Sabtu, 06 April 2013

Memusnahkan Benda Rohani

CARA LAYAK MEMUSNAHKAN BENDA ROHANI
Beberapa minggu lalu, seorang OMK bertanya kepada saya soal Kitab Suci yang banyak di tempat kerjanya. Dia takut Kitab Suci itu rusak sia-sia karena tidak dipakai. Padahal itu adalah Kitab Suci. Karena kebingungan mau diapakan benda itu, saya mengusulkan dimusnahkan saja. Caranya dengan dibakar. Tampak reaksi kaget di wajahnya. Seakan dia tidak percaya dengan jawaban saya. Dia berpikir cara itu tidak sopan atau bahkan menghina.

Setiap orang katolik pasti memiliki benda-benda rohani, seperti rosario, salib, Kitab Suci, patung, dll. Dan seperti biasanya benda-benda rohani itu diberkati sebelum digunakan. Harus diakui bahwa benda-benda rohani itu tidaklah abadi. Suatu saat pasti akan rusak, entah karena termakan usia ataupun karena kelalaian manusia (misalnya, patung tersenggol dan patah/retak; atau rosario yang putus). Sebagai benda yang rusak, tentulah tidak akan dipakai lagi. Memperlakukannya sebagai sampah pun tak tega; tapi tak baik juga membiarkannya menumpuk di rumah.

Bagaimana cara memusnahkannya tanpa merasa bersalah?

Berikut ini saya kutip jawaban dari katolisitas.org lengkap dengan pendasarannya.
“Prinsip dasarnya adalah, jika benda-benda rohani yang sudah diberkati ini rusak, maka cara yang layak untuk membuangnya adalah dengan dibakar atau dikuburkan. Sebab menurut Kitab Hukum Kanonik, benda-benda religius yang telah diberkati ini adalah untuk didedikasikan bagi penghormatan kepada Tuhan, sehingga harus diperlakukan dengan hormat dan tidak digunakan untuk kepentingan profan lainnya yang tidak layak (lih. KHK, Kan. 1171).

Di sekitar tahun 1800-an, Kongregasi Suci untuk Ritus dan Tahta suci (sekarang dikenal dengan nama Kongregasi Suci untuk Sakramen dan Penyembahan ilahi) dan Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, mengeluarkan ketentuan yang beragam untuk urusan ini. Contohnya: Piala/ sibori (yang dipakai untuk tempat tubuh dan darah Kristus) yang sudah tidak digunakan lagi, tidak untuk dijual, tetapi untuk digunakan untuk fungsi sakral lainnya atau untuk dilelehkan. Pakaian imam/ pakaian pelayan liturgi, taplak altar atau kain linen yang digunakan dalam kurban Ekaristi dihancurkan (dengan dibakar, dan abunya dibuang di tanah). Air suci yang terkena kotoran/ polusi ataupun kelebihan air suci dibuang di tanah. Daun palma dibakar, dan abunya dibagikan sebagai tanda pertobatan di hari Rabu Abu, atau sisanya dikembalikan ke tanah. Rosario yang putus/ rusak, atau patung religius yang sudah rusak, umumnya dikuburkan. Di atas semua itu, idea dasarnya adalah, apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Allah, harus dikembalikan kepada Allah. Tidak sepantasnya kita membuang begitu saja, apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Tuhan.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org”

Semoga dengan jawaban ini kita semua mendapat wawasan baru.

by: adrian

Bijak Berorganisasi

BIJAK

Sebuah institusi keuangan bergengsi menekankan pentingnya mengukur kematangan individu untuk menentukan peserta yang berhak menerima program beasiswa. Hasil evaluasi program menunjukkan banyak peserta gagal menyelesaikan program studi di luar negeri, tidak hanya karena kurangnya kemampuan adaptasi, tetapi juga ketidakmampuan mengolah dan menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi. Dalam proses seleksi fit and proper untuk memilih jajaran pimpinan organisasi, para penguji pun setuju betapa kandidat perlu menunjukkan kematangan emosi dan kebijakan penalaran moral agar ia mampu menghadapi situasi sulit dalam pengambilan keputusan dengan tetap berintegrasi.

Kematangan dan sikap bijaksana kita sadari menjadi sangat krusial di tengah semakin banyaknya persoalan yang silih berganti dan tuntutan peran yang semakin kompleks. Pertanyaannya, bagaimana kita mengevaluasi kematangan atau bijaksana-tidaknya seseorang? Dari mana individu bisa memperoleh “wisdom” yang sarat, sementara yang lain bisa melewatkan hidup begitu saja dan terasa pemikirannya dangkal tanpa bobot? Apa yang membedakan orang yang mampu bersikap tenang dalam mengambil keputusan berat serta bisa membahas masalah kehidupan dengan lancar dan mendalam, sementara yang lain bisa segera terpuruk saat menghadapi “ujian”? Atau, bahkan melakukan kecurangan dan menghalalkan segala cara?

Kita kadang bertanya-tanya, mengapa ada orang dengan usia yang sama, tetapi kematangan diri yang ditunjukkan bisa sangat berbeda. Kita kadang menganalisis bahwa orang yang hidupnya “tidak pernah susah” membuat ia tidak punya modal untuk bijaksana. Ada orang yang galau berkepanjangan karena kritik yang diterima atau kegagalan yang dihadapi, sementara orang lain tidak bisa membayangkan mengapa kita sangat mengkhawatirkan situasi tersebut. Rasa galau dan kecewa menghadapi berbagai kejadian sangat tergantung pada bagaimana kita memandang situasinya. Dari sini, kita bisa lihat bahwa kematangan diri dapat diteropong melalui respons individu dalam menghadapi kesulitan. Orang sering menyebutnya street smartness,  suatu aspek kecerdasan yang didapat sebagai hasil pemikiran mengenai kehidupan praktis yang dialami individu sendiri.

Dalam situasi sehari-hari, kita bisa mengukur kematangan. Apakah kita menggunakan fasilitas kantor berlebihan tanpa rasa bersalah? Apakah kita melakukan atau menyaksikan penyimpangan tanpa berusaha menohok diri sendiri dan memperingatkan diri keras-keras untuk tidak melakukannya? Apakah kegagalan komunikasi dengan atasan kita sikapi dengan menyalahkan atasan tanpa upaya untuk mengkritik diri sendiri, mempertanyakan, mengevaluasi dan mengarahkan diri? Kematangan ini bisa disuburkan dengan proses pengolahan batin yang terjadi pada diri kita. Bila kita khawatir dengan kemerosotan moral yang banyak dibicarakan belakangan ini, setidaknya kita masing-masing perlu mengecek sendiri proses pengolahan batin kita.

Introspeksi dan Pengolahan Pribadi
Penelitian terhadap sopir taksi di London, yang dipisahkan antara sopir taksi dengan pengalaman yang sama, tetapi “bijaksana” dan yang terkesan “tidak matang” menunjukkan bahwa bagian otak depan yaitu prefrontal cortex pada yang bijaksana, ternyata lebih besar dan lebih subur berkembang. Jadi, ternyata kegiatan berpikir saja tidak cukup. Exercise otak mengenai cara berpikirnya sendiri adalah kunci “kesadaran” seseorang dan akan mempengaruhi di dalam setiap aspek kehidupannya. Inilah penjelasan mengapa dua individu yang sama-sama pintar, bisa berbeda sikap, prilaku dan tingkat kedewasaannya. Pemahaman mengenai aspek manusia dalam diri sendiri perlu kita kembangkan dan latihkan, antara lain melalui self talk atau bicara dengan diri sendiri. Kita bisa membohongi diri sendiri terus menerus, tetapi juga bisa menantang diri untuk bersikap fair, misalnya kalah salah, ya terima dimarahi.

Dr. Stephen dari University College London membuktikan adanya korelasi positif antara ketepatan pengambilan keputusan dan kemampuan introspeksi individu. Introspeksi yang merupakan proses observasi dan refleksi diri memang tidak diajarkan di sekolah. Jadi, bisa saja individu tumbuh tanpa kegiatan introspeksi, apalagi self talk. Bisa saja sepanjang hidupnya tidak ada kegiatan menyalahkan diri, mendera dan menguatkan diri sendiri yang tuntas. Yang terjadi pada diri individu hanyalah kegiatan melihat keluar dan menyerap nilai-nilai yang ada di luar dirinya, dan dijadikan patokan hidupnya. Filsuf Yunani paling kuno, Socrates, sudah mengatakan, “the unexamined life is not worth living.” Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks ini, pendalaman kepribadian akan menyelamatkan individu dari kekosongan mental.

Menyadari “Pikir” dan “Rasa”
Membaca novel, menyaksikan atau mengalami sendiri kejadian romantis, menegangkan atau menyedihkan, merupakan kegiatan yang kita alami sehari-hari. Interpretasi mengenai kejadian-kejadian ini dan bagaimana dialog “follow – up”-nyalah yang akan berdampak pada perkembangan pribadi kita. Membaca novel sering membuat kita teringat pada pengalaman diri sendiri. Hal yang paling penting adalah kemampuan kita melihat diri secara obyektif, bukan subyektif dan menerjemahkan situasi tersebut ke dalam situasi perbaikan.

Pertama-tama kita perlu mengupayakan untuk “stick to the facts”. “Saya mencoba celana saya dan ternyata sempit” atau “Jeans saya sudah tidak pantas lagi karena terlalu ketat”. Perasaan yang timbul akibat celana kesempitan inilah yang mempengaruhi keyakinan kita. Kita bisa mengatakan pada diri sendiri “Kamu jelek “ atau kita juga bisa mengatakan “Kamu makan terlalu banyak”. Kualitas jelek sulit di-follow-up  dan diperbaiki, tetapi pernyataan “makan terlalu banyak” bisa kita ikuti dengan janji pada diri sendiri untuk tidak menambah porsi makan esok hari. Bila self talk ini secara terus menerus disadari dan diarahkan pada tindakan perbaikan, kita akan terbiasa untuk “memeriksa diri” dan menasehati diri menuju ke arah perbaikan. Kita akan menjadi orang yang “dalam” dan lebih “positif”. Bila mengubah cara berpikir, kita bisa mengubah cara merasa.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, dalam KOMPAS, 7 Juli 2012, hlm 33

Dokumen Konsili Vatikan II: Lumen Gentium (15)

Sambungan sebelumnya....
KONSTITUSI DOGMATIS TENTANG GEREJA

45. (Hubungan para religius dengan Hirarki)
Tugas Hirarki Gereja yakni menggembalakan umat Allah dan membimbingnya ke ladang yang berumput lebat (Lih. Yes 34:14). Maka Hirarki juga harus secara bijaksana mengatur dengan undang-undangnya pelaksanaan nasehat-nasehat Injil, yang secara istimewa mendukung penyempurnaan cinta kasih akan Allah dan terhadap sesama.[143] Dengan penuh perhatian mengikuti doronganh Roh Kudus, Hirarki menerima pedoman-pedoman hidup, yang diajukan oleh tokoh-tokoh religius pria maupun wanita dan setelah dibubuhi ketentuan-ketentuan lebih rinci, mengesahkannya dengan resmi. Tarekat-tarekat yang telah didirikan di mana-mana untuk membangun Tubuh Kristus, didampingi dengan pengawasan dan perlindungan kewibawaannya, supaya berkembang dan subur berbuah menurut semangat para pendirinya.

Namun supaya kebutuhan-kebutuhan seluruh kawanan Tuhan ditanggapi secara lebuh baik, Imam Agung, berdasarkan kedudukannya sebagai kepala seluruh Gereja demi kepentingan bersama dapat menarik setiap lembaga kesempurnaan untuk masing-masing anggotanya dari lingkup kuasa para Uskup setempat dan membawakan mereka hanya kepada dirinya.[144] Begitu juga mereka dapat dibiarkan atau diserahkan di bawah kewenangan patriarkat mereka sendiri. Dalam menunaikan tugas terhadap Gereja menurut corak khas hidup mereka, para anggota tarekat wajib menunjukkan sikap hormat dan taat menurut hukum Gereja kepada para Uskup demi kewibawaan pastoral mereka di Gereja-Gereja khusus serta demi kesatuan dan kerukunan yang diperlukan dalam karya kerasulan.[145]

Adapun dengan pengesahannya Gereja tidak hanya mengangkat ikrar religious kepada martabat status kanonik melainkan juga menampilkannya sebagai status yang ditakdiskan kepada Allah dalam upacara Liturgi. Sebab dengan kewibawaan yang oleh Allah diserahkan kepadanya Gereja menerima kaul-kaul yang diikrarkan dengan doanya yang resmi memohonkan bantuan dan rahmat Allah bagi mereka yang mengikrarkannya, mempercayakan mereka kepada Allah dan memberi mereka berkat rohani sambil menyatukan persembahan diri mereka dengan korban Ekaristi.

46. (Penghargaan terhadap hidup religius)
Hendaklah para religius sungguh-sungguh berusaha supaya melalui mereka Gereja benar-benar makin hari makin jelas menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun tidak beriman, entah bila ia sedang berdoa di atas bukit, entah bila sedang mewartaakan Kerajaan Allah kepada rakyat, entah bila Ia sedang menyembuhkan mereka yang sakit dan terluka serta mempertobatkan kaum pendosa kepada hidup yang baik atau sedang memberkati kanak-kanak dan berbuat baik terhadap semua orang, senantiasa dalam kepatuhan kepada kehendak Bapa yang mengutus-Nya.[146]

Akhirnya hendaklah semua orang menginsyafi, bahwa mengikrarkan nasehat-nasehat Injil memang berarti mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi, namun tidak merintangi kemajuan pribadi manusia yang sejati, melainkan pada hakekatnya sangat mendukungnya. Sebab seperti nampak jelas pada teladan sekian banyak pendiri yang kudus – nasehat-nasehat itu, bila diterima secara sukarela menurut panggilan pribadi masing-masing, sangat mendukung pemurnian hati dan kebebasan rohani, tiada hentinya membangkitkan semangat cinta kasih dan terutama mampu menjadikan hidup orang Kristen lebih serupa dengan corak hidup dalam keperawanan dan kemiskinan, yang telah dipilih oleh Kristus Tuhan sendiri dan yang telah dihayati penuh semangat oleh Bunda-Nya yang tetap perawan. Jangan pula orang mengira bahwa para religius karena serah diri mereka atau terasingkan dari orang-orang atau tidak berguna lagi bagi masyarakat duniawi. Sebab meskipun ada kalanya mereka itu tidak langsung berhubungan dengan sesama, namun secara lebih mendalam mereka mengenangkan sesama dalam kasih mesra Kristus dan secara rohani bekerja sama dengan sesama supaya pembangunan masyarakat duniawi selalu bertumpu pada Tuhan dan diarahkan kepada-Nya, sehingga para pembangunnya jangan bekerja dengan sia-sia.[147]

Oleh sebab itu Konsili suci akhirnya meneguhkan dan memuji semua pria dan wanita, para Bruder dan Suster, yang dalam biara-biara atau di sekolah-sekolah dan rumahsakit atau di daerah-daerah misi, dengan kesetiaan yang andal dan kerendahan hati, ikut merias Mempelai Kristus dalam serah diri kepada Allah seperti telah diuraikan dan berbakti kepada semua orang dengan kebesaran hati dalam pengabdian yang bermacam ragam.

47. (Penutup)
Maka dari itu hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasehat-nasehat Injil sungguh-sungguh berusaha, supaya ia bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah demi makin suburnya kesudian Gereja, supaya makin dimuliakanlah Tritunggal yang satu tak terbagi, yang dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus menjadi sumber dan asal segala kesucian.



[143] Lih. KONSILI VATIKAN I, Skema tentang Gereja kristus, bab XV dan catatan 48: MANSI 51,549 dsl. Dan 619 dsl. LEO XIII, Surat Au milieu des consolations, 23 Desember 1900: AAS 33 (1900-01) hlm. 361. PIUS XII, Konstitusi apostolik Provida Mater: AAS 39 (1947) hlm. 114 dsl.
[144] Lih. LEO XIII, Konstitusi Romanos Pontifices, 8 Mei 1881: AAS 48 (1880-81) hlm. 483. PIUS XII, Amanat
Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 48 (1951) hlm. 28 dsl.
[145] Lih. PIUS XII, Amanat Annus sacer: AAS 43 (1951) hlm. 28. PIUS XII, Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae, 31 Mei 1959: AAS 48 (1956) hlm. 355. PAULUS VI, Amanat Mgno gaudio: AAS 56 (1964) hlm. 570-571.
[146] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 214 dsl.
[147] Lih. PIUS XII, Amanat Annus sacer: AAS 43 (1951) hlm.30. Amanat Sous la meternelle protection, 9 Desember 1957: AAS 50 (1958) hlm. 39 dsl.