Minggu, 05 Juli 2015

Manajemen Keuangan Paroki yg Transparan

MANAJEMEN KEUANGAN PAROKI BERBASIS TRANSPARANSI
Paroki secara sederhana dapat dimengerti sebagai lembaga yang menangani kegiatan atau pelayanan pastoral. Dalam penanganan karya-karya pastoral yang ada di paroki, uang memegang peranan penting, meski uang bukanlah segala-galanya. Dengan kata lain, uang sebagai sarana penunjang kegiatan pastoral di paroki.
Uang, yang ada di paroki, dipergunakan untuk kepentingan pastoral. Jika uang itu dipakai sebagaimana mestinya, maka pelayanan pastoral bisa berjalan optimal. Akan tetapi, jika uang itu disalah-gunakan, maka pelayanan pastoral menjadi terbengkelai. Dan korban utamanya adalah umat. Oleh karena itu, uang paroki harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Salah satu cara pengelolaan keuangan paroki adalah penerapan sistem transparansi.
Tulisan berikut akan mencoba memaparkan pengelolaan keuangan paroki berbasis transparansi. Zaman sekarang transparansi keuangan paroki sudah harus menjadi kewajiban. Paus Fransiskus, pada tahun 2010 membuat gebrakan di Vatikan dengan “memaksa” lembaga keuangan Vatikan untuk transparan dalam keuangannya.
Sebelum melihat soal manajemen keuangan paroki, terlebih dahulu akan dipaparkan sumber uang dan personal keuangan paroki.
Sumber Uang Paroki
Pertama-tama perlu disadari bahwa paroki bukanlah suatu lembaga profit, atau lembaga yang mencari dan mengejar keuangan, melainkan lembaga non profit. Ia masuk dalam kategori lembaga sosial, menangani masalah-masalah sosial-keagamaan dengan tidak mementingkan laba.
Sekalipun tidak mengejar profit, uang menjadi salah satu sumber kehidupannya. Uanglah yang menjadi sarana untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan pastoral, termasuk kehidupan para tenaga pastoral.
Ada beberapa sumber pendapatan dari sebuah paroki. Umumnya uang paroki didapat dari:

Renungan Hari Minggu Biasa XIV - B

Renungan Hari Minggu Biasa XIV, Thn B/I
Bac I  Yeh 2: 2 – 5; Bac II                   2Kor 12: 7 – 10;
Injil    Mrk 6: 1 – 6;

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara soal relasi Tuhan dengan umat-Nya. Dalam Bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Yehezkiel, dikisahkan tentang Israel, yang adalah umat pilihan Allah, namun dikenal sebagai pemberontak. Allah yang sudah baik kepada mereka, namun ditolak. Mereka melawan Allahnya sendiri. Inilah gambaran relasi Allah dengan umat-Nya.
Gambaran ini terulang lagi dalam diri Tuhan Yesus, yang dalam bacaan pertama tadi sudah diramalkan sebagai nabi yang hadir di tengah-tengah kaum pemberontak (Yeh 2: 5). Injil berkisah tentang relasi Tuhan Yesus dengan umat sekampungnya, orang-orang Nazareth. Ada keselarasan antara umat pilihan (dalam bacaan pertama) dengan orang sekampung (dalam Injil). Sama seperti dalam bacaan pertama Allah ditolak, dalam Injil pun Allah, yang hadir dalam diri Tuhan Yesus, ditolak.
Penolakan ini disebabkan kesombongan dan keangkuhan mereka. Umat tidak bisa menerima sesuatu yang baik dan benar yang diwartakan Tuhan Yesus mengingat latar belakang Tuhan Yesus dan keluarga-Nya. Mereka sudah begitu mengenal Tuhan Yesus dan keluarga, termasuk saudara-saudari-Nya. Apa yang mereka kenal ternyata tidak mendukung warta Tuhan Yesus. Bagi mereka tak mungkin warta yang begitu luar biasa dapat lahir dari seorang yang biasa-biasa saja.
Bagaimana pesan sabda Tuhan hari ini kita terapkan dalam kehidupan kita? Kita dapat merefleksikan sejauh mana relasi kita dengan Tuhan Yesus. Gambaran situasi Injil bisa diterapkan dalam kehidupan kita saat ini. Kita dapat menggantikan posisi orang-orang Nazareth, karena memang Tuhan Yesus itu sudah identik dengan kekristenan (katolik). Nah, pertanyaannya, apakah saya sudah benar-benar menerima ajaran Tuhan Yesus dan menerapkannya dalam hidup saya? Atau malah justru menolak Dia?
Harus diingat, setelah ditolak di kampungnya sendiri Tuhan Yesus akhirnya pergi berkeliling ke desa-desa. Bisa dikatakan desa yang dimaksud adalah desa lain yang bukan Nazareth. Demikian pula halnya kini. Jika kita menolak Tuhan Yesus, bukan tidak mustahil Tuhan Yesus akan berkarya di tempat yang lain.***
by: adrian