Banyak orang beragama, ketika ditanya
apakah dirinya beriman, dengan tegas menjawab bahwa dirinya beriman. Sekalipun ada
nuansa antara beragama dan beriman, selalu saja orang begitu yakin bahwa
dirinya benar-benar mempunyai iman. Akan tetapi, jika ditelusuri dengan cermat
terlihat jelas kalau konsep beriman itu masih didominasi dengan selera pribadi.
Beriman di sini lebih pada sesuai dengan kriteria dan standar orang yang
beriman, bukan menurut kehendak yang diimani.
Iman merupakan tanggapan pribadi atas
sapaan Allah. Dengan beriman kita menyerahkan hidup kita seluruhnya ke dalam
penyelenggaraan Allah. Sebagai umat-Nya kita diminta untuk taat dan berserah
pada kehendak Allah, sekalipun kehendak-Nya itu bertentangan dengan keinginan
diri. Ada banyak orang beriman kepada Allah ketika keinginannya terpenuhi.
Sikap iman seperti ini seperti iman bersyarat; kita beriman dengan syarat
keinginan kita terpenuhi.
Iman kepada Allah itu harus tanpa syarat.
Inti iman ada pada kehendak Allah pada hidup kita, bukan pada kehendak pribadi
kita. Karena itu, salah satu sikap iman adalah berserah diri. Hal ini terlihat
dalam ungkapan iman Bunda Maria, “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”
Ada contoh menarik untuk menggambarkan
sikap iman tanpa syarat ini. Sikap iman itu dapat kita lihat pada kisah Tiga Pemuda:
Sadrakh, Mesakh, Abednego. Mereka beriman kepada Allahnya. Ketika mereka
menolak titah raja untuk menyangkal iman mereka dengan cara menyembah dewanya
sang raja, mereka menghadapi ancaman hukuman mati. Akan tetapi, mereka tidak
takut dan meninggalkan imannya.
Banyak orang, demi alasan keamanan, melakukan titah sang raja. Dengan kata lain, mereka meninggalkan imannya. Mereka takut, karena jika mereka tetap beriman pada Alllahnya, mereka akan mati. Mereka tahu pasti bahwa Allah tidak dapat menolong atau menyelamatkan mereka dari hukuman mati. Hanya mengikuti perintah raja saja yang bisa meluputkan mereka dari kematian. Hal ini berarti dewanya sang raja yang menyelamatkan.