Selasa, 10 September 2019

INI ALASAN MUI AGAR KASUS USTADZ ABDUL SOMAD TIDAK SAMPAI KE RANAH HUKUM


Ada yang menarik di dalam pusaran permasalahan yang dihadapi oleh Ustadz Abdul Somad (UAS), yang sedang menghadapi tuntutan penghinaan agama atas ceramah keagamaan yang diberikannya 3 tahun lalu di sebuah masjid di Pekanbaru. Yang menarik di sana adalah kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai otoritas islam di Indonesia. MUI tidak hanya terkesan membela UAS, tetapi berusaha agar kasus yang menimpa UAS tidak sampai ke ranah hukum.
Beberapa kali MUI meminta publik supaya tidak memperkarakan UAS. MUI menganggap bahwa klarifikasi yang telah disampaikan UAS sudah cukup dan tidak perlu dilanjutkan. Belum puas dengan upayanya itu, Rabu (28 Agustus 2019) MUI mengadakan pertemuan dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) di kantor PGI. Salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan itu adalah agar kasus UAS tidak dilanjutkan ke ranah hukum.
Begitu gigihnya perjuangan MUI ini untuk sosok UAS. Apakah UAS merupakan sosok yang sangat penting di MUI sehingga harus dibela ‘mati-matian’? Siapa yang sebenarnya hendak dibela MUI: UAS atau aqidah? Kami tidak mau menjawab pertanyaan pertama, namun kami tertarik pada pertanyaan kedua. Pertanyaan kedua ini mengarahkan kita kepada pertanyaan utama, kenapa MUI berusaha supaya kasus UAS tidak sampai ke ranah hukum.
Namun sebelum menjawab pertanyaan itu, kami hendak memutar memori kita pada kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama (BTP). Pada kasus ini BTP menghadapi sendiri masalahnya, tanpa kehadiran PGI (BTP masuk anggota PGI). Sama sekali tak terlihat di permukaan peran PGI dalam membela BTP atau meloby ke MUI. Sementara itu MUI langsung tanggap dengan mengeluarkan fatwa penistaan agama dan ulama, sehingga memunculkan aksi bela islam (aksi kawal fatwa MUI). Dua situasi ini, kasus BTP dan UAS, sungguh bertolak belakang, sekalipun kita sadar ada perbedaan di sana. Akan tetapi, inti persoalannya sama, yaitu penistaan agama.

DOKUMEN ABU DHABI DAN KASUS USTADZ ABDUL SOMAD


Pada tanggal 4 Februari 2019 lalu, Paus Fransiskus, pimpinan Gereja Katolik se-dunia, bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, di Abu Dhabi. Pertemuan itu menghasilkan dokumen persaudaraan sejati demi hidup bersama yang damai. Nama dokumen, yang ditanda-tangani dua tokoh itu adalah Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama. Untuk singkatnya, dalam tulisan ini kami menggunakan nama Dokumen Abu Dhabi.
Isi dokumen itu tidak hanya ditujukan kepada umat islam dan katolik saja, tetapi kepada semua umat manusia lintas batas (agama, suku, bangsa, jabatan dan golongan). Sekalipun demikian, arah kepada umat islam dan katolik memang sangat kental, melihat 2 sosok yang menanda-tangani dokumen tersebut. Memang masih ada persoalan yang menganjal; jika Paus Fransiskus mewakili seluruh umat Katolik dimana saja, apakah Ahmed el-Tayeb mewakili seluruh umat islam.
Seperti yang sudah dikatakan, Dokumen Abu Dhabi bertujuan untuk menciptakan dunia yang damai dalam hidup bersama. Untuk dapat mewujudkan hal itu, lewat dokumen itu, Paus Fransiskus dan Ahmed el-Tayeb menyerukan kepada semua pihak agar bekerja keras untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Toleransi merupakan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ketika orang sampai pada sikap menghormati dan menghargai perbedaan (toleransi), maka perbedaan bukan menjadi biang konflik melainkan kekayaan.

ADA JIN KAFIR DI KANTOR MUI

Dalam ceramah keagamaan di salah satu masjid di Pekanbaru, yang membuat heboh, Ustadz Abdul Somad mengatakan bahwa malaikat tidak masuk ke dalam rumah jika di dalamnya ada simbol patung. Lebih lanjut UAS mengatakan ada jin kafir di patung. Pernyataan ini dikatakan sebagai aqidah islam. Apa dasarnya?
Aqidah itu ada dalam hadis sahih Muslim. Sebenarnya bukan hanya patung yang menghalangi malaikat masuk ke dalam rumah, tetapi juga gambar atau foto. Berikut ini kita tampilkan kutipan hadis tersebut (diambil dari spoken Islamic center).
HS Muslim 24: 5246, “…. for we (angels) do not enter a house in which there is a dog or a picture.” Perkataan ini berasal dari Malaikat Gabriel dan ditujukan kepada Nabi Muhammad.
HS Muslim 24: 5248“He said: Yes, but we do not enter a house in which there is a dog or a picture.” Kata “He” di sini merujuk pada malaikat Gabriel.
HS Muslim 24: 5249, “Angels do not enter a house in which there is a dog or a picture.” Ini merupakan kutipan kata-kata Nabi Muhammad yang dilaporkan Abu Talha.
HS Muslim 24: 5250, “Angels do not enter a house in which there is a dog or a statue.” Ini merupakan perkataan Nabi Muhammad yang dilaporkan oleh Abu Talha. Mungkin inilah yang dijadikan dasar aqidah islam dalam ceramah keagamaan UAS.
HS Muslim 24: 5254, “Angel do not enter a house in which there is a picture or a portraits.” Ini merupakan perkataan Nabi Muhammad sebagaimana dilaporkan Abu Talha Ansari.
HS Muslim 24: 5266, “He then said: Angels do not enter a house in which there is a picture.” Kata “He” di sini merujuk pada Nabi Muhammad.