Jumat, 30 Agustus 2013

Terjebak di Padang Pasir

Dua orang Kristen tersesat di padang pasir. Salah satunya adalah David, yang lain adalah Michael. Mereka sekarat karena kelaparan dan kehausan ketika mereka tiba-tiba menemukan sebuah oasis, dengan apa yang tampak seperti sebuah sebuah masjid di tengah.

David berkata kepada Michael: "Lihat, mari kita berpura-pura bahwa kita adalah Muslim, kalau tidak kita tidak akan mendapatkan makanan atau minuman. Saya akan menyebut diriku Ahmad."

Michael menolak untuk mengubah namanya, ia berkata: "Nama saya Michael. Aku tidak akan berpura-pura menjadi orang lain. Aku... Michael."

Imam masjid menerima keduanya baik dan bertanya tentang nama mereka.

Daud berkata: "Nama saya adalah Ahmad."
Michael berkata: "Nama saya Michael."

Imam berpaling kepada pembantu masjid dan berkata:
"Tolong bawa beberapa makanan dan air untuk Michael saja."

Kemudian ia berpaling ke yang lain dan berkata:
"Saudara Ahmad. Saya harap Anda menyadari bahwa kita masih dalam bulan suci Ramadhan."

Orang Kudus 30 Agustus: Beato Ghabra Mikael

Beato ghabra mikael, martir
Ghabra Mikael – yang berarti “Hamba dari Mikael” – adalah martir bangsa Afrika. Ia lahir di Etiopia pada tahun 1790. Semenjak kecil ia hidup dan dididik di dalam lingkungan dan iman bidaah Arianisme yang menyangkal kemanusiaan Yesus Kristus. Ghabra dikenal cerdas dan saleh. Setelah menyelesaikan studinya di sekolah menengah, ia masuk biara Mertulai – Miryam di Etiopia. Oleh rekan-rekannya ia dikenal sebagai seorang biarawan yang saleh dan pintar, namun ia dicurigai sebagai seorang yang tidak menerima ajaran bidaah Arianisme. Meskipun demikian, Ghabra tetap kokoh pada pendiriannya. Ia tetap tekun mempelajari teologi dan berdoa memohon penerangan ilahi agar dapat menemukan kebenaran sejati mengenai Yesus Kristus. Ia pun rajin mengunjungi berbagai biara yang tersebar di kawasan itu untuk mempelajari cara hidup mereka. Seluruh hidupnya hingga ia berusia 50 tahun boleh dikatakan merupakan suatu usaha pencarian terus menerus kebenaran sejati Yesus Kristus. Apa yang diajarkan Arianisme ditolaknya mentah-mentah. Sebaliknya ia mulai lebih tertarik pada ajaran yang disebarkan oleh iman katolik, bahwa Yesus Kristus itu sungguh Allah dan sungguh manusia.

Oleh pengaruh Yustinus de Yakobis, seorang uskup dari tarekat Kongregasi Misi, Ghabra dengan tegas memutuskan untuk memeluk iman katolik. Ia bertobat pada tahun 1844. Tujuh tahun kemudian (1851), Yustinus menahbiskan dia menjadi imam. Bersama Uskup Yustinus, Ghabra giat mengajar agama dan membangun sebuah kolese untuk mendidik anak-anak Etiopia. Ia juga menulis sebuah buku katekismus dalam bahasa Etiopia. Atas restu Uskup Yustinus, ia pun mendirikan sebuah seminari untuk mendidik calon-calon imam pribumi Etiopia.

Semua kegiatan ini menimbulkan amarah besar dari para penganut Arianisme, terutama Abuna Salama, Uskup Gereja Arian. Atas hasutannya, Theodorus II, Raja Abessinia, melancarkan penganiayaan besar atas semua orang lain yang tidak menganut ajaran Arianisme. Ghabra bersama beberapa orang katolik pengikutnya ditangkap dan disesah. Ghabra dipenjarakan di dalam sebuah kandang ternak yang sangat kotor. Setiap kali disesah, ia dengan tenang dan tegas menjawab, “Karena imanku aku akan tetap melawan kamu, namun demi cinta kasih kristiani aku akan terus berbuat baik kepada kamu.” Akhirnya karena penderitaan yang ditanggungnya dan karena serangan penyakit kolera, Ghabra meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 1855.


Ghabra, seorang martir Kristus yang kokoh imannya. Seluruh hidup dan perjuangannya dapat dikatakan secara ringkas sebagai suatu pemuliaan terhadap sabda Allah yang menjadi manusia. Ia meninggal dunia sebagai seorang imam yang saleh dari tarekat Kongregasi Misi atau tarekat Imam-imam Lazaris.


sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Jumat Biasa XXI-C

Renungan Hari Jumat Biasa XXI, Thn C/I
Bac I   : 1Tes 4: 1 – 8; Injil            : Mat 25: 1 – 13

Dalam Injil hari ini Yesus menceritakan perumpamaan lima gadis bodoh dan lima gadis bijaksana. Bodoh ini bukan dalam pengertian kemampuan intelektual, melainkan dalam sikap berkaitan dengan kehidupan. Jadi, yang mau ditekankan di sini adalah bagaimana menyikapi hidup. Orang yang bodoh berpikiran pendek, tidak punya rencana dan maunya enak terus. Berbeda dengan orang bijaksana yang berpikiran panjang dengan perhitungan, punya rencana dan strategi serta mau bersusah dahulu untuk senang kemudian. Sangat jelas kalau Yesus menghendaki para murid-Nya untuk bijaksana.

Sikap bijaksana dalam hidup juga diminta Paulus kepada jemaat di Tesalonika. Paulus menasehati mereka untuk menyikapi hidup ini dengan bijaksana, bukan hanya dengan mengikuti “keinginan hawa nafsu.” (ay. 5). Dengan sikap bijaksana dalam hidup ini, umat diharapkan dapat hidup kudus dengan menjaga kekudusan dirinya.

Hari ini, melalui sabda-Nya, Tuhan menghendaki supaya kita menyikapi hidup kita dengan bijaksana. Salah satu cara sederhana adalah hidup yang tidak hanya mementingkan kenikmatan diri sendiri. Dengan sikap bijaksana ini kita dapat dengan berani mengalami kesusahan di masa kini demi kebahagiaan di masa yang akan datang.

by: adrian