Kerap dijumpai
pemikiran bahwa cacat anak dikaitkan kepada dosa orangtuanya. Yesus sendiri
pernah menghadapi pemikiran seperti ini (Yoh 9). Ketika bertemu dengan orang buta
sejak kecil, orang-orang bertanya hendak menguji Dia apakah penyakit orang itu
lantaran dosa orangtuanya atau dosa orang itu sendiri. Jawaban Yesus sama
sekali tidak mengaitkan baik orangtua maupun yang bersangkutan, melainkan agar “pekerjaan-pekerjaan
Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (ay. 3) Di sini Yesus mau mengajak
orang-orang untuk tidak menghakimi orang yang sudah menderita, melainkan ikut
berbela rasa dengan mereka. Daripada menghakimi, lebih baik berbelas kasih demi
kemuliaan Allah. Itulah pekerjaan Allah.
Lantas kenapa ada anak
yang lahir cacat? Anak lahir tanpa dosa, tak mungkinlah dia cacat jika bukan
karena dosa orangtuanya.
Menarik kalau kita
merenungkan firman Allah kepada Musa dalam Kitab Imamat: “Jikalau seseorang
berbuat dosa dengan melakukan salah satu hal yang dilarang Tuhan tanpa mengetahuinya, maka ia
bersalah dan harus menanggung kesalahannya sendiri.” (5: 17). Firman Allah ini
kembali ditegaskan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose: “Barangsiapa
berbuat kesalahan, ia akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak
memandang orang.” (Kol 3: 25). Dari dua teks kitab suci ini tampak jelas bahwa
masing-masing orang menanggung dosanya sendiri. Hanya Yesus yang menanggung
dosa umat manusia dan memakunya di salib sebagai bentuk penebusan dosa (1Ptr 2:
24; Rom 5: 8).
Jadi, harus ditegaskan cacat anak bukan lantaran dosa orangtuanya.
Lalu, apakah karena
dosa anak itu sendiri? Bukankah dia lahir tanpa dosa? Pandangan anak lahir
tanpa dosa muncul karena pengaruh
pemikiran
John Locke dengan teori “tabula rasa”. Dalam teori ini setiap manusia lahir
seperti kertas putih. Perkembangan hidupnya membuat lembar-lembar kertas putih
itu mulai ada coret-coretan. Apakah Gereja mengakui teori ini terkait dosa?
Mari kita baca surat
Paulus kepada jemaat di Roma. Di sana dikatakan, “Sebab itu, sama seperti dosa
telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut,
demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang
telah berbuat dosa.” (5: 12). Yang dimaksud “satu orang” itu adalah Adam. Jadi,
karena dosa Adam, dosa itu masuk ke dunia. Upah dosa adalah maut (Rom 6: 23);
dan maut itu menjalar sehingga semua
orang telah berbuat dosa. Ini berarti setiap manusia yang lahir ke dunia
membawa dosa tersebut. St. Agustinus mengistilahkannya dengan “dosa asal” atau “dosa
keturunan”. Akan tetapi, kita tak perlu gelisah, karena Paulus melanjutkan refleksinya
bahwa karena satu orang juga manusia mendapatkan kasih karunia Allah (Rom 5:
15-19; bdk. 1Kor 15: 21-22). Satu orang itu adalah Yesus, sehingga Dia dikenal
juga sebagai Adam Baru. Yesus telah menebus dosa manusia. Untuk masa kini
rahmat penebusan itu hadir dalam Sakramen Baptis. Karena itulah, Gereja Katolik
mempunyai tradisi membaptis bayi.
Lantas bagaimana bisa memahami fenomena anak lahir cacat dalam pandangan Gereja?