Selasa, 30 Juni 2015

Orang Kudus 30 Juni: St. Theobaldus

SANTO THEOBALDUS, PETAPA
Theobaldus lahir pada tahun 1017 di Provins, Perancis, dari sebuah keluarga bangsawan. Semasa mudanya ia banyak membaca buku-buku tentang kehidupan Santo Yohanes Pembaptis dan riwayat hidup orang-orang kudus lainnya. Bacaan-bacaan ini menimbulkan dalam hatinya benih panggilan Allah untuk menjalani hidup seperti orang-orang kudus itu. Ia sungguh mengagumi cara hidup dan perjuangan para kudus untuk meraih kesempurnaan hidup kristiani.
Terdorong hasrat besar untuk meniru cara hidup para kudus itu, ia meninggalkan rumah mereka pada tahun 1054 tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia pergi ke Luxemburg. Di sana ia bekerja sepanjang hari di hutan Patingen sebagai pembakar arang bagi tetangga-tetangganya yang bekerja sebagai tukang besi. Sementara itu ia terus menjalani hidup doa dan tapa secara diam-diam.
Ketika semua orang tahu akan kesucian hidup Theobaldus, banyak orang datang untuk menjadi muridnya. Ia lalu mengasingkan diri ke Salanigo untuk menjalani hidup tapa. Tetapi ia diikuti oleh orang-orang yang tertarik untuk mendapat bimbingannya. Ia kemudian ditahbisan menjadi imam agar lebih pantas menjalani tugas-tugas misioner.
Pada tanggal 30 Juni 1066 Theobaldus meninggal dunia karena terserang penyakit yang berbahaya. Ia digelari ‘kudus’ oleh Paus Aleksander II pada tahun 1073.
sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun
Baca juga riwayat orang kudus hari ini:

(Refleksi) Ketika Tak Ada Titik Temu

BAGAI MINYAK DAN AIR
Pada suatu kesempatan mengunjungi sebuah paroki, beberapa umat yang saya temui di lokasi dan waktu berbeda mengajukan satu pertanyaan yang sama, “Kapan pastor paroki kami pindah?” Di balik pertanyaan itu, terekam perasaan jenuh menghadapi pastor paroki yang sudah lama berkarya di paroki itu. Kejenuhan tersebut beralasan karena selama menjabat sebagai pastor paroki, sepertinya tidak ada greget hidup menggereja. Pastoral seperti air mengalir.
Menghadapi pertanyaan itu saya tidak mau masuk dalam konflik kepentingan atau konflik lainnya. Karena itu, dengan gaya diplomasi, saya menjawab, “Hanya Roh Kudus yang tahu.”
Tentu ada yang bingung dengan jawaban saya ini atau menganggap saya bercanda. Mungkin ada yang mengatakan bahwa pernyataan saya tersebut hanyalah sebuah kiasan, mengutip pernyataan Tuhan Yesus berkaitan dengan kedatangan Kerajaan Allah. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa jawaban di atas bukanlah kiasan. Memang hanya Roh Kudus yang tahu. Kenapa bisa begitu?
Soal perpindahan tenaga pastoral tentulah melibatkan dua pihak, yaitu pastor yang bersangkutan dan uskup. Perpindahan dapat terjadi dan mudah diketahui jika ada komunikasi dialogal antara kedua pihak tersebut. Komunikasi dialogal memungkinkan terjadinya titik temu antara tenaga pastoral dan uskup, sebagai pimpinan. Jika tidak ada komunikasi dialogal, maka tidak akan ada titik temu. Ini ibarat minyak dan air atau rel kereta api. Dan kalau begini, ya hanya Roh Kudus yang tahu. Pastor bersangkutan tidak, uskup juga tidak.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ini bisa terjadi karena kedua belah pihak berkomunikasi dengan menggunakan pengandaian. Sang pastor mengandaikan uskup yang akan “memerintahkan” dirinya untuk pindah. Sebagai seorang imam, ia terikat akan janji setia kepada uskup. Jadi, selagi belum ada mandat dari uskup untuk pindah, ia akan tetap bertahan terus di paroki tersebut, tanpa peduli apakah umat sudah jenuh atau tidak; apakah reksa pastoral jalan atau tidak. Sementara di pihak lain, uskup mengandaikan imamnya datang meminta untuk dipindahkan. Selagi tidak ada permintaan pindah dan atau selagi imamnya tidak bermasalah, maka uskup tidak akan memindahkannya; tak peduli apakah umat sudah jenuh atau tidak; apakah reksa pastoral jalan atau tidak.
Hal ini tidak akan terjadi jika ada suatu sistem rotasi, seperti setiap lima tahun diadakan perpindahan. Atau kedua pihak tidak saling mengandaikan dalam berkomunikasi. Imam harus tahu diri kalau kelamaan di suatu tempat memiliki banyak efek negatif; uskup harus bijaksana agar mau juga mendengarkan suara umatnya. Perlu disadari bahwa dalam berpastoral, umatlah yang menjadi prioritas. Umat adalah kawanan domba yang digembalakan. Karena itu, sangat aneh jika uskup hanya berfokus pada imamnya tanpa peduli akan umatnya.
Bandung, 23 April 2015

Renungan Hari Selasa Biasa XIII - Thn I

Renungan Hari Selasa Biasa XIII, Thn B/I
Bac I  Kej 19: 15 – 29; Injil                 Mat 8: 23 – 27;

Bacaan pertama hari ini, yang diambil dari Kitab Kejadian, menampilkan kisah isteri Lot yang menjadi tiang garam. Cerita ini merupakan kisah yang cukup populer bagi anak-anak sekolah minggu. Diceritakan bahwa Allah memanggil Lot beserta keluarganya untuk keluar dari kotanya yang sudah rusak moralnya. Allah ingin membinasakan kota itu beserta penduduknya, kecuali keluarga Lot. Allah sendiri menuntun mereka. Keselamatan akan terjadi jika mereka percaya kepada Allah. Tindakan isteri Lot yang menoleh ke belakang selain mengungkapkan ketidakpercayaan, juga menunjukkan keterikatan pada dosa.
Dalam Injil hari ini juga dikisahkan tentang kepercayaan. Para murid mengalami tantangan dan cobaan hidup dalam badai gelombang danau. Mereka merasa ketakutan, padahal Tuhan Yesus ada beserta mereka. Ketakutan itu memperlihatkan bahwa mereka tidak percaya. Sikap tidak percaya inilah yang dikecam Tuhan Yesus. Memang dalam kisah ini ketidak-percayaan mereka tidak mendatangkan petaka seperti isteri Lot, karena mereka adalah saksi Tuhan Yesus kemudian hari.
Dalam kehidupan, kita sering mengalami situasi badai. Situasi ini terkadang membuat kita takut. Terkadang ketakutan membuat orang kehilangan akan iman kepercayaan kepada Tuhan. Pada hari ini sabda Tuhan menghendaki kita untuk menaruh kepercayaan kepada-Nya. Di saat badai melanda hidup dan ketakutan menerjang, hendaklah kita tetap percaya kepada Tuhan. Dengan percaya kepada Tuhan maka kita tidak lagi menoleh ke tempat lain. Percaya kepada Tuhan berarti kita menyerahkan hidup kita kepada penyelenggaraan ilahi-Nya. Dengan percaya inilah kita akan mendapatkan keselamatan.***

by: adrian