Minggu, 29 September 2013

Pesan di Balik Karikatur

Salah satu topik berita terhangat dalam dua minggu ini adalah keberadaan mobil murah. Di saat Pemprov DKI berjuang mengurai kemacetan di ibukota, pemerintah pusat malah menambah simpul keruwetan dengan menurunkan kebijakan mobil murah. Ada begitu banyak pro kontra mengenai hal itu.

Tulisan ini ditujukan kepada Pak Beye, yang adalah Presiden Indonesia. Pak Beye di sini bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai kepala negara. Dan karena beliau sebagai kepala negara, maka beliau juga adalah wakil pemerintah, khususnya pemerintah pusat, yang mengeluarkan kebijakan mobil murah. Kebijakan mobil murah adalah juga tanggung jawab Pak Beye. Dengan ini saya menghimbau supaya SBY meluangkan waktu untuk membaca Kompas, Minggu, 29 September 2013.

Mungkin selama ini Bapak Presiden hanya senang mendengar masukan-masukan dari para pembisiknya, yang umumnya berprinsip ABS (Asal Bapak Senang), sehingga tak ada kesempatan untuk membaca. Mungkin juga Bapak SBY sibuk mengurus konvensi partai atau masalah partainya, atau asyik menulis lagu baru sehingga tidak punya waktu untuk membaca. Karena itulah, saya menganjurkan Pak Beye untuk sedikit membaca.

Membaca adalah aktivitas manusia. Hanya manusia yang dapat membaca. Dengan membaca ia dapat mengerti sehingga darinya bisa lahir kebijakan atau keputusan. Semua ini mengandaikan adanya otak yang mengolah apa yang dibaca sehingga dimengerti, dan adanya hati (nurani) yang menggerakkan untuk beraksi.

Ada banyak media bacaan. Salah satunya adalah Kompas. Koran Kompas terkenal dengan spirit mottonya: AMANAT HATI NURANI RAKYAT. Ini mau menunjukkan bahwa Kompas selalu berusaha menangkap apa yang ada dalam hati nurani rakyat. Pemimpin yang pro rakyat adalah mereka yang selalu mendengarkan suara rakyat, harapan dan persoalan hidup rakyat.

Berkaitan dengan topik “Mobil Murah” Kompas menangkap suara hati rakyat dalam bentuk karikatur. Tolonglah Pak Beye mencermati karikatur itu, agar Bapak bisa menangkap apa yang ada di dalam hati rakyat Indonesia.

Di suatu tempat dagangan, terjadi tawar menawar antara Sukribo dan si mbok pedagang.

Sukribo         : Kalau sayur asem berapa, Bu?
Pedagang     : Terserah. Tapi paling dikit tiga ribu, ya.
Sukribo         : Kalau tahu bulat ini??
Pedagang     : satu 500.
Sukribo         : Getuk ini?
Pedagang     : Seribu.
Sukribo         : Lumpia?
Pedagang     : Seribu.
Sukribo         : Yang lebih murah apa ya?
Pedagang     : Kalau yang murah, mobil. Itu mas, ada disediakan pemerintah. Kalau makan nggak ada.

Hakikat sebuah karikatur ada lucu, namun menyentil. Demikian pula karikatur Sukribo di atas, yang diambil dari Kompas, 29 September, hlm. 30. Dan saya meminta Pak Beye untuk membaca karikatur ini.

Dalam karikatur ini terdapat kritik terhadap pemerintah dan sekaligus apa yang ada di dalam hati rakyat. Kompas sudah menangkapnya dengan baik. Bagaimana dengan Bapak Presiden???

Tentulah tak pantas saya mengajari Bapak Presiden untuk menjelaskan arti karikatur itu. Bapak adalah seorang Doktor. Tentulah bukan berarti Bapak tidak dapat mengerti makna tersembunyi karikatur ini. Saya yakin Bapak Presiden pasti paham. Ibu-ibu di pasar yang hanya lulusan SMP saja ngerti koq, masak Bapak Presiden tidak. Kan mustahil.

Hanya persoalannya adalah: sejauh mana pesan karikatur ini menggerakkan hati nurani Bapak. Tentulah pertama-tama hal ini harus mengandaikan Bapak memiliki hati nurani. Saya tidak tahu apakah Bapak Presiden mempunyai hati nurani atau tidak. Akan tetapi semua itu dapat dilihat dalam kebijakan-kebijakan yang Bapak lahirkan.

Pangkalpinang, 29 September
by: adrian

Orang Kudus 29 September: St. Sirakus

santo sirakus, pengaku iman
Sirakus lahir pada tahun 449. Pada umur 17 tahun ia memasuki kehidupan pertapaan di Betlehem. Namun kemudian ia tinggal di banyak biara di seputar Palestina dan di tepi Laut Mati. Rahib Yunani ini sangat lemah lembut, tak pernah marah dan senang menyanyikan Mazmur. Ia biasanya tidak makan sebelum matahari terbenam. Sirakus meninggal dunia di pertapaannya pada tahun 557.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Minggu Biasa XXVI-C

Renungan Hari Minggu Biasa XXVI
Bac I   : Am 6: 1a, 4  7; Bac II  : 1Tim 6: 11 – 16;
Injil     : Luk 16: 19  31
Sabda Tuhan hari ini mau berbicara soal berbuat kebaikan. Bacaan pertama dan Injil memiliki kesamaan pesan, yaitu agar kebaikan kita tidak hanya dinikmati sendiri, melainkan dirasakan orang lain juga. Dalam Injil hal ini ditegaskan dalam kisah “Orang kaya dan Lazarus yang miskin.” Diceritakan bahwa selama hidupnya, si kaya hanya memperhatikan dirinya sendiri dan tak peduli dengan orang lain. Dia menikmati dunianya sendiri tanpa peduli nasib Lazarus miskin. Dengan kata lain, orang kaya itu bersikap egois. Lewat kisah ini Tuhan menghendaki agar kebaikan pada kita dibagikan kepada sesama.
Apa yang disampaikan Yesus di atas sudah ditegaskan oleh Amos dalam bacaan pertama. Dalam kitabnya, Amos menyebut mereka yang egois, yang hanya peduli pada diri sendiri sebagai orang yang celaka. Orang-orang ini diibaratkan dengan orang yang merasa ama di Sion dan tenteram di gunung Samaria (ay. 1), sehingga tak peduli akan penderitaan sesama. Lewat nubuatnya ini Amos mengajak umat untuk peduli akan orang lain yang miskin, kecil, lemah dan terpinggirkan. Kebaikan yang ada pada umat hendaknya dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Dengan demikian, maka umat akan terhindar dari celaka.
Berbuat baik ditegaskan juga oleh Paulus dalam bacaan kedua. Dalam suratnya yang pertama kepada Timotius, Paulus secara sederhana meminta jemaat untuk menjauhi kejahatan dan mengejar kebaikan. Wujud kebaikan yang diserukan Paulus adalah keadilan, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan (ay. 11). Semua perbuatan baik ini terarah bukan saja kepada diri sendiri, melainkan juga kepada orang lain. Paulus mengajak kita untuk menghindari kejahatan atau semangat egois, serta berjuang dalam iman.
Hari ini Tuhan, melalui sabda-Nya, menyadarkan kita akan kehendak-Nya. Tuhan menghendaki supaya kita senantiasa berjuang dalam kebaikan, atau yang dalam istilah Paulus “merebut hidup yang kekal.” (ay. 12). Orientasi perbuatan baik kita adalah orang lain. Kebaikan pada kita merupakan hak orang lain. Karena itu, kita berkewajiban untuk membaginya, bukan hanya dinikmati sendiri tanpa peduli pada sesama. Perbuatan baik itu harus lahir dari kesadaran diri kita sendiri, bukan karena keterpaksaan ataupun aturan.***

by: adrian