Menikah merupakan sebuah
tindakan hukum. Artinya, orang yang menikah harus mengikuti ketentuan hukum
yang berlaku agar dengan demikian pernikahannya menjadi sah. Dalam Gereja
Katolik orang katolik yang menikah diatur oleh tiga hukum sekaligus, yaitu hukum
ilahi/kodrat, hukum gereja dan hukum sipil. Semua ini demi legalitas hasil dari
tindak menikah itu. Di Indonesia, pernikahan itu sah jika sudah diresmikan oleh
agama (bdk. UU Perkawinan No 1 Thn 1974, pasal 2 ayat 1). Di luar itu,
pernikahan yang dilangsungkan adalah tidak sah.
Akan tetapi, masih ada orang
yang bertindak di luar hukum, khususnya dalam hidup bersama. Mereka hidup
bersama di luar pernikahan, atau tanpa menikah. Ini dikenal dengan
istilah kumpul kebo. Jadi, kumpul kebo adalah orang yang hidup bersama
sebagai suami istri tanpa ikatan resmi pernikahan. Hampir semua agama melarang
umatnya untuk kumpul kebo. Bagaimana sikap Gereja Katolik?
Bagi Gereja Katolik, tindakan
kumpul kebo merendahkan martabat pernikahan, karena mereka merusak konsep keluarga,
melemahkan nilai kesetiaan dan demikian melawan hukum moral. Umumnya orang
mengerti bahwa keluarga itu terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan segala
efeknya. Kumpul kebo mengacaunya karena anak yang lahir tidak mendapat
pengakuan resmi. Kumpul kebo tidak punya ikatan yang kuat sehingga merusak
nilai kesetiaan di antara mereka sendiri serta berpeluang punya simpanan lain.
KGK 2390 menegaskan bahwa kumpul kebo melanggar hukum moral, karena
persetubuhan hanya boleh dilakukan di dalam pernikahan; di luar itu
persetubuhan merupakan dosa berat dan mengucilkan dari penerimaan komuni kudus.
Kumpul kebo merupakan sebuah dosa, yaitu dosa perzinahan.
diambil dari tulisan 6 tahun lalu