Jumat, 13 April 2012

Mengapa Kita Memilih Gereja Katolik


Dalam tulisan terdahulu, kita telah membahas bahwa kepercayaan kepada satu Tuhan adalah sesuatu yang sangat logis/ masuk akal. Setelah kita percaya kepada Tuhan yang satu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sudah selayaknya kita juga percaya kepada Yesus Kristus[1], Putera Allah yang menjelma menjadi manusia. Tahap selanjutnya adalah: setelah kita percaya kepada Yesus, berarti kita menjadi pengikut Yesus dan menjadi seorang Kristen. Namun pertanyaannya sekarang, Kristen yang mana?

Pencarian kebenaran harus lebih tinggi daripada penghargaan dan perasaan pribadi
Pertanyaan di atas menjadi penting  di zaman sekarang ini, mengingat bahwa dewasa ini ada begitu banyak tipe kekristenan yang dilihat dari banyaknya macam gereja. Untuk begitu saja menerima kekristenan tanpa meneliti terlebih dahulu tentang Gereja mana yang sebenarnya didirikan oleh Yesus Kristus, adalah menempatkan diri sendiri dan perasaan diri sendiri lebih tinggi daripada kebenaran.[2] Maka, kerap kali kita mendengar pernyataan-pernyataan seperti berikut ini:
  • Saya senang ke gereja ini, karena gereja ini umatnya begitu ramah, musiknya juga bagus sekali.
  • Saya merasa bahwa gereja ini diberkati oleh Roh Kudus, karena saya merasakan bahwa kuasa Roh Kudus hadir di gereja tersebut.
  • Saya merasakan bahwa pembawa firmannya begitu penuh dengan Roh Kudus, sehingga dapat menyentuh hatiku.
  • Saya tidak dapat berkembang di gereja A, sehingga saya harus mencari gereja yang membuat saya berkembang.
  • Dan begitu banyak pernyataan-pernyataan yang lain.
Kalau kita meneliti pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, bukankah semuanya berfokus kepada “saya?” Padahal, dalam pencarian kebenaran, seharusnya, fokus kita bukan kepada diri sendiri, tetapi kepada kebenaran, yang akhirnya mengarahkan kita kepada Sang Kebenaran itu sendiri,[3] yaitu Yesus Kristus. Dengan kata lain,  kita menempatkan kebenaran di atas kepentingan dan perasaan pribadi.

Gereja yang mana?
Pertanyaan untuk mencari kebenaran adalah: “Sebenarnya Tuhan ingin saya ke gereja yang mana? Atau Gereja manakah yang Yesus dirikan? Pertanyaan ini sangatlah mendasar, karena kalau Tuhan mendirikan sebuah Gereja dan kalau kita menempatkan kebenaran di atas segalanya, termasuk diri kita sendiri, maka kita seharusnya memberikan diri kita kepada Gereja tersebut. Dalam tulisan ini, kita akan meneliti, gereja manakah yang dirancang oleh Allah Bapa, didirikan oleh Yesus Kristus, dan dikuduskan oleh Roh Kudus sampai akhir zaman.

Gereja terpecah belah
Pada waktu saya kuliah di Bandung, saya didatangi oleh umat dari gereja tertentu. Kemudian mereka memperkenalkan diri, bahwa mereka datang dari gereja X. Dalam hati saya sungguh mengagumi keberanian mereka untuk menyebarkan kabar gembira dan dedikasi mereka terhadap Tuhan. Kemudian mereka menceritakan tentang pendiri gereja X tersebut, sebut saja Yesaya. Menurut mereka, pendiri gereja X adalah seseorang yang diurapi oleh Roh Kudus. Sebelumnya sang pendiri ini adalah salah seorang anggota jemaat gereja Y. Kemudian karena sesuatu hal, menurut Yesaya, pemimpin gereja Y tidak dipenuhi lagi oleh Roh Kudus. Kemudian Yesaya mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus untuk mendirikan gereja baru, yang bernama gereja X. Dalam keterbatasan saya tentang teologi dan juga pengertian saya yang dangkal, saya bertanya kepada mereka, “Bagaimana bila suatu saat, karena sesuatu hal, ada umat di gereja X yang juga mendapat inspirasi dari Roh Kudus untuk mendirikan gereja baru, bukankah nanti dapat terjadi ada gereja X1, X2, dan seterusnya?”

Kalau kita meneliti dengan jujur, inilah yang terjadi  sekarang ini. Ada lebih dari 28,000 denominasi gereja di dunia. Data di Amerika menunjukkan bahwa setiap minggu ada satu gereja baru muncul, dan kemudian dalam dua generasi akan lenyap. Keberadaan gereja yang ‘timbul dan tenggelam’ sudah menjadi hal yang biasa pada saat ini. Pertanyaan-nya adalah, “Mengapa gereja terpecah-pecah, dan kalau memang ini semua dari Roh Kudus, mengapa tidak ada kesatuan? Padahal kita tahu bahwa Roh Kudus adalah Roh Pemersatu dan bukan roh pemecah.”

Perpecahan Gereja terjadi dari awal jemaat sampai sekarang
Catatan sejarah menunjukkan bahwa sejak jemaat awal, akibat dari dosa, benih-benih perpecahan sudah ada. St. Paulus mengingatkan jemaat di Roma dan di Korintus untuk menghindari perpecahan (Rom 16:17; 1 Kor 1:10; 11:18-19; 12:25). Namun, sayangnya perpecahan ini tetap terjadi, mulai dari Docetism (90-451), Gnosticism (100), Manichaeism (250) dan seterusnya. Di abad- abad berikutnya,   perpecahan gereja terus terjadi, contohnya:
  • Gereja Timur Orthodox (1054).
  • Gereja Anglikan di Inggris (abad ke 16), didirikan oleh Raja Henry VIII.
  • Lutheran dan Calvinis di Jerman (abad ke 16), didirikan oleh Luther dan Calvin.
  • Methodis di Inggis (1739), didirikan oleh John Wesley.
  • Kristen Baptis (1639), didirikan oleh Roger Williams.
  • Anabaptis (1521), didirikan oleh Nicolas Stork.
  • Presbyterian di Skotlandia (1560).
  • Mormon di Amerika (1830), didirikan oleh Joseph Smith.
  • Saksi Yehovah di Amerika (1852-1916), didirikan oleh Charles Taze Russell.
  • Unification Church di Korea (1954), didirikan oleh Rev. Sun Myung Moon.
Perpecahan ini terus bertambah setiap hari sampai saat ini, walaupun sesungguhnya, perpecahan bertentangan dengan pesan Yesus yang terakhir sebelum sengsara-Nya. Yesus berdoa untuk semua orang yang percaya kepada-Nya agar bersatu seperti Ia bersatu dengan Allah Bapa agar dunia bisa percaya kepada-Nya (lih. Yoh 17:21).

Mungkin ada orang yang berargumentasi, bahwa banyaknya gereja tidaklah berarti perpecahan, karena semua gereja percaya akan Trinitas, juga kepada Yesus. Namun, kalau kita teliti lebih lanjut, sebetulnya tidaklah demikian, karena ada gereja-gereja tertentu yang tidak percaya akan ke-Allahan Yesus. Juga gereja-gereja tersebut tidak mempunyai ajaran yang sama. Contohnya: baptisan bayi diperbolehkan atau tidak? Ada berapakah jumlah sakramen? Isu-isu tentang otoritas, dan lain sebagainya. Selanjutnya, kita juga mengetahui bahwa Martin Luther sendiri bertentangan dengan John Calvin dalam pengajaran tentang sakramen pengampunan dosa, dan hal perbedaan ajaran terjadi juga di antara sesama gereja-gereja non- Katolik.

Yang penting jadi Kristen, namun tidak penting gereja apa
Ada banyak orang beranggapan bahwa yang penting adalah seseorang percaya kepada Yesus, mendapatkan keselamatan, namun tidaklah penting dari gereja yang mana. Mungkin anggapan seperti ini sedikit banyak sejalan dengan tulisan C.S. Lewis, yang mengatakan bahwa menjadi Kristen seumpama seperti banyak orang yang tinggal di rumah yang besar. Maka yang terpenting adalah, pertama- tama masuk ke rumah tersebut terlebih dahulu, sedangkan hal masuk di ruangan mana tidaklah menjadi terlalu penting. Di sini, ruangan diartikan sebagai denominasi gereja-gereja.

Kalau kita merenungkan lebih jauh dan meneliti tentang hakekat gereja dengan menggunakan argumen dari C.S. Lewis, kita dapat mempertanyakan bahwa bagaimana mungkin banyak orang bisa tinggal dalam satu rumah, memilih ruangan masing-masing, namun tidak mempunyai aturan dan ajaran yang sama? Bahkan yang menyedihkan adalah ada kemungkinan orang-orang tersebut masih mempertanyakan tuan rumah dari rumah tersebut. Kita melihat bahwa di kehidupan rumah kita, masing-masing rumah tangga mempunyai peraturan yang harus ditaati, agar semuanya dapat hidup dengan baik. Yesus mengatakan kalau suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat bertahan (Mrk 3:25). Kalau sebuah rumah yang besar terpecah-pecah dalam berbagai ajaran dan aturan moral yang berlainan, maka rumah besar itu tidak akan bertahan. Santo Paulus sendiri memperingatkan jemaat di Roma dan Korintus untuk menghindari perpecahan (Rom 16:17, 1 Kor 1:10, 12:25). Jika pemahaman yang diajarkan oleh C.S Lewis ini benar, maka, seharusnya semakin lama semua orang yang sama-sama tinggal di rumah itu semakin bersatu, dan bukannya semakin terpecah.

Gereja Tuhan hanya ada satu dan tidak mungkin banyak
Namun kenyataanya tidaklah demikian, perpecahan demi perpecahan mewarnai gereja-gereja tersebut. Dari buah-buah perpecahan yang terjadi di gereja-gereja di dunia ini, maka timbul pertanyaan, apakah semuanya itu datang dari Tuhan. Kalau datang dari Tuhan, mengapa gereja- gereja itu mempunyai ajaran yang berbeda-beda? Pertanyaan ini dapat dijawab jika dipahami tentang hakekat Gereja itu sendiri.

Gereja, seperti yang dinyatakan oleh Santo Paulus, adalah Tubuh Mistik Kristus,[4] dimana Kristus adalah Kepala, dan Gereja adalah anggota-anggota tubuh-Nya (Ef 5:23-32). Sama seperti tubuh manusia, semua organ diatur oleh mekanisme tubuh yang bersumber pada otak manusia atau di kepala manusia. Demikian juga dengan Gereja. Gereja sebagai tubuh harus mengikuti keinginan Kepalanya, yaitu Kristus. Kalau Yesus sendiri menghendaki agar para anggota-Nya bersatu, maka mereka harus mengikuti. Persatuan ini dikehendaki oleh Kristus, sehingga Ia dapat mempersiapkan, menguduskan, dan mempersembahkan Gereja-Nya sebagai mempelai yang kudus (Ef 5:27). Sama seperti perkawinan yang kudus hanya terdiri dari satu mempelai pria dan satu mempelai wanita, maka Gereja Tuhan -sebagai Mempelai Kristus- juga harus hanya ada satu dan tidak mungkin banyak.

Manusia tidak dapat membuat Gereja, namun hanya bisa menerima dan berpartisipasi
Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa kesatuan Gereja hanyalah bersifat spiritual, di mana para anggotanya mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan. Yesus sendiri mengatakan bahwa di mana dua atau tiga orang berkumpul, maka Ia hadir (Lih. Mat 18:20). Jadi di mana ada dua atau tiga orang jemaat berkumpul,  di situlah terbentuk Gereja. Namun di sinilah letak permasalahannya, sebab hakekat Gereja bukanlah hanya sekedar komunitas[5], melainkan lebih dari itu. Kalau orang membuat suatu komunitas dan menamakan komunitas itu gereja, berarti dia membuat gereja, bukan menerima gereja sebagai suatu pemberian dari Tuhan. Manusia tidak bisa membuat Gereja, dia hanya bisa menerima dan menjadi bagian dari Gereja.[6]

Menyadari bahwa Gereja adalah pemberian Tuhan, harus membuat setiap anggota Gereja semakin rendah hati. Dan juga setiap anggota harus menyadari peran masing-masing untuk melindungi dan membuat tanda kasih Allah ini agar semakin memancarkan cahaya kasih Allah. Oleh karena itu, Gereja yang sedang mengembara di dunia ini[7], yang terdiri dari para pendosa dan para kudus harus terus menerus mengalami pemurnian dan pertobatan agar sampai kepada tujuan akhirnya, yaitu persatuan kekal dengan Allah di surga.

Kalau begitu, Gereja mana yang didirikan oleh Yesus Kristus
Akhirnya dari semua argumen di atas, kita menarik kesimpulan bahwa Gereja yang didirikan oleh Tuhan harus mempunyai tanda-tanda: satu, kudus, katolik, dan apostolik. Satu, karena kesatuan iman, pengajaran, sakramen, kepemimpinan; Kudus, karena bersumber pada Tuhan sendiri – yang hakekatnya adalah Kudus; katolik, karena Gereja Tuhan harus universal baik dari segi waktu maupun tempat; apostolik, karena berasal dari para rasul yang telah diberi mandat suci oleh Yesus. Keempat tanda inilah yang membedakan antara Gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus sendiri dengan gereja-gereja yang lain. Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik ini berada dalam Gereja Katolik.[8] Hanya Gereja Katolik-lah yang mempunyai empat tanda ini atau yang disebut “the four marks of the Church.”. Mengapa empat tanda ini begitu penting? Karena tanda itu adalah bukti bahwa Gereja bukan organisasi yang didirikan oleh manusia, namun didirikan oleh Yesus Kristus sendiri. Karena Gereja didirikan di atas Rasul Petrus, dan senantiasa dilindungi oleh Yesus sendiri, melalui karya Roh Kudus, maka tidak ada suatu apapun yang dapat meruntuhkan Gereja ini.[9]

Ketahanan Gereja Katolik meskipun menghadapi percobaan-percobaan sepanjang zaman membuktikan bahwa Yesus memegang janji-Nya untuk melindungi Gereja-Nya
Mungkin ada pula orang yang berpendapat, bahwa Gereja awal adalah Gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus, namun kemudian menjadi tidak murni; dan baru sekitar abad 15, Gereja kemudian dimurnikan. Jadi, menurut anggapan ini, Gereja Katolik yang sekarang adalah Gereja yang tidak murni. Mari kita menelusuri keberatan dari argumen ini. Pertama, apakah mungkin bahwa Tuhan yang telah berjanji untuk melindungi Gereja-Nya (Mat 16:18) kemudian melupakan Gereja-Nya selama kurang lebih 15 abad? Kalau jawabannya mungkin, mari kita telusuri lebih jauh. Anggaplah hal tersebut benar, bahwa Gereja tidak murni lagi dan diperbaharui pada zaman reformasi. Seharusnya setelah diperbaharui, maka Gereja Tuhan akan bersatu. Namun apa yang terjadi? Sejarah membuktikan bahwa setelah zaman reformasi (atau lebih tepatnya revolusi) maka gereja justru semakin terpecah-belah, sehingga ada sekitar 28,000 denominasi sampai sekarang. Dengan demikian keberatan ini tidaklah mendasar.

Keberatan yang lain ialah anggapan yang mengatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang tidak murni dan banyak korupsi di dalam Gereja. Memang, percobaan yang dialami oleh Gereja Katolik sudah begitu banyak. Sejak abad awal sudah ada begitu banyak tantangan, percobaan, dan juga serangan dari ajaran-ajaran sesat. Selanjutnya, banyak orang yang memisahkan diri dari Gereja Katolik, seperti yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, terdapat pula percobaan yang terjadi di dalam tubuh Gereja Katolik sendiri, baik karena korupsi maupun penyalahgunaan kekuasaan di dalam Gereja, dan lain-lain. Gereja Katolik mengakui bahwa hal- hal ini terjadi karena adanya unsur manusia yang tidak sempurna[10]. Namun demikian, kenyataannya, Gereja Katolik tetap bertahan walaupun diterpa berbagai permasalahan Gereja, baik dari luar maupun dari dalam. Ini membuktikan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang Yesus janjikan. Jika Gereja Katolik hanya buatan manusia, maka Gereja Katolik sudah runtuh dan lenyap tak berbekas.

Gereja Katolik adalah Gereja yang didirikan oleh Kristus
Sejarah mencatat bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang tetap mempunyai empat tanda, yaitu “satu, kudus, katolik, dan apostolik.” Gereja Katolik sampai sekarang mempunyai kesatuan pengajaran yang kalau ditelusuri berasal dari Yesus dan ajaran para murid dan bapa Gereja. Ajaran Gereja Katolik selalu mengambil sumber dari pengajaran Yesus dan para rasul, sebagaimana yang dilestarikan oleh para penerus mereka. Perumusan suatu ajaran yang diadakan di abad- abad kemudian bukan merupakan perubahan ataupun tambahan yang sama sekali baru terhadap suatu ajaran, namun merupakan penjelasan yang semakin menyempurnakan ajaran tersebut. Hal perkembangan ini dikenal dengan istilah “pertumbuhan organik” suatu ajaran.[11] Konsistensi ajaran Gereja dapat dibuktikan dari segi waktu maupun tempat. Gereja Katolik di semua negara dan juga di masa apapun juga mengajarkan hal yang sama.

Bagaimana dengan orang yang tidak mengenal Kristus atau umat yang sudah menjadi anggota gereja lain?
Setelah kita mengetahui bahwa Gereja Katolik adalah Gereja Kristus, bagaimana dengan saudara kita yang tidak mengenal Yesus? Gereja Katolik mengajarkan bahwa orang-orang yang, karena bukan kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus,[12] dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan melaksanakan hukum kasih[13], di mana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.[14] Namun keselamatan mereka tetap diperoleh dari Yesus Kristus.[15]

Bagaimana juga dengan saudara kita yang menjadi anggota gereja lain? Dokumen Konsili Vatikan II menjelaskan, bahwa ada unsur-unsur kekudusan dan kebenaran di dalam gereja yang lain, seperti misalnya memegang nilai-nilai suci yang terdapat di Alkitab, hidup di dalam kasih, dll. Bahkan Gereja Katolik mengakui pembaptisan mereka.[16] Jadi mereka mempunyai kesatuan dengan Gereja Katolik dalam hal baptisan. Konsili menegaskan bahwa “andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.” (Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium 14)

Bagaimana dengan umat Gereja Katolik?
Akhirnya, bagaimana dengan umat Katolik sendiri? Apakah mereka semua dapat diselamatkan? Konsili Vatikan II menegaskan akan pentingnya kita untuk terus berjuang hidup kudus, yaitu dengan mengasihi Tuhan dan sesama[1]. Orang Katolik yang tidak mempraktekkan kasih, hanyalah menjadi anggota Gereja secara jasmani, namun bukan secara rohani, dan orang yang sedemikian tidak dapat diselamatkan.[17] Hal ini disebabkan karena mereka sudah mengetahui hal yang benar, namun mereka tidak melakukannya (Lih. Luk 12:47-48).

Mungkin ada dari kalangan non- Katolik yang mengatakan bahwa percuma saja menjadi Katolik kalau kehidupannya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Yesus. Pernyataan ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua yang menjadi anggota Gereja Katolik – yang seharusnya telah mengetahui bahwa kepenuhan kebenaran ada pada Gereja ini – untuk senantiasa berjuang setiap hari untuk melaksanakan kasih dan hidup kudus. Hidup kudus merupakan cara untuk ” menjadi saksi Kristus dan membangun Gereja” yang paling efektif, seperti yang telah dilakukan oleh para orang kudus. Kita tidak bisa mengasihi Yesus, kalau kita tidak mengasihi Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dan Gereja-Nya berada di dalam Gereja Katolik. Mari kita renungkan, sudahkah kita semua mengasihi Yesus?


[1]Untuk dapat percaya kepada Yesus sebagai Tuhan diperlukan berkat dari Tuhan yang menggerakkan hati kita. St. Paulus berkata bahwa bahwa tidak ada seorangpun dapat mengaku bahwa Yesus Tuhan kecuali oleh kuasa Roh Kudus (1Kor 12:3). Dalam teologi, ini dikenal dengan “actual grace” atau rahmat pembantu (Lih KGK 2000, 2024). Actual grace ini membawa orang kepada pertobatan untuk akhirnya menerima pembaptisan.
[2] Rasul Yohanes mengatakan “..dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh 8:32). Menempatkan kebenaran di atas segalanya termasuk diri sendiri akan membawa manusia kepada kebenaran sejati, yaitu Tuhan sendiri. Pada saat manusia menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada kebenaran, maka manusia menempatkan diri sendiri lebih tinggi daripada Tuhan.
[3] (Lih. Yoh 14:6) “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
[4] Pius XII, Encyclical Letter: Mystical Body of Christ and Our Union With Christ (Pauline Books & Media), para. 60-62.
[5] Menganggap gereja hanya sebagai komunitas, secara tidak langsung mengurangi bahkan menghilangkan dimensi Ilahi dari Gereja. Padahal, Gereja mempunyai dua dimensi: manusia – Ilahi, cara – tujuan (means – end), sebuah konstitusi – hubungan secara pribadi dengan Tuhan.
[6] Cardinal Joseph Ratzinger, “The Ecclesiology of Vatican II,” http://www.ewtn.com/library/curia/cdfeccv2.htm: Ch. 2. – Cardinal Ratzinger mengatakan bahwa sama seperti iman dan sakramen, manusia tidak bisa membuat Gereja, namun menerimanya dari Kristus. Kalau iman, gereja, dan sakramen adalah tanda kasih Allah, maka kasih tersebut hanya bisa diterima. Manusia tidak bisa membuatnya, namun manusia dapat turut berpartisipasi dalam kasih Allah.
[7] Gereja Tuhan adalah satu, yang terdiri dari Gereja yang mengembara di dunia ini, Gereja yang jaya di surga, dan gereja yang menderita atau dimurnikan di Api penyucian.
[8] Lihat Lumen Gentium 8, “Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik[12]. Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakan Gereja kepada Petrus dan para rasul lainnya, untuk diperluas dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[13], walaupun diluar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.”
[9] (Lih Mat 16:16-19). Yesus berkata ” Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” Catatan: Di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia, dikatakan “jemaat-Ku”. Namun dalam bahasa aslinya adalah “ekklesia” yang berarti “gereja”. Yesus mengatakan bahwa Dia akan mendirikan Gereja-Ku. Ini sebabnya bahwa manusia tidak dapat mendirikan gereja, karena Yesus sendiri yang mendirikan Gereja-Nya, dan Yesus berkata Gereja bukan gereja-gereja. Jadi Gereja ini hanya ada “satu”.
[10] Pius XII, Encyclical Letter of Pius XII On The Mystical Body of Christ: Mystici Corporis (Boston: Pauline Books & Media), 66. Paus Pius XII menegaskan bahwa dosa dari anggota Gereja tidak bisa ditujukan kepada Gereja itu sendiri, karena Gereja itu pada dasarnya kudus. Ketidaksempurnaan ini ditujukan kepada anggota Gereja yang memang semuanya mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa (concupiscence). kecenderungan untuk berbuat dosa adalah sebagai akibat dari dosa dari manusia pertama.
[11] Cardinal Newman, dalam bukunya “An Essay of the Development of Christian Doctrines“, meneliti bahwa Gereja yang mempunyai pengajaran yang benar adalah Gereja yang mempunyai perkembangan ajaran yang dapat ditelusuri sampai kepada zaman awal kekristenan, yang bersumber pada Yesus sendiri. Ini berarti harus ada konsistensi dalam hal pengajaran, sama seperti perkembangan pohon kecil ke pohon yang besar. Yang dimaksudkan dari kecil ke besar adalah ajaran yang sama, namun perkembangannya hanya untuk karena ia menempatkan kebenaran di atas segalanya, ia berpindah dari gereja Anglikan ke Gereja Katolik.
[12] Sebagai contoh orang yang tinggal di pedalaman Kalimantan, Irian Jaya, atau pedalaman di China, dll. Ada sebagian dari mereka yang tidak pernah mendengar tentang Kristus. Dan hal ini bukan akibat kesalahan mereka. Tentu saja, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka pasti masuk neraka.
[13] (Lih Roma 2:14-16). St. Paulus mengatakan hukum Tuhan sudah ditulis di setiap hati nurani manusia. Karena manusia diciptakan menurut gambaran Allah dan juga diciptakan untuk mencapai tujuan akhir – yaitu persatuan dengan Allah – maka Tuhan memberikan hukum yang tertulis di dalam setiap hati nurani manusia.
[14] Vatican II, Dogmatic Constitution on the Church: Lumen Gentium (Pauline Books & Media, 1965), 16. ” ….. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan.”
[15] Seluruh keselamatan umat manusia datang dari misteri Paska Yesus (wafat, kebangkitan, dan kenaikan Tuhan Yesus).
[16] (Lih Ef 4:5) – St. Paulus menegaskan akan kesatuan umat beriman dalam “satu Tuhan, satu iman, dan satu baptisan “. Pengakuan baptisan yang diakui adalah baptisan dengan formula Trinitas.
[17] Vatican II, Dogmatic Constitution on the Church: Lumen Gentium, 14.

diambil dari katolisitas.org

PERAN IMAM DI KEUSKUPAN PANGKALPINANG


Berkenaan dengan perayaan Kamis Putih, hari di saat Yesus mendirikan Sakramen Ekaristi, semua imam berkumpul bersama uskupnya untuk mengenang peristiwa penting itu, di mana sekaligus Yesus mengadakan Sakramen Ekaristi dan Imamat demi kelangsungan Sakramen Ekaristi yang baru saja diciptakan-Nya. Kedua sakramen ini sangat erat berhubungan dan merupakan satu paket penting bagi para imam. Sukar sekali memisahkan kedua sakramen ini. Tak mungkin ada ekaristi tanpa imamat, dan tak mungkin juga imamat itu berkembang dan hidup tanpa ekaristi.
Untuk mengenang peristiwa 2000 tahun lalu, rekoleksi ini diadakan. Rekoleksi ini bertujuan untuk memperbaharui dedikasi atau penyerahan diri para imam kepada Yesus Kristus dan komitmen serta kesetiaan para imam kepada umat dan karya pastoral yang diserahkan oleh Imam Agung Ilahi dan Utama, sumber imamat para imam.

Perayaan Misa Krisma adalah Bagian dari On Going Reformation
                Kita sudah sering berbicara soal on going formation bagi para imam. On going formation ini bisa dibuat secara pribadi atas inisiatif sendiri, misalnya dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan imamat dan karya pastoral. Istilah lainnya adalah outodidak. Bisa juga kegiatan ini dilaksanakan secara kolektif, baik atas inisiatif sendiri maupun dari dorongan keuskupan, misalnya rekoleksi, retret dan kursus.
                Dalam pertemuan para uskup se-Asia yang diorganisir Office of Education and Student Chaplaincy dari FABC, dikatakan bahwa salah satu bentuk atau cara untuk on going formation adalah Misa Krisma. Kiranya ada benarnya juga pernyataan ini. Karena itulah pada kesempatan ini saya menghubungkan pertemuan ini dengan on going formation.
                Tahbisan imamat bukanlah akhir dari usaha yang berkepanjangan melainkan merupakan satu awal dari pembentukan yang terus menerus dilaksanakan. Saat lengah dan berhenti membentuk diri sendiri, maka itu merupakan awal dari suatu kemunduran yang bisa berakibat fatal. Imamat membutuhkan suatu on going formation yang berarti juga pembaharuan yang terus menerus (on going reformation). On going reformation ini harus dilaksanakan karena dunia berkembang terus dan butuh selalu kemampuan membaca tanda-tanda zaman. Tidak bisa membaca tanda-tanda zaman berarti ketinggalan zaman dan apa yang diwartakan pasti sudah out of date. Terhadap tanda-tanda zaman ini kita haruslah menyesuaikan diri, meski tidak jarang kita harus berkorban.

Tantangan Situasi dan Kondisi Saat Ini
                Untuk dapat menentukan peran apa yang bisa dimainkan di Keuskupan Pangkalpinang, kiranya perlu diperhatikan tantangan dari situasi dan kondisi lapangan yang harus dihadapi. Ada bebarapa tantangan yang senantiasa akan digeluti para imam di Keuskupan Pangkalpinang. Tantangan itu adalah sebagai berikut.
1.                         Pembangunan di bidang ekonomi. Indonesia pada umumnya masih berada dalam kondisi ekonomi yang sangat jelek. Tetapi nyatanya di Keuskupan Pangkalpinang terjadi pembangunan terus menerus. Namun sayangnya kemajuan ini tidak dinikmati secara merata. Masih banyak sekali orang miskin. Kota semakin maju dengan mall, supermarket, dsb, sedangkan desa semakin ketinggalan dan semakin sedikit menikmati hasil dari pembangunan. Akibatnya berbondong-bondong warga desa berangkat mengadu nasib di kota-kota untuk mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya. Kemelaratan berpindah dari desa ke kota. Di kota akhirnya terdapat banyak tempat kumuh yang membutuhkan perhatian kita semua. Lalu bagaimana sikap terhadap mereka ini? preferential option for the poor, harus diperhatikan dengan sungguh.
2.                             Perubahan nilai. Perubahan nilai terjadi karena beberapa pengaruh atau perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Tanpa disadari telah terjadi pergeseran nilai. Nilai-nilai agama dan kemanusiaan sekarang menjadi tidak berarti lagi. Pembangunan telah menciptakan peralihan yang cepat sekali dari masyarakat pertanian kepada masyarakat industri. Sejalan dengan ini terjadi juga pergeseran nilai dari yang bersifat sosial kepada yang bersifat individualistis, konsumtivistis, kurang rela melayani dan berkorban, tidak memikirkan orang lain. Gejala seperti ini sangat kentara di kota-kota besar seperti Batam, Pangkalpinang, Tanjungpinang, dsb.
             Di samping itu perkembangan teknologi yang pesat telah memungkinkan masuknya informasi dari negara-negara maju, baik informasi positif maupun negatif. Kecanggihan alat-alat komunikasi sudah tak memungkinkan orang tua untuk mengontrol gelombang informasi yang makin terjangkau oleh anak-anak mereka. Gejala-gejala jelek ini secara tidak disadari telah masuk ke dalam kehidupan keluarga Katolik. Informasi-informasi yang bersifat negatif sangat mempengaruhi skala nilai yang dihayati. Penyalahgunaan posisi “mumpungisme” dan  KKN sudah semakin sering terjadi dan membuat orang terpaksa menerima karena orang mau mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Banyak orang Katolik terseret ke dalam arus zaman ini. Dalam keadaan seperti ini, bagaimana para awam kita dapat melaksanakan tugas khusus mereka untuk merasuli dunia ini? Apakah mereka cukup terbantu untuk tetap bertahan melaksanakan tugas panggilan mereka? Ataukah mereka lebih sering merasa ditinggalkan untuk berjuang sendiri di tengah dunia dengan seperangkat nilai yang semakin membingungkan?
3.                        Perkembangan kelompok agama yang fundamentalistik. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, jumlah kelompok fundamentalis semakin bertambah di keuskupan ini. Gejala ini adalah reaksi alamiah terhadap perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan budaya yang terjadi sangat cepat. Pada saat terjadi kekaburan nilai-nilai ini, banyak orang khususnya kaum muda, cenderung berpaling kepada aliran yang menawarkan pegangan yang kokoh dan pasti. Di samping gejala umum ini, ada dua hal yang menjadi tantangan bagi Gereja Katolik Pangkalpinang, pertama kebangkitan Islam. Hal ini terlihat dari gencarnya promosi Islam dari bidang kecendekiawanan, ekonomi, pendidikan, bidang dakwa dan penyebaran buku-buku yang bernafaskan Islam. Konsekuensi logisnya adalah munculnya rasa bangga akan Islam dan sikap militansi menjadi tinggi. Mereka berani berdiskusi dan menyerang langsung agama lain, baik secara frontal maupun lewat internet. Dalam hal ini ada dua cara yang bisa kita pilih, yaitu menghindar atau bersikap terbuka. Menurut saya, sikap yang baik adalah terbuka dan merangkul mereka supaya tidak terjadi kecurigaan satu sama lain.
           Kedua, sekte-sekte Protestan. Mereka sangat fanatik dan militansinya tinggi sekali. Para penginjil mereka berjalan ke mana-mana untuk menobatkan orang. Mereka tidak takut dengan siapapun dan berani bersikap frontal. Yang mereka wartakan begitu meyakinkan, apalagi dengan dukungan teks-teks Kitab Suci yang dipelintir. Orang Katolik yang ingin mendapatkan pegangan yang pasti mulai berpegang kepada kelompok-kelompok ini. Mulanya hanyalah untuk mencari variasi tetapi kemudian menyeberang. Umat awam mulai gelisah dengan gejala ini, terutama mereka yang mengalami langsung bahwa anak, kakak, adik, dll sudah berpindah Gereja. Banyak yang ingin mencegahnya tetapi karena pengetahuan agama yang kurang serta penguasaan Kitab Suci yang sangat rendah, mereka tidak dapat menandingi sikap berapi-api dari mereka yang baru saya beralih keyakinan. Cukup banyak awam yang berpendapat bahwa kepedulian para imam mengenai hal ini tidak sebesar yang mereka harapkan. Ada imam yang berani berkata kepada umat, “Satu pindah, sepuluh masuk.” Dan kata-kata ini sangat menghilangkan semangat mereka untuk mempertahankan iman mereka yang sejati.
4.                      Kondisi geografis dan demografis. Keuskupan Pangkalpinang terdiri dari banyak pulau dan penduduknya terdiri dari banyak kelompok etnis. Tugas para imam adalah mewartakan kabar gembira Yesus kepada semua mereka. Bagaimana bisa mewartakan kabar gembira kepada semua orang, padahal jumlah imamnya masih terbilang kurang. Untuk tugas ini, para awam pun mendapat perintah yang sama seperti para imam. Memang dalam kondisi begini, para awam kiranya dapat melaksanakan tugas ini. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah awam sudah siap untuk tugas pewartaan ini? Lalu awam macam mana yang dibutuhkan umat sekarang? Rasanya yang dibutuhkan sekarang adalah awam yang sungguh mengetahui imannya (kognitif), yang semakin yakin akan imannya (afektif) dan semakin dapat menerapkan imannya (konatif) ke dalam bahasa bidang profesinya. Untuk dapat memampukan para awam ini, perlu terus menerus mereka didampingi dalam merefleksikan dan mengembangkan iman sesuai dengan tuntutan lingkungan hidup mereka masing-masing, yaitu supaya mereka tahu yang mereka imani, agar yakin akan apa yang mereka imani dan agar mereka mampu menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Ciri Khas Seorang Imam Keuskupan Pangkalpinang
                Bila dikaitkan dengan 4 hal di atas, dapatlah dilihat bahwa ada 5 karakteristik yang diperlukan oleh seorang imam di Keuskupan Pangkalpinang.
1.                         Peka terhadap perubahan. Ciri pertama adalah kepekaan terhadap perubahan-perubahan dan masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungan Gereja dan masyarakat serta mau terlibat di dalamnya. Kepekaan ini perlu demi diri sendiri dan demi umat yang harus dilayani. Dengan adanya kepekaan ini setiap imam dapat mengikuti setiap perubahan yang terjadi sebagai dampak dari pembangunan. Karena memiliki bahan yang up to date mengenai situasi konkret, seorang dapat membawakan warta Injil yang menyentuh kehidupan sehari-hari. Lalu bagi imam sendiri, apa yang dipelajari secara teoritis dahulu, sekarang akan menjadi praktis dan hidup. Imam dapat berteologi praktis dan kontekstual. Sehubungan dengan ini analisa sosial menjadi penting dan perlulah dipelajari.
2.                        Berani memberikan kesaksian hidup. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah berani memberikan kesaksian hidup melalui sikap menentang nilai-nilai negatif seperti individualisme, materialisme, konsumtivisme dan ketidakpedulian sosial yang semakin semarak di tanah air ini. Pada saat umat terombang-ambing oleh ketidakpastian oleh pergeseran nilai-nilai, keberadaan seorang gembala di antara umat adalah sesuatu yang menguatkan dan meneguhkan mereka untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif dan membangun. Dengan cara ini, Gereja dapat menjadi tanda keselamatan yang efektif. Dari pengamatan sepintas, karakteristik ini sudah mulai berkurang dihayati oleh para imam. Keluhan umat seperti, pastor tidak ada di tempat sehingga sulit ditemui, semakin sering menyerahkan tugas-tugas pastoral kepada awam, punya hobi mahal, bergaul bebas dengan muda-mudi, pilih-pilih kelompok yang dilayani, dll, menandakan bahwa nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyarakat sudah mulai merembes masuk ke dalam kehidupan harian kita. Kalau nilai-nilai negatif ini merasuki awam, efeknya ada tetapi tidak akan sekuat jika kena pada para imam. Dengan ini akibatnya umat akan semakin bingung dan tidak tahu ke mana harus berlindung dan berteduh.
3.                            Perhatian terhadap reksa rohani umat. Para imam harus sungguh memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa tanpa bersikap fanatik terhadap agama lain. Sebagai warga yang hidup dan berkembang di negara yang multi etnik dan multi agama ini, orang Indonesia dikatakan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada. Di samping itu ciri lain orang Indonesia adalah mementingkan hubungan antar pribadi yang baik. Cukup sering di lapangan orang sampai bisa mengorbankan yang prinsipil demi hubungan yang baik, terutama kalau orang lain itu dalam posisi sebagai pemegang kuasa. Padahal tugas para imam adalah mewartakan Kerajaan Allah dan nilai-nilainya kepada semua orang. Dalam kondisi seperti ini umat awam sangat membutuhkan pendampingan serta pemeliharaan rohani agar tidak terjebak dalam sikap toleran murahan yang mengorbankan prinsip iman.
4.                                Yakin akan panggilan awam. Melihat kondisi geografis dan demografis serta politik di negara ini, jelas bahwa untuk melaksanakan tugas perutusannya “menjadi sakramen keselamatan universal” secara optimal, Gereja harus menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ini hanya mungkin terlaksana jika para awam sadar dan siap untuk menjalankan tugas perutusan ini. Melihat kondisi awam sekarang bisalah dikatakan bahwa hanya sedikit saja awam yang sungguh siap. Sebagian besar umat masih berpikir bahwa menjadi orang Katolik yang baik cukuplah minimal saja dengan rajin ke Gereja, maksimal dengan sedikit aktif dalam paroki. Imam dipandang sebagai seorang yang tahu semua. Mereka belum sadar bahwa dirinya pun memiliki rasa tanggung jawab atas tugas perutusan yang diminta Kristus  sesuai dengan karisma masing-masing. Dengan ini jelas bahwa perlu sekali para imam membina awamnya untuk menjadi lebih militan. Tetapi yang penting dan untuk terjadinya perubahan adalah bahwa para imam harus yakin akan panggilan para awam.
5.                        Bersatu dengan Imamat Kristus. Kalau memperhatikan apa yang sudah diungkapkan di atas, maka hampir tak mungkin dalam hitungan manusiawi para imam dapat melaksanakan dengan sempurna. Karena itu penting sekali bahwa para imam selalu berusaha untuk bersatu dengan Kristus, Imam Agungnya. Inilah maksud utama rekoleksi ini: membaharui persatuan dengan Yesus Kristus.

Kata Akhir
                Demikianlah satu dua hal yang saya minta agar para imam memperhatikan bersama. Pasti apa yang dikemukakan ini belum lengkap karena saya melihatnya dari jauh. Karena itu sangat diharapkan bahwa para imam merefleksikannya lebih lanjut. Apa yang diberikan ini adalah bahan mentah yang mesti dimatangkan lagi. Tetapi ada hal yang mendasar, yang tak bisa dilupakan, yaitu bersatu dengan Kristus, sang Imam Agung. Yang lainnya merupakan tambahan, meski terbilang penting juga. Kalau yang dasar ini hilang, maka para imam tidak punya tempat berpijak lagi. Akibatnya adalah  j a t u h.

by: mgr. Hila Moa Nurak, SVD


[*] Disampaikan sebagai bahan rekoleksi imam, persiapan Misa Krisma, 19 Maret 2001