Minggu, 16 Juni 2013

(C E R P E N) Kicau Burung Hilang

KICAU BURUNG ITU HILANG

Dari atas gundukan, sisa-sisa penggusuran, Doni memandangi komplek perumahan. Doni membayang kenangan masa silam. Masa lalunya telah terkubur di bawah rumah-rumah para simpanan. Setidaknya itulah kata bang Samir, satpam jaga perumahan itu.
“Iya, masak  banyak ibu muda. Bapaknya jarang nampak. Paling seminggu sekali.”
“Kerja di luar kota?”
“Memang. Plat mobilnya pun bukan dari daerah kita. Bule juga ada. Yang plat sini datangnya tiga kali seminggu. Biasanya sore. Itu pun cuma beberapa jam, lalu pergi lagi.”
“Emangnya cuma ibu-ibu saja yang tinggal di sana?”
“Persisnya gadis, bukan ibu-ibu. Ada juga cowoknya. Ngakunya sih mahasiswa.”
Doni tetap menatap. Kenapa dalam perjuangan yang kecil selalu kalah, batinnya. Ia teringat perjuangan warga kampungnya mempertahankan tanah yang telah dihuni puluhan tahun hingga tiga generasi. Ibu-ibu nekat tidur-tiduran di tanah melawan buldoser. Bapak-bapak sampai berkelahi dengan aparat. Ada yang ditangkap. Ada yang diculik. Salah satunya kakek Doni yang hingga kini tak pernah muncul lagi. Itulah alasannya kenapa keluarga mereka tetap berada di pinggiran perumahan itu. Untuk menunggu kakek pulang.
Kenapa pembangunan selalu mengorbankan rakyat kecil?
Sengat mentari mulai berkurang panasnya. Di belahan barat semburat sang surya muncul dari balik awan. Doni masih tetap di tempatnya dan memandangi kompleks perumahan itu. Dia teringat desanya dan masa kecilnya. Desa itu banyak ditumbuhi pohon angsana dan ceri sehingga membuat suasana menjadi teduh. Anak anak sering bermain di bawah pohon-pohon itu.
Doni teringat saat pohon ceri itu berbuah. Banyak sekali burung datang memakan buahnya. Suasana desa terasa ramai dengan kicauan burung-burung itu. Mereka dapat dengan bebas memakan buah ceri tanpa ada yang mengganggu. Anak-anak tak ada yang membuat ketapel. Para orang tua selalu melarang.
“Jangan kalian tembaki burung-burung itu,” nasehat orang-orang tua. “Biarkan mereka hidup.”
Terpaksa Doni dan teman-temannya bersaing dengan burung-burung itu untuk mendapatkan buah ceri. Mereka akan naik ke atas pohon, duduk di sebuah dahan sambil mengunyah buah ceri. Sebagian akan diisi di kantong baju atau celana untuk dibawa pulang. Sementara burung-burung itu tetap saja terbang dari ranting yang satu ke ranting yang lain tanpa merasa takut dengan kehadiran mereka.
Semua itu terasa indah dalam ingatan Doni. Namun kini semuanya telah lenyap. Tidak ada lagi teman-teman bermain, karena mereka semua telah pergi. Tidak ada lagi buah ceri. Kicau burung pun terdengar tak semerdu dulu lagi. Bagi Doni tak ada lagi kicau burung. Semuanya hilang.

Doni masih di tempatnya dan tetap memandangi kompleks perumahan itu.
Tanjung Pinang, 13 Januari 2002
Baca juga:
1.      Diakon Yudas
3.      Cita-cita Warni
4.      Kuda Lumping
5.      Pasien Kamar 14
6.      Jam Waker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar