Senin, 26 Juni 2023

ORANGTUA PERLU BERI PERHATIAN EKSTRA PADA ANAK USIA REMAJA

 

Suatu hari karyawan keuskupan mendatangkan 3 ekor anak anjing untuk dipelihara. Kelihatan anak-anak anjing itu baru saja lepas susu. Penampilan ketiga anak anjing itu sungguh sangat menarik, lucu dan menggemaskan. Keberadaannya sungguh menyenangkan, bukan saja bagi karyawan yang mendatangkan dan akan memeliharanya, tetapi juga bagi para romo di keuskupan.

Setelah sebulan berlalu, saya mendapati anak-anak anjing itu sudah tidak terurus. Badan mereka penuh koreng, dan darinya mengeluarkan bau yang tidak sedap. Seorang rekan imam berkomentar, “Waktu kecil anjing itu diperhatikan, tapi sekarang siapa yang memberinya makan?” Rekan imam ini seakan mau menyindir karyawan yang tidak lagi mau memberi makan anak-anak anjing itu. Akhirnya rekan imam inilah yang meluangkan waktu untuk memberi makan pada ketiga anak anjing itu.

Namun, sebagaimana tindakan yang sudah-sudah, apa yang dilakukan rekan imam ini pun setali tiga uang. Ia hanya sebatas memberi makan. Tidak ada tindakan untuk merawat dan memelihara anak anjing itu. Ketiga anak anjing itu tetap tumbuh besar dengan koreng-koreng di tubuhnya, dan aroma tak sedap menyertainya.

Demikianlah gambaran dunia anak-anak dalam rumah tangga dewasa kini. Kebanyakan orangtua hanya bisa melahirkan anak tanpa mau peduli akan pembinaan mental kepribadian anak. Ketika anak masih balita, orangtua kelihatan senang dan sayang kepada anaknya. Tapi ketika anak mulai besar, tak sedikit dari orangtua mulai lupa akan kewajibannya untuk mendidik dan membina anak sehingga anak benar-benar tumbuh secara sehat, baik fisik, psikis maupun spiritual. Orangtua merasa sudah melakukan tugas hanya dengan memberi makan, uang sekolah dan kebutuhan lainnya.

Jika orangtua hanya puas dengan memberi kebutuhan akan makanan, pendidikan sekolah dan kebutuhan fisik lainnya, orangtua tak jauh beda dengan orang yang hanya bisa memberi makan anak anjing tapi tak mampu merawat dan memeliharanya. Hal ini menyebabkan anak tumbuh tidak dengan baik. Ada kekurangan yang kemudian dirasakan, sebagaimana anak anjing dalam contoh di atas yang menampilkan koreng pada tubuhnya dan aroma busuk.

Usia Remaja, Usia Krisis

Bulan Mei ini publik Indonesia dihebohkan dengan berbagai kasus kejahatan seksual. Yang membuat miris peristiwa ini adalah bukan hanya korbannya dari kalangan anak di bawah umur (5 – 17 tahun), tetapi juga pelakunya adalah anak di bawah umur. Beberapa pelaku kejahatan seksual ini, yang bahkan berujung pada kematian, adalah anak di bawah umur, yang masih masuk dalam kategori remaja.

Banyak ahli sependapat bahwa masa remaja merupakan masa krisis. Anak di usia remaja sering kali mengalami krisis, yang jika tidak ditangani dengan baik dan benar, dapat berdampak buruk pada kehidupannya dan juga sosialnya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan aneka kenakalan pada anak-anak, misalnya seperti terlibat dalam tawuran, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dll. Kenakalan-kenakalan yang dibiarkan atau dikompromi ini akhirnya membuahkan kejahatan, sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini.

Kenakalan dan kejahatan yang terjadi dengan pelakunya anak remaja mau menunjukkan kondisi remaja yang sedang sakit. Ini ibarat anak anjing dalam contoh di atas yang tumbuh berkembang dengan borok dan koreng di badannya sehingga menyebarkan aroma tak sedap. Dan ini dapat dikatakan kurangnya perhatian dan pengasuhan dari orangtua terhadap anaknya. Perhatian orangtua sepertinya hanya sebatas memberi makan, membiayai uang sekolah dan melengkapi keperluan anak.

Banyak orangtua seakan tak peduli akan tumbuh-kembang anaknya. Hal ini diperparah dengan salah satu ciri remaja yang tidak mau dikontrol. Elisabeth B. Hurlock, dalam bukunya Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, mengungkapkan salah satu masalah yang menyebabkan konflik orangtua dan remaja adalah “masalah palang pintu”. Dan berhadapan dengan ini tak sedikit orangtua memilih sikap permisif: tak peduli kemana dan dimana saja anaknya berada, dan dengan siapa saja anaknya bergaul. Bahkan ada orangtua yang tidak memperhatikan kehidupan rohani anaknya, padahal menurut pakar psikologi pergolakan kehidupan rohani anak usia remaja sangat kuat.

Belajar dari Keluarga Kudus