki Alie dan Haji Rhoma Irama.

Marzuki Alie: Al-Quran sebagai Pedoman Memilih

Sebelum memasuki masa kampanye pemilukada DKI putaran kedua, pasangan Jokowi – Basuki mendapat serangan black campaign. Isu yang dilontarkan adalah soal agama; dan yang melontarkannya adalah Haji Rhoma Irama dan DR Marzuki Alie.

Memang apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama dan Marzuki Alie bukanlah suatu bentuk kampanye. Mereka tidak dengan terang-terangan mengajak masyarakat, khususnya umat muslim, untuk memilih pasangan Foke – Nara. Mereka hanya secara terselubung mencegah umat islam untuk memilih pasangan Jokowi dan Ahok. Tidak memilih Jokowi – Ahok sama artinya memilih Foke – Nara. Untuk menguatkan tujuannya ini Rhoma Irama malah sampai tega menebarkan fitnah kepada Jokowi.

Untuk meneguhkan pernyataan terselubung agar memilih pasangan Foke – Nara dan menolak (tidak memilih) pasangan Jokowi – Basuki, kedua tokoh panutan ini menggunakan al-quran sebagai dasar pembenarannya. Bagi mereka berdua al-quran merupakan pedoman dalam memilih pemimpin. Al-quran mengajarkan agar umat islam memilih pimpinan yang seiman/seagama (baca: beragama islam). Artinya, umat islam disarankan untuk memilih pemimpin yang beragama islam. Semua orang islam terikat kewajiban untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh al-quran. Al-quran adalah pedoman hidup umat muslim, selain hadits nabi. Jadi, seperti yang dikatakan oleh Marzuki Alie, seseorang yang mengaku dirinya islam akan patuh pada ajaran al-quran. Berkaitan dengan pemilukada DKI Jakarta ini artinya orang islam akan memilih pasangan nomor urut satu, yaitu Foke – Nara.

Mengapa? Dari dua kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, pasangan nomor urut satu yang murni beragama islam. Baik calon gubernur maupun calon wakil gubernur sama-sama beragama islam. Sementara pasangan lain, Jokowi dan Ahok, dilihat tidak murni alias pincang. Jokowi memang beragama islam, tapi Ahok bukan islam, melainkan kristen. Malah Haji Rhoma Irama mengatakan bahwa orang tua Jokowi beragama kristen. Tentulah pernyataan ini untuk mempengaruhi pikiran orang. Karena itu, orang islam, yang benar-benar islam, karena taat setia berpegang pada al-quran, tidak akan memilih pasangan nomor urut tiga, yaitu pasangan Jokowi dan Basuki. Al-quran tidak menganjurkan. Al-quran mengajarkan untuk memilih pasangan yang beragama islam. Maka, orang yang benar-benar islam akan melaksanakan ajaran al-quran dengan memilih pasangan Foke – Nara.

Tapi apa yang terjadi? Pasangan Foke – Nara, sekalipun asli Betawi, kalah. Dan yang menang adalah pasangan Jokowi – Ahok. Ada apa ini?

Makna Kemenangan Jokowi – Basuki

Sampai dengan pukul 17.00 WIB, semua hasil perhitungan cepat pada tanggal 20 September menunjukkan kemenangan pasangan Jokowi dan Basuki. Hasil ini diperkuat lagi dengan keputusan KPUD yang baru menyelesaikan perhitungannya 28 September, di mana pasangan Jokowi – Ahok mendapat 53,82 % suara sedangkan pasangan Foke – Nara memperoleh 46,17% suara. Publik akhirnya tahu Jokowi dan Ahok adalah pemenang pemilukada DKI Jakarta. Merekalah yang pantas dan layak menduduki kursi DKI-1.

Dikaitkan dengan uraian di atas, apa arti kemenangan Jokowi dan Basuki ini? Saya melihat ada 3 arti kemenangan pasangan ini.

1.     Ada kemungkinan umat beragama islam tidak sebanyak yang diperkirakan. Padahal Lembaga Survei Indonesia mengungkapkan bahwa pemilih muslim DKI sebanyak 85 persen. Jika semua suara itu (85 persen) masuk ke pasangan Foke – Nara, tentulah pasangan ini otomatis menang. Tentu ini mengandaikan umat islam taat setia pada al-qurannya. Apalagi pasangan Foke – Nara pernah mendapat dukungan dari kelompok etnis Tionghoa.

2.     Ada 85 persen suara pemilih islam dan Jokowi – Ahok yang menang. Ini memperlihatkan ada atau bahkan banyak orang islam yang memilih pasangan Jokowi – Basuki. Mungkin hal ini dapat diartikan bahwa orang islam ini tidak benar-benar islam, karena tidak taat pada perintah al-quran; mereka tidak mengindahkan ajaran al-quran. Muncul pertanyaan: apakah al-quran tidak lagi memiliki “nilai” jualnya ataukah ia tidak bisa dijadikan pedoman untuk dunia sekuler?

3.     Selain dua arti di atas, arti terpenting dari kemenangan pasangan Jokowi dan Ahok adalah pemilih Jakarta sudah cerdas. Sekalipun Haji Rhoma Irama dan DR Marzuki Alie membawa masalah ini ke ranah agama, masyarakat benar-benar tidak terpancing. Mereka sama sekali tidak terpengaruh. Rakyat sudah sungguh cerdas. Mereka tahu mana yang baik dan layak. Masyarakat tidak mau dibodoh-bodohi oleh orang-orang pintar, terhormat dan terpandang. Hati nurani masyarakat sungguh berperan. Karena itulah, kemenangan ini merupakan juga kemenangan rakyat dan kemenangan hati nurani

Saya tidak tahu bagaimana nasib Haji Rhoma Irama dan DR Marzuki Alie. Sampai saat ini belum ada tanggapan dari mereka atas kemenangan pasangan Jokowi dan Basuki ini. Balum ada reaksi dari mereka. Apakah mereka masih di Jakarta atau sudah pindah ke provinsi lain, mencari pemimpin (gubernur dan wakil gubernur) yang seagama dengannya.
Tg Balai Karimun, 28 September
by: adrian

Renungan Hari Minggu Biasa XXVI-B

Renungan Hari Minggu Pekan Biasa XXVI B/II
Bac I : Bil 11: 25 – 29; Bac II         : Yak 5: 1 – 6
Injil  : Mrk 9: 38 – 43, 45, 47 – 48

Sering tanpa kita sadari, kita melihat dan menilai orang itu menurut "kacamata" kita. Rekan, sahabat, teman atau siapa saja kita ukur sesuai selera kita. Mereka yang tidak kita sukai, kita singkirkan. Orang yang tidak menyenangkan, dihindari. Hanya mereka yang saya sukai, karena mereka bisa menyenangkan saya, yang saya terima dalam lingkungan pergaulan saya.

Sabda Tuhan hari ini menghendaki agar kita menjauhi sikap seperti itu. Dalam bacaan pertama dan juga Injil kehendak Tuhan itu terlihat. Yosua ditegur oleh Musa, dalam Kitab Bilangan; sedangkan para murid ditegur Yesus, dalam Injil. Baik Yosua maupun para murid sama-sama memiliki sikap angkuh. Karena sudah lama hidup bersama (Yosua dengan Musa; dan para murid dengan Yesus) mereka merasa punya kuasa menentukan.

Kesamaan cerita ini bukanlah suatu kebetulan. Musa yang menegur Yosua dalam Perjanjian Lama dan Yesus yang menegur para murid dalam Perjanjian Baru. Hal ini memiliki makna bagi Yesus. Dia-lah Musa Baru bagi Israel. Baik Musa maupun Yesus sama-sama mengajak muridnya untuk menanggalkan "kacamata" yang digunakan untuk menilai orang lain.

Melalui sabda-Nya, hari ini Tuhan menghendaki kita untuk mau dan siap menerima siapa saja yang telah berbuat kebaikan dan mewartakan kebenaran. Kita harus mempunyai konsep bahwa mereka-mereka yang berjuang demi kemanusiaan, kebaikan, keadilan dan kebenaran, apapun agama, suku, ras dan golongannya, ada dalam satu kelompok dengan kita. Karena sebagai murid Yesus, kita juga terpanggil untuk mewujudkan kebaikan, kebenaran, keadilan dan kedamaian serta memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

by: adrian

Orang Kudus 30 September: St. Hieronimus

SANTO HIERONIMUS, IMAM & PUJANGGA GEREJA
Eusebius Hieronimus Sophronius lahir di Stridon, Dalmatia pada tahun 342. Ayahnya, Eusebius, adalah seorang beriman kristen yang saleh hidupnya dan dikenal luas sebagai tuan tanah yang kaya raya. Ia mendidik Hieronimus sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan hidup kristiani dan kebiasaan kerja keras. Ketika Hieronimus berusia 12 tahun, ia mengirimnya ke Roma untuk belajar ilmu hukum dan filsafat. Studinya berjalan lancar, hanya cara hidupnya tidak tertib karena terpengaruh kehidupan moral orang Roma yang tidak terpuji pada masa itu. Untungnya bahwa ia lekas sadar dan bertobat dari cara hidupnya yang tidak tertib itu. Pada saat itulah ia meminta dipermandikan oleh Paus Liberius. Rahmat permandian yang diterimanya terus dihayati dengan banyak berdoa dan berziarah ke makam para martir dan para rasul bersama kawan-kawannya. Kehidupan rohaninya terus meningkat, demikian pula cintanya kepada Tuhan dan sesama.

Pada tahun 370 ia berangkat ke kota Aquileia dan tinggal di sana beberapa lama untuk mendapat bimbingan dari Valerianus, seorang uskup saleh. Dari sana ia pindah ke kota Antiokia. Empat tahun lamanya ia hidup di dalam kesunyian padang gurun untuk belajar dan meningkatkan hidup rohaninya dengan doa dan puasa. Di bawah bimbingan seorang rabbi, ia belajar bahasa Yunani dan Ibrani.

Berkat kemajuan hidup rohaninya yang besar, ia dianggap layak untuk ditahbiskan menjadi imam. Peristiwa itu terjadi di Antiokia pada tahun 379. Setelah menjadi imam, Hieronimus pergi ke Konstantinopel karena tertarik pada cara hidup Santo Gregorius dari Nazianza. Ia memperoleh banyak pengalaman dari Gregorius bagi peningkatan hidupnya. Hieronimus kemudian berangkat ke Roma dan di sana ia menjadi sekretaris pribadi Sri Paus Damasus (366 – 384).

Karena pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang Kitab Suci dan kecakapannya dalam bahasa Latin, Yunani dan Ibrani, Hieronimus ditugaskan oleh Paus Damasus untuk membuat terjemahan baru atas seluruh isi Alkitab dari bahasa Yunani dan Ibrani ke dalam bahasa Latin. Untuk menunaikan tugas suci ini, ia pindah ke Betlehem, tempat kelahiran Yesus. Ia tinggal di sana selama 30 tahun untuk bekerja, belajar dan bersemadi. Perjanjian Lama diterjemahkannya dari bahasa Ibrani dan Aramik ke dalam bahasa Latin, sedangkan Perjanjian Baru diterjemahkannya dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin. Hasil terjemahannya sangat baik dan disukai banyak orang. Oleh karena itu terjemahannya disebut Vulgata, yang berarti populer, dan sampai kini masih dianggap sebagai terjemahan yang resmi dan sah oleh Gereja.

Selain terkenal luas karena hasil terjemahannya, Hieronimus juga dikenal luas sebagai seorang pembela iman dari berbagai aliran bidaah dan pembimbing rohani. Dari segala penjuru datanglah banyak orang untuk mendapatkan bimbingannya dalam berbagai masalah ketuhanan dan Kitab Suci. Di Betlehem Hieronimus mendirikan dua buah biara dan memimpinnya selama berada di Betlehem. Satu dari dua biara itu diperuntukkan bagi pada biarawati di bawah pimpinan Santa Paula dan kelak oleh Santa Eustachia. Dua biara itu kemudian dibakar oleh para pengikut bidaah Pelagianisme. Kendatipun tertimpa kesedihan besar, Hieronimus terus giat menulis dan mengajar hingga wafatnya pada tahun 420. Ia dinyatakan oleh Gereja sebagai orang kudus sekaligus sebagai seorang pujangga Gereja yang besar.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun