Senin, 23 Desember 2019

MENGHAYATI NATAL DALAM TERANG PEMANASAN GLOBAL


Natal, bagi umat kristiani, merupakan peristiwa iman. Dengan peristiwa natal umat kristen merayakan syukur atas Allah yang Maha Kasih, yang mau peduli pada nasib manusia. Kepedulian Allah itu terlihat dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia (inkarnasi). Allah mau mengangkat (baca: menyelamatkan) umat manusia dari lumpur keberdosaanya. Oleh karena itu, Allah “turun” ke dunia “dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2: 7). Bagaimana hal ini bisa dipahami, tentulah sulit untuk dicerna akal manusia. Namun tidak secara imani. Karena itulah natal dikenal sebagai peristiwa iman.
Ireneus dari Lyon, seorang bapa Gereja yang hidup abad kedua pernah berkata bahwa Allah menjadi manusia agar manusia menjadi seperti Allah (bdk. Adversus haereses, III, 10, 2). Kiranya ucapan Ireneus ini tidaklah berlebihan. Ada banyak sumber Kitab Suci yang bisa dijadikan rujukannya. Ireneus tidak memaksudkan pernyataannya sebagai bentuk pelecehan keilahian Allah. Justru dalam peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia, terlihat keistimewaan Tuhan Allah: ke-Allah-an Tuhan tidak hanya tampak dalam keilahian-Nya melainkan juga terlihat dalam kemanusiaan-Nya.
Kapan persisnya Allah menjelma menjadi manusia (baca: kelahiran Yesus), tak ada satu orang pun yang tahu. Komite Para Uskup yang ditunjuk oleh Paus Julius I (337-352) sepakat bahwa natal itu jatuh pada 25 Desember, mengambil tradisi kafir akan penghormatan dewa Matahari yang tak terkalahkan (sol invictus). Maka dari itu, setiap kali memasuki bulan Desember, selalu suasana natal langsung terasa. Hal itu terlihat dari ikon-ikon natal yang ada di mana-mana, khususnya di pusat-pusat perbelanjaan.
Natal kini sudah menjadi ajang konsumtivisme dunia. Dengan adanya ikon-ikon natal di setiap pusat-pusat perbelanjaan, seakan-akan ada seruan, “Mari, belanjalah! Persiapkanlah rumah Anda dengan pernak-pernik natal!” Jelas, bahwa seruan ini seakan telah menggantikan seruan Yohanes Pembaptis, “Persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.” (Mat 3: 3).

INI BEDA SINTERKLAS DAN SANTA KLAUS


SELAIN pohon, kandang dan lonceng natal, perayaan natal juga biasanya diidentikkan dengan kehadiran sosok orang tua gendut berjanggut putih lebat dan berpakaian merah dengan mengendarai kereta rusa sambil berteriak, “Ho.. ho.., ho....!” Yah, bagi orang kristiani, bahkan yang non kristen, tentu sudah tak asing lagi dengan sosok ini. Dialah Santa Claus atau juga yang biasa dipanggil Sinterklass.
Di beberapa daerah, sosok tokoh ini sering hadir di mall-mall sebagai daya tarik. Banyak anak-anak akan senang berfoto-ria dengan tokoh gendut ini, selain kerinduan menerima hadiah. Memang umat islam tentu akan berusaha menghindari anak-anaknya untuk tidak bersentuhan dengannya, karena adanya ajaran haram dari agamanya.
Pada umumnya orang menyamakan saja kedua nama ini, Santa Klaus dan Sinterklas. Kebanyakan orang sering melihat itu sebagai “satu sosok dengan dua nama berbeda”. Padahal sebenarnya keduanya tidak sama. Antara Santa Claus dan Sinterklass terdapat sedikit perbedaan.