Jumat, 23 Agustus 2019

DILEMA KASUS USTADZ ABDUL SOMAD


Hari Rabu lalu kami sudah menurunkan sebuah tulisan terkait masalah Ustadz Abdul Somad (UAS) lewat judul tulisan Siapa yang Dihina dalam Kasus Ustadz Abdul Somad. Sejak itu, persoalan UAS tidak berhenti. Malah semakin menjadi. Memang UAS sudah memberikan klarifikasi. Dengan klarifikasi itu, UAS merasa dirinya tak bersalah sehingga juga merasa tak perlu minta maaf. Setidaknya ada 3 poin penting dalam klarifikasi, yang seakan mendapat dukungan dari MUI, yaitu:
1.   Konteks ceramahnya saat itu sedang menjawab pertanyaan salah seorang pendengar;
2.   Ceramahnya diberikan kepada kalangan tertutup (artinya, tidak bersifat publik);
3.   Ceramahnya sudah terjadi 3 tahun lalu.
Sepertinya penjelasan UAS ini masuk akal MUI dan terasa menyejukkan, sehingga MUI pun berharap semoga klarifikasi tersebut dapat menyejukkan suasana. Menjadi persoalan, 3 poin yang disampaikan UAS itu sama sekali tidak menyentuh inti persoalan, yaitu penghinaan agama. Hal inilah yang dipersoalkan oleh mereka yang masih punya otak (akal budi). Bagi mereka, bukan persoalan dimana disampaikan ceramah itu, bukan pula kepada siapa ceramah itu disampaikan atau bukan juga soal cerahmah itu dalam konteks menjawab pertanyaan, tetapi PERSOALANNYA ADALAH APA YANG DISAMPAIKAN. Mungkin UAS dan juga MUI tidak sadar dan tidak tahu soal apa yang disampaikan.
Kita dapat mengajukan sebuah perbandingan untuk memahami logika piker argumen UAS, yang seolah diamini MUI. Di Bangka, salah satu durian paling enak adalah durian tai babi. Dapat dikatakan orang Bangka pencinta durian pasti tahu akan hal itu dan sepakat. Suatu hari ada orang luar Bangka melihat durian tai babi, lantas berkomentar bahwa durian itu tidak enak. Alasan argumennya adalah karena melihat duri durian itu, bentuknya dan juga warnanya. Jadi, enaknya durian bukan dilihat dari rasa setelah mencicipi, tapi dari tampilan luar. Tentulah, terhadap argumen ini orang Bangka akan bilang, “Dasar buduh!”
Demikian pula halnya dengan argumen UAS. Pernyataannya sama sekali tidak menyentuh inti persoalan, yaitu apa yang diucapkannya. Dia hanya berargumen di level permukaan, yaitu ceramah yang bersifat tertutup, menjawab pertanyaan pendengar dan terjadi 3 tahun lalu. Dari argumen permukaan ini, UAS lantas berpendapat tidak salah dan tidak ada penghinaan. Akan tetapi, terlepas dari persoalan itu, permasalahan ceramah keagamaan UAS ini justru membawa situasi dilematik, bukan saja bagi polisi tetapi juga bagi umat islam. Tentulah semua ini mengandainya orang paham dan sadar akan apa yang dihadapinya.

MENGKRITISI FATWA MUI TENTANG NIKAH BEDA AGAMA


Dalam Musyawarah Nasional VII, yang diadakan pada 26 – 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang perkawinan beda agama. Keputusan, yang dituangkan dalam fatwa no. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 (teks lengkapnya dapat dibaca di sini) itu, ditetapkan di Jakarta pada 28 Juli 2005. Dalam keputusan itu ditetapkan 2 keputusan, yaitu:
1.    Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2.    Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ada 3 poin penting yang diambil MUI sebelum sampai pada keputusan fatwa.Yang pertama adalah pertimbangan (menimbang). Sekalipun pada poin ini ada 4 faktor yang ditampilkan, namun keempat faktor tersebut sebenarnya dapat disederhanakan menjadi 2 saja, yaitu fakta adanya perkawinan beda agama, yang muncul karena situasi plural dan juga hak asasi manusia namun kemunculannya membuat perdebatan dan keresahan; serta dibutuhkan pedoman untuk menyikapi hal ini.
Ada 2 hal yang perlu dikritisi di sini, yaitu soal efek keresahan (poin b dalam teks fatwa) dan soal dalih HAM (poin c dalam teks fatwa). MUI mengatakan bahwa perkawinan beda agama “sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat.” Dapatkah MUI memberi bukti sejauh mana keresahan yang timbul? Adakah data-datanya? Bagaimana prosentasenya? Masyarakat mana saja dan dimana saja yang resah? Hal ini harus dibuktikan agar pernyataan MUI tersebut bukan lahir dari asumsi atau praduga saja. Sangatlah ironis jika keputusan, yang ditandatangani oleh 2 profesor, lahir bukan dari data fakta, melainkan asumsi. Selain itu, perlu dikritisi juga, siapa atau apa yang sebenarnya membuat resah masyarakat. Apakah perkawinan beda agama-nya atau malah ajaran agama-lah yang justru membuat masyarakat resah.