Rabu, 27 September 2017

MELIHAT DERITA ROHINGYA DI MATA ISLAM DAN KATOLIK

Beberapa minggu terakhir berita seputar penderitaan para pengungsi Rohingya memenuhi halaman media massa, baik cetak maupun elektronik. Ada banyak tokoh mengecam tindakan biadab oknum Myanmar. Sepertinya semua mata menyalahkan pemerintahan Myanmar. Sementara Aung San Suu Kyi mengklaim bahwa pemerintah telah bertindak secara proporsional. Nilai-nilai kemanusiaan tetap dijunjung tinggi. Akan tetapi, sepertinya orang sudah tidak percaya pada keterangan dari pemerintah Myanmar.
Aung San Suu Kyi pernah mengungkapkan bahwa banyak orang mengecam dan menyalahkan Myanmar hanya didasarkan informasi palsu. Hal ini sepertinya bukan ucapan tanpa dasar. Terbukti tokoh sekelas Tifatul Sembiring, yang pernah menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi dan juga Presiden Partai PKS, ikut-ikutan menyebarkan berita hoax. Artinya, penderitaan warga Rohingya, yang ditampilkan oleh media massa jangan diterima mentah-mentah.
Bagaimana derita warga Rohingya di mata warga Indonesia yang beragama islam dan katolik? Tak bisa disangkal, bila menyaksikan media-media massa, penderitaan warga Rohingya sepertinya hanya menimbulkan empati umat islam. Semua aksi-aksi demo selalu dipenuhi oleh umat islam. Apakah umat lain tidak peduli? Tentu saja tidak. Umat agama lain mempunyai caranya tersendiri. Perbedaan ungkapan ini didasarkan perbedaan cara pandang.
Melihat cara umat islam mengungkapkan kepeduliannya terhadap penderitaan warga Rohingya, saya jadi teringat akan kutipan pernyataan Sayyid Mahmoud al-Qimni, seorang pakar islam berkebangsaan Mesir, soal bagaimana umat islam menyikapi penderitaan sesama islam. Al-Qimni berkata, “Jika identitas Mesir berdasarkan pada Arabia dan persekutuan islamiah, maka orang muslim Mesir lebih merasa bersaudara dengan muslim Bosnia dibandingkan dengan orang Mesir Kristen Koptik. Dengan begitu, mencurahkan darah orang Mesir Koptik dianggap halal, dan orang Mesir Kristen ini dibunuh karena apa yang terjadi terhadap Muslim di Bosnia dan Hursik.”
Dari pernyataan Al-Qimni ini terlihat jelas bahwa umat islam hanya mau peduli dengan sesama umat islam. Dengan kata lain, dasar kepeduliaannya adalah agamanya, bukan kemanusiaannya. Hal ini dapat dilihat pada konteks Indonesia. Umat islam Indonesia lebih peduli dengan derita warga muslim Rohingya daripada derita warga Indonesia yang bukan islam. Karena itu, aksi peduli dilakukan dengan mengatas-namakan derita muslim Rohingya. Dapat dipastikan, jika warga Rohingya bukan islam, pasti tidak akan ada demo umat islam, dan tidak akan ada aksi peduli.