KICAU BURUNG ITU HILANG
Dari atas gundukan,
sisa-sisa penggusuran, Doni memandangi komplek perumahan. Doni membayang kenangan masa silam. Masa lalunya telah terkubur di
bawah rumah-rumah para simpanan. Setidaknya itulah kata bang Samir, satpam jaga
perumahan itu.
“Iya, masak banyak ibu muda. Bapaknya jarang nampak. Paling
seminggu sekali.”
“Kerja di luar kota?”
“Memang. Plat mobilnya pun
bukan dari daerah kita. Bule juga ada. Yang plat sini datangnya tiga kali
seminggu. Biasanya sore. Itu pun cuma beberapa jam, lalu pergi lagi.”
“Emangnya cuma ibu-ibu saja
yang tinggal di sana?”
“Persisnya gadis, bukan
ibu-ibu. Ada juga cowoknya. Ngakunya sih mahasiswa.”
Doni tetap menatap. Kenapa
dalam perjuangan yang kecil selalu kalah, batinnya. Ia teringat perjuangan
warga kampungnya mempertahankan tanah yang telah dihuni puluhan tahun hingga
tiga generasi. Ibu-ibu nekat tidur-tiduran di tanah melawan buldoser.
Bapak-bapak sampai berkelahi dengan aparat. Ada yang ditangkap. Ada yang
diculik. Salah satunya kakek Doni yang hingga kini tak pernah muncul lagi.
Itulah alasannya kenapa keluarga mereka tetap berada di pinggiran perumahan
itu. Untuk menunggu kakek pulang.
Kenapa pembangunan selalu
mengorbankan rakyat kecil?
Sengat mentari mulai
berkurang panasnya. Di belahan barat semburat sang surya muncul dari balik
awan. Doni masih tetap di tempatnya dan memandangi kompleks perumahan itu. Dia
teringat desanya dan masa kecilnya. Desa itu
banyak ditumbuhi pohon angsana dan ceri sehingga
membuat suasana menjadi teduh. Anak anak sering bermain di bawah pohon-pohon
itu.
Doni teringat saat pohon ceri itu berbuah. Banyak sekali
burung datang memakan buahnya. Suasana desa terasa ramai dengan kicauan
burung-burung itu. Mereka dapat dengan bebas memakan buah ceri tanpa ada yang mengganggu.
Anak-anak tak ada yang membuat ketapel. Para orang tua selalu melarang.
“Jangan kalian tembaki
burung-burung itu,” nasehat orang-orang tua. “Biarkan mereka hidup.”
Terpaksa Doni dan
teman-temannya bersaing dengan burung-burung itu untuk mendapatkan buah ceri. Mereka akan naik ke atas
pohon, duduk di sebuah dahan sambil mengunyah buah ceri. Sebagian akan diisi di
kantong baju atau celana untuk dibawa pulang. Sementara burung-burung itu tetap
saja terbang dari ranting yang satu ke ranting yang lain tanpa merasa takut
dengan kehadiran mereka.
Semua itu terasa indah dalam
ingatan Doni. Namun kini semuanya telah lenyap. Tidak ada lagi teman-teman
bermain, karena mereka semua telah pergi. Tidak ada lagi buah ceri. Kicau burung pun terdengar
tak semerdu dulu lagi. Bagi Doni tak ada lagi kicau burung. Semuanya hilang.
Doni masih di tempatnya dan
tetap memandangi kompleks perumahan itu.