Suatu hari karyawan keuskupan
mendatangkan 3 ekor anak anjing untuk dipelihara. Kelihatan anak-anak anjing
itu baru saja lepas susu. Penampilan ketiga anak anjing itu sungguh sangat
menarik, lucu dan menggemaskan. Keberadaannya sungguh menyenangkan, bukan saja
bagi karyawan yang mendatangkan dan akan memeliharanya, tetapi juga bagi para
romo di keuskupan.
Setelah sebulan berlalu, saya
mendapati anak-anak anjing itu sudah tidak terurus. Badan mereka penuh koreng,
dan darinya mengeluarkan bau yang tidak sedap. Seorang rekan imam berkomentar,
“Waktu kecil anjing itu diperhatikan, tapi sekarang siapa yang memberinya
makan?” Rekan imam ini seakan mau menyindir karyawan yang tidak lagi mau
memberi makan anak-anak anjing itu. Akhirnya rekan imam inilah yang meluangkan
waktu untuk memberi makan pada ketiga anak anjing itu.
Namun, sebagaimana tindakan yang
sudah-sudah, apa yang dilakukan rekan imam ini pun setali tiga uang. Ia hanya
sebatas memberi makan. Tidak ada tindakan untuk merawat dan memelihara anak
anjing itu. Ketiga anak anjing itu tetap tumbuh besar dengan koreng-koreng di
tubuhnya, dan aroma tak sedap menyertainya.
Demikianlah gambaran dunia
anak-anak dalam rumah tangga dewasa kini. Kebanyakan orangtua hanya bisa
melahirkan anak tanpa mau peduli akan pembinaan mental kepribadian anak. Ketika
anak masih balita, orangtua kelihatan senang dan sayang kepada anaknya. Tapi
ketika anak mulai besar, tak sedikit dari orangtua mulai lupa akan kewajibannya
untuk mendidik dan membina anak sehingga anak benar-benar tumbuh secara sehat,
baik fisik, psikis maupun spiritual. Orangtua merasa sudah melakukan tugas
hanya dengan memberi makan, uang sekolah dan kebutuhan lainnya.
Jika orangtua hanya puas dengan
memberi kebutuhan akan makanan, pendidikan sekolah dan kebutuhan fisik lainnya,
orangtua tak jauh beda dengan orang yang hanya bisa memberi makan anak anjing
tapi tak mampu merawat dan memeliharanya. Hal ini menyebabkan anak tumbuh tidak
dengan baik. Ada kekurangan yang kemudian dirasakan, sebagaimana anak anjing
dalam contoh di atas yang menampilkan koreng pada tubuhnya dan aroma busuk.
Usia Remaja, Usia Krisis
Bulan Mei ini publik Indonesia
dihebohkan dengan berbagai kasus kejahatan seksual. Yang membuat miris
peristiwa ini adalah bukan hanya korbannya dari kalangan anak di bawah umur (5
– 17 tahun), tetapi juga pelakunya adalah anak di bawah umur. Beberapa pelaku
kejahatan seksual ini, yang bahkan berujung pada kematian, adalah anak di bawah
umur, yang masih masuk dalam kategori remaja.
Banyak ahli sependapat bahwa
masa remaja merupakan masa krisis. Anak di usia remaja sering kali mengalami
krisis, yang jika tidak ditangani dengan baik dan benar, dapat berdampak buruk
pada kehidupannya dan juga sosialnya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
aneka kenakalan pada anak-anak, misalnya seperti terlibat dalam tawuran, penyalahgunaan
narkoba, seks bebas, dll. Kenakalan-kenakalan yang dibiarkan atau dikompromi
ini akhirnya membuahkan kejahatan, sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini.
Kenakalan dan kejahatan yang
terjadi dengan pelakunya anak remaja mau menunjukkan kondisi remaja yang sedang
sakit. Ini ibarat anak anjing dalam contoh di atas yang tumbuh berkembang
dengan borok dan koreng di badannya sehingga menyebarkan aroma tak sedap. Dan
ini dapat dikatakan kurangnya perhatian dan pengasuhan dari orangtua terhadap
anaknya. Perhatian orangtua sepertinya hanya sebatas memberi makan, membiayai
uang sekolah dan melengkapi keperluan anak.
Banyak orangtua seakan tak
peduli akan tumbuh-kembang anaknya. Hal ini diperparah dengan salah satu ciri
remaja yang tidak mau dikontrol. Elisabeth B. Hurlock, dalam bukunya Psikologi
Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, mengungkapkan
salah satu masalah yang menyebabkan konflik orangtua dan remaja adalah “masalah
palang pintu”. Dan berhadapan dengan ini tak sedikit orangtua memilih sikap
permisif: tak peduli kemana dan dimana saja anaknya berada, dan dengan siapa
saja anaknya bergaul. Bahkan ada orangtua yang tidak memperhatikan kehidupan
rohani anaknya, padahal menurut pakar psikologi pergolakan kehidupan rohani
anak usia remaja sangat kuat.
Belajar dari Keluarga Kudus