Pada
dasarnya, keluarga berencana adalah keluarga yang mempunyai rencana dalam
segala sendi kehidupannya. Artinya, untuk urusan-urusan keluarga harus
direncanakan, bahkan urusan yang bersifat mendadak pun harus sudah
direncanakan. Hal ini sejalan dengan nasehat Tuhan Yesus, “Berjaga-jagalah
senantiasa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan
terjadi...” (Luk 21: 36).
Akan
tetapi, dalam tulisan ini keluarga berencana itu lebih difokuskan pada perencanaan
kelahiran dan jumlah anak. Alasannya adalah adanya kecemasan bahkan ketakutan
akan tantangan hidup yang semakin berat dan kesejahteraan keluarga yang
terancam suram karena banyaknya jumlah penduduk yang tak sebanding dengan
pertambahan luas tanah; pertambahan jumlah penduduk tak sebanding dengan
tersedianya lapangan kerja sehingga pengangguran semakin menumpuk.
Melihat
fenomena tersebut, maka diputuskanlah untuk mengadakan pembatasan kelahiran,
yang dikenal sebagai Keluarga Berencana (KB). Sekitar tahun 1970 pemerintah
Republik Indonesia menjadikan KB sebagai program nasional. KB di sini dipahami
sebagai pembatasan kelahiran dengan cara memakai alat-alat kontrasepsi,
seperti:
1. Pil/injeksi:
untuk menghentikan keaktifan indung telur
2. Obat-obatan:
jelly, cream, pasta untuk membunuh sperma
3. Alat-alat:
kondom, diafragma, IUD untuk menghalangi pertemuan sel telur dan sperma
4. Susuk:
untuk mengubah atau mengacaukan hormon wanita
5. Pemandulan:
vasektomi pada pria, tubektomi pada wanita
Gereja
Katolik menolak penerapan KB dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi. Ada beberapa
alasan kenapa Gereja menentang KB ini: