Ada
yang menarik di dalam pusaran permasalahan yang dihadapi oleh Ustadz Abdul
Somad (UAS), yang sedang menghadapi tuntutan penghinaan agama atas ceramah
keagamaan yang diberikannya 3 tahun lalu di sebuah masjid di Pekanbaru. Yang
menarik di sana adalah kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai
otoritas islam di Indonesia. MUI tidak hanya terkesan membela UAS, tetapi
berusaha agar kasus yang menimpa UAS tidak sampai ke ranah hukum.
Beberapa
kali MUI meminta publik supaya tidak memperkarakan UAS. MUI menganggap bahwa
klarifikasi yang telah disampaikan UAS sudah cukup dan tidak perlu dilanjutkan.
Belum puas dengan upayanya itu, Rabu (28 Agustus 2019) MUI mengadakan pertemuan
dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja Indonesia
(PGI) di kantor PGI. Salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan itu
adalah agar kasus UAS tidak dilanjutkan ke ranah hukum.
Begitu
gigihnya perjuangan MUI ini untuk sosok UAS. Apakah UAS merupakan sosok yang sangat penting di MUI
sehingga harus dibela ‘mati-matian’? Siapa yang sebenarnya hendak dibela MUI:
UAS atau aqidah? Kami tidak mau menjawab pertanyaan pertama, namun kami
tertarik pada pertanyaan kedua. Pertanyaan kedua ini mengarahkan kita kepada
pertanyaan utama, kenapa MUI berusaha supaya kasus UAS tidak sampai ke ranah
hukum.
Namun
sebelum menjawab pertanyaan itu, kami hendak memutar memori kita pada kasus
penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama (BTP). Pada kasus ini BTP
menghadapi sendiri masalahnya, tanpa kehadiran PGI (BTP masuk anggota PGI).
Sama sekali tak terlihat di permukaan peran PGI dalam membela BTP atau meloby
ke MUI. Sementara itu MUI langsung tanggap dengan mengeluarkan fatwa penistaan
agama dan ulama, sehingga memunculkan aksi bela islam (aksi kawal fatwa MUI).
Dua situasi ini, kasus BTP dan UAS, sungguh bertolak belakang, sekalipun kita
sadar ada perbedaan di sana. Akan tetapi, inti persoalannya sama, yaitu
penistaan agama.