Ada
orang merasa aneh melihat sesamanya yang sudah berusia 30 tahun bahkan lebih
belum juga menikah; atau melihat pastor dan suster tidak menikah. Tak jarang
orang-orang seperti ini disematkan label negatif seperti ‘orang tak laku’ atau
‘perawan tua’ bahkan dicurigai sebagai kaum homoseks. Di balik pemikiran ini
terbersit bahwa menikah itu sebuah kewajiban; bahwa setiap orang harus menikah.
Hal ini sering membuat banyak orang gelisah, ketika menginjak usia 30-an belum
juga menemukan jodoh. Apakah Gereja Katolik mengajarkan demikian?
Tidak.
Dalam Ketekismus Gereja Katolik (KGK) ditegaskan bahwa tidak semua orang
dipanggil untuk menikah. Memang kepenuhan hidup terdapat dalam hidup menikah,
namun orang-orang yang hidup selibat pun dapat mencapai kepenuhan hidup. Yesus
Kristus menunjukkan cara khusus kepada para murid-Nya; Ia mengajak mereka untuk
tidak menikah “demi Kerajaan Sorga” (Mat 19: 12).
Banyak
orang yang hidup selibat menderita kesepian. Hal itu mereka anggap sebagai
kekurangan dan kerugian. Namun orang yang tidak harus mengurus pasangan atau
keluarga juga menikmati kebebasan serta memiliki waktu untuk melakukan hal-hal
yang berarti dan penting yang tidak pernah bisa dinikmati oleh mereka yang
menikah. Mungkin itu kehendak Allah, bahwa Ia harus mengurus orang yang tidak
ada orang lain mengurusnya.
Tentu saja panggilan kristen tidak pernah merendahkan pernikahan atau seksualitas. Selibat yang dilakukan dengan sukarela dapat dilakukan hanya dalam cinta dan karena kasih, sebagai pertanda kuat bahwa Allah lebih penting daripada apa pun. Orang yang belum menikah menolak hubungan seksual, tetapi ia tidak menolak cinta. Dengan penuh kerinduan ia pergi untuk bertemu dengan Kristus, Sang Mempelai yang akan datang (Mat 25: 6).
diambil dari tulisan 6 tahun lalu