Sabtu, 20 September 2014

Transparan Keuangan Paroki

PAROKI WAJIB TRANSPARAN SOAL KEUANGAN
Gereja adalah bagian dari dunia. Karena itu prinsip-prinsip keduniaan, meski tidak semuanya, dapat diadopsi oleh Gereja. Salah satunya adalah soal transparansi laporan keuangan. Paus Fransiskus, sejak terpilihnya, mencanangkan transparansi keuangan di pusat Gereja Katolik, yaitu Vatikan. Karena itu, sudah saatnya pengelolaan harta benda Gereja, termasuk keuangan, dilakukan secara transparan agar umat mengetahuinya.

Apakah ajakan Paus Fransiskus untuk terbuka dalam keuangan Gereja sudah diikuti semua Gereja di belahan dunia? Harus diakui bahwa masih ada paroki yang menolak membuka laporan keuangannya kepada umat. Laporan keuangan hanya khusus untuk Pastor Kepala Paroki dan bendahara paroki saja. Umat, bahkan pastor pembantu pun tak diperkenankan untuk mengetahuinya.

Alasan Kuno Menolak Transparansi
Ada saja orang, bahkan dari hirarki, yang tidak setuju dengan transparansi keuangan. Mereka menilai bahwa di balik transparansi ada prinsip do ut des: saya memberi, maka saya menerima. Artinya, pemberian itu ada pamrih. Jadi, umat yang memberi kolekte, intensi, stipendium, dll, disinyalir memiliki pamrih pribadi, bukan murni persembahan kepada Tuhan, Gereja dan karya pastoral. Pemberian tersebut tidak seperti persembahan janda miskin (bdk. Lukas 21: 1 – 4).

Malahan orang menentang transparansi keuangan dengan menggunakan dasar biblis untuk menguatkan argumennya. Teks Kitab Suci yang biasa dipakai adalah Matius 6: 3: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” Teks ini biasanya dipakai sebagai prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan (kolekte, intensi, stipendium, dll).

Benarkah transparansi keuangan bertentangan dengan prinsip kristiani dalam hal memberi? Pertama-tama perlu dilihat konteks Injil Matius berkaitan dengan persembahan secara keseluruhan. Matius 6: 3 itu berkaitan dengan tradisi memberi sedekah yang merupakan kewajiban bagi orang Yahudi. Keluarnya pernyataan Yesus ini harus dikaitkan dengan kebiasaan orang yang suka pamer dalam memberi sedekah. Sikap pamer membuat orang jatuh ke dalam keangkuhan dan kesombongan. Sikap pamer, yang berdampak pada kesombongan diri, inilah yang dikritik oleh Yesus. Untuk menghindari hal ini, Yesus mengajarkan agar persembahan atau sedekah itu diberikan dengan sembunyi, tidak ada orang lain yang tahu. Artinya, sedekah atau pemberian itu bukan untuk pamer.

Transparansi bukanlah bertujuan untuk pamer, apalagi menyombongkan diri. Tanpa transparansi pun orang bisa jatuh ke dalam kesombongan pribadi berkaitan dengan persembahan. Kecenderungan pamer dan menyombongkan diri itu tergantung pada hati dan motivasi. Karena itu, tidak beralasan tudingan bahwa transparansi keuangan melanggar prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan. Dan janganlah kecenderungan itu menjadi alasan untuk meniadakan transparansi.

Alasan Paroki Wajib Transparan
Terlihat bahwa alasan penolakan atas transparansi keuangan terkesan mengada-ada atau dicari-cari. Lebih aneh lagi alasan pencegahan tindak kriminal pencurian, perampokan atau pemerasan. Justru kita dapat menilai ada sesuatu mencurigakan di balik ketertutupan itu. Sungguh ironis, orang menggunakan dasar biblis untuk menyembunyikan tindakan korupsinya.

Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak transparansi keuangan. Ada beberapa alasan kenapa Gereja, dalam hal ini paroki, harus transparan. Pertama, uang paroki adalah uang umat yang didapat dari umat melalui kolekte, intensi, stipendium, donasi, dll. Uang itu akan digunakan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi pastor apalagi keluarganya. Oleh karena itu, umat berhak untuk mengetahui pengelolaan keuangan paroki: berapa yang masuk, bagaimana dikelola, bagaimana pemakaiannya, berapa keluar, berapa hasil akhirnya, dll. Dapatlah dikatakan bahwa transparansi merupakan bentuk akuntabilitas.

Kedua, paroki itu bukan milik pastor paroki atau segelintir umat, melainkan milik semua umat. Maka, dengan adanya transparansi keuangan berarti umat dilibatkan; umat menjadi berpartisipasi aktif. Umat bukan penonton atau ATM bagi pastor. Di sini umat akan merasa memiliki Gereja (cinta akan parokinya), melalui kontrolnya atas laporan keuangan yang dibuat secara transparan. Jika tidak semua umat mengetahui, minimal ada perwakilan umat yang melakukan kontrol tersebut.

Ketiga, tak ada manusia yang sempurna. Semua manusia memiliki kelemahan, terlebih dalam hal uang. Manusia, bahkan imam sekalipun, sangat rentan terhadap penyalahgunaan uang. Karena itu benar kata orang bahwa korupsi tidak pandang bulu. Korupsi bukan hanya milik para pejabat negara, tetapi juga bisa melanda pejabat Gereja (baca: hirarki): uskup, imam dan suster. Gebrakan Paus Fransiskus dalam menegakkan transparansi keuangan mengindikasikan adanya korupsi di tubuh Gereja. Transparansi dapat meminimalisir bahaya penyelewengan keuangan. Penyalahgunaan uang akan dengan mudah diketahui. Tentulah hal ini membuat orang segera mengerem niat korupsinya.

Keempat, transparansi membuat pengelolaan uang paroki bisa tepat sasaran. Seperti yang sudah dikatakan, ketertutupan laporan keuangan sangat rentan bagi penyalahgunaan uang paroki. Pastor Kepala Paroki dan bendaharanya bisa saja menggunakan uang itu untuk keperluan yang sama sekali tidak sesuai dengan tujuannya. Memang di pembukuan bisa saja mereka membuat laporan yang sesuai. Pihak keuskupan tidak akan mengetahui dengan pasti penggunaan persisnya; mereka hanya melihat laporan bulanan saja. Umat-lah yang lebih mengetahui situasi parokinya.

Kelima, memang transparansi bukan merupakan ajaran iman. Akan tetapi, dengan menerapkan transparansi keuangan, Gereja Paroki menunjukkan kebersatuannya dengan Gereja Induk, yaitu Vatikan. Gebrakan Paus Fransiskus di Vatikan hendaknya dibaca bukan hanya untuk internal Vatikan saja, melainkan juga untuk Gereja universal. Paroki merupakan bagian dari Gereja universal itu, sehingga sudah semestinya menerapkan juga transparansi keuangan itu. Sangat ironis jika pimpinan tertingginya menyerukan transparansi, namun yang di bawah tak bereaksi. Bukankah ini seperti sikap kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat terhadap seruan-seruan Yesus di jaman Perjanjian Baru? Karena itu, sebagai bagian dari Gereja universal, paroki wajib melakukan transparansi keuangan.

Akhir Kata
Banyak orang mengkritik bahkan mengecam orang yang melakukan tindak korupsi, tapi sayang ia tak mau menunjukkan usaha memberantas korupsi itu. Transparansi merupakan salah satu cara sederhana dan mudah untuk mencegah korupsi. Tapi kenapa ada orang menolak dan menentangnya?
Jakarta, 10 Mei 2014
by:adrian
Baca juga:
5.      Korupsi dan Gereja
6.      Matinya SuaraHati
7.      Dialog Korupsi

Orang Kudus 20 September: St. Kolumba & Pamposa

SANTA KOLUMBA & PAMPOSA, MARTIR
Kolumba dan Pamposa adalah dua orang biarawati Benediktin. Ketika biara mereka diserang dan dihancurkan oleh Sultan Muhammed I dari Cordova, Spanyol, semua suster lain melarikan diri, kecuali Suster Kolumba. Di hadapan para penangkapnya ia mengakui diri sebagai biarawati. Oleh karena itu dia dipenggal kepalanya. Menyaksikan peristiwa ityu, Pamposa menghadap raja untuk mempertobatkannya, tetapi ia mengalami nasib yang sama seperti Suster Kolumba. Peristiwa berdarah itu terjadi atas diri kedua suster itu pada tahun 853.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Sabtu Biasa XXIV - Thn II

Renungan Hari Sabtu Biasa XXIV, Thn A/II
Bac I    1Kor 15: 35 – 37, 42 – 49; Injil                   Luk 8: 4 – 15;

Dalam Injil hari ini Tuhan Yesus mengajar orang banyak lewat perumpamaan. Kali ini Tuhan Yesus memberi perumpamaan penabur, yang menaburkan benihnya di empat lokasi tanah: tanah pinggiran jalan, tanah berbatu, tanah bersemak duri dan tanah subur. Dari keempat jenis tanah itu, hanya tanah subur saja yang menghasilkan buah. Inti dari perumpamaan ini adalah ajakan untuk menghasilkan buah. Tuhan Yesus berharap agar benih iman yang ditaburkan dalam hati umat dapat menghasilkan buah. Kondisi empat jenis tanah merupakan media refleksi diri. Umat diajak untuk melihat dirinya pada kondisi tanah yang mana? Jika menyadari dirinya bukan pada kondisi tanah yang subur, maka kewajiban umat untuk berubah sehingga dapat menghasilkan buah.

Tema perubahan juga mendapat tekanan Paulus dalam bacaan pertama. Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, Paulus membahas soal kebangkitan yang membuat bingung kebanyakan orang. Bagi Paulus inti kebangkitan adalah perubahan. Orang yang bangkit tentulah orang yang berubah. Dia tidak sama lagi dengan semula. Jika semulanya ia adalah manusia alamiah, maka lewat kebangkitan ia menjadi manusia rohaniah. Paulus bukan cuma mau menekankan soal kebangkitan pada akhir zaman saja, melainkan kebangkitan saat ini. Karena dengan kebangkitan Kristus, umat juga hendaknya mengalami kebangkitan. Artinya, dalam dan bersama Kristus, umat meski menunjukkan perubahan dalam hidup, tampil sebagai manusia rohaniah.

Salah satu kendala terwujudnya perubahan adalah cinta pada kemapanan. Dewasa ini banyak orang menolak untuk berubah karena sudah mapan. Dalam kemapanan ada kenikmatan dan kenyamanan. Tak sedikit pula kemapanan itu terwujud pada hal-hal yang negatif. Mapan pada kemalasan, mapan pada keserakahan, mapan kekuasaan, dan kemapanan lainnya. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk berani membongkar kemapanan itu. Kita diajak untuk berbuah. Jika kemapanan itu menjadi kendala bagi kita untuk berbuah, maka kita harus berani melawan kemapanan itu. Tuhan menyadarkan kita bahwa bangkit bersama Kristus berarti juga berubah hingga akhirnya berbuah.

by: adrian