Senin, 28 Juli 2014

(Refleksi) Relasi Demi Kenyamanan

RELASI DEMI KENYAMANAN
No man is an island. Manusia adalah makhluk sosial. Kesosialan membuat manusia hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain. Agak susah menemukan manusia yang hidup seorang diri dalam lingkungan manusia, karena ketika lahir pun ia sudah berada dalam lingkungan sosial. Agar dapat terhubung dengan orang lain, setiap manusia membangun sebuah relasi personal. Di mana pun manusia berada, ia akan membangun relasi.

Waktu masih kuliah, beberapa rekan dari Flores sangat giat menjalin relasi dengan beberapa keluarga di mana dia berada. Sekalipun ada perbedaan latar belakang budaya, karena sifat sosial tadi, membuat relasi yang dijalin terbangun. Dari jalinan itu banyak yang akhirnya menjadi erat sehingga rekan itu dianggap sebagai anggota keluarga. Karena itu, sangat terkenal istilah papi dan mami bagi rekan-rekan dari Flores. Dan umumnya, dari rekan-rekan Flores saja yang memiliki mami dan papi ini.

Dengan adanya jalinan relasi ini, tentulah rekan-rekan ini mendapatkan sesuatu yang agak sulit diperoleh dari keluarganya yang nun jauh di seberang. Ia mendapat perhatian, dan tak jarang kebutuhannya pun terpenuhi.

Selesai kuliah dan akhirnya menjadi imam, beberapa rekan juga masih meneruskan “tradisi” membangun relasi. Di mana ia berkarya, ia berusaha menjalin relasi dengan umat. Dan kebanyakan relasi yang dibangun ditujukan kepada orang-orang berada atau berpunya. Tentulah pengalaman kuliah memberi pelajaran: relasi memberi perhatian dan terpenuhinya kebutuhan.

Karena itu, tak heran jika menemukan imam yang baru satu dua tahun imamat sudah hidup bergelimang harta kekayaan. Kalau ditanya, selalu jawabannya klasik, “Diberi umat.” Tentulah bukan umat sembarangan yang mau memberi. Umat yang dimaksud adalah umat kalangan tertentu yang sudah sedari awal dibina relasinya.

Akan tetapi, seakan ada sedikit pergeseran bangunan relasi tersebut. Awalan relasi itu bersifat jalinan, sekarang berubah menjadi ikatan. Ada orang tidak lagi sekedar menjalin relasi dengan umat, melainkan juga mengikat relasi tersebut. Kalau masih bersifat jalinan, untuk memenuhi kebutuhannya, ia hanya mengeluh di hadapan relasinya itu. Sabda menjadi daging. Keluhannya segera berwujud. Namun bila sudah menjadi ikatan, ia tidak lagi mengeluh, tetapi langsung meminta atau bahkan menuntut terpenuhinya keinginan.

Ada nuansa berbeda antara membangun, menjalin dan mengikat sebuah relasi. Membangun merupakan kebutuhan setiap manusia sebagai makhluk sosial untuk membuat relasi. Pada menjalin dan mengikat ada intensitas pada relasi. Mengikat memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada menjalin. Di balik jalinan dan ikatan relasi itu ada interes pribadi. Karena itu, relasinya hanya ditujukan kepada orang atau keluarga-keluarga kaya saja.

Satu pertanyaan, kenapa orang selalu berusaha menjalin atau bahkan mengikat relasi? Satu jawabannya adalah DEMI KENYAMANAN. Orang ingin nyaman, baik secara fisik maupun psikis. Dia butuh diperhatikan. Dia butuh harta benda yang tidak mungkin dapat diperoleh dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Artinya, jika hanya mengandalkan gaji sebulan, tak mungkinlah ia dapat mempunyai harta benda yang berlimpah itu. Karena itu, setelah menjalin, ia berusaha mengikat relasi.

Terlihat jelas bahwa dalam menjalin dan/atau mengikat relasi, pusat relasi adalah AKU. Relasi yang telah tercipta harus terarah pada kepentinganku. Aku diperhatikan. Keinginanku terpenuhi.

Hal ini bertentangan dengan orang yang hanya berusaha membangun relasi. Karena sadar akan kesosialannya, maka ia akan membuat relasi dengan siapa saja. Malahan orang kecil tersisih mendapat prioritas. Yesus adalah contohnya. Selama hidupnya Tuhan Yesus selalu membangun relasi dengan siapa saja: dengan orang bodoh dan pintar, orang berdosa dan tidak berdosa, pria dan perempuan, orang dewasa dan anak-anak, orang sehat dan sakit, dll. Dalam berelasi itu, Yesus tidak berusaha menjalin relasi, apalagi mengikat relasi dengan mereka. Tak pernah Yesus meminta sesuatu dari mereka, justru Dia selalu memberi dan memberi.
Pangkalpinang, 23 Juli 2014
by: adrian
Baca juga:

Renungan Hari Senin Biasa XVII - Thn II

Renungan Hari Senin Biasa XVII, Thn A/II
Bac I    Yer 13: 1 – 11; Injil             Mat 13: 31 – 35;

Kesamaan sabda Tuhan hari ini ada pada perumpamaan. Kedua bacaan liturgi menampilkan perumpamaan sebagai media pengajaran Allah. Dalam bacaan pertama Allah menyampaikan pesan buat bangsa Israel, melalui nabi-Nya, yaitu Yeremia, lewat perbandingan ikat pinggang. Yeremia mengikuti semua permintaan Allah berkaitan dengan ikat pinggang. Akhir dari perjalanan ikat pinggang itu adalah kehancuran. Ini untuk menggambarkan bangsa Israel yang akan hancur karena kesombongannya.

Injil hari ini menampilkan perumpamaan Tuhan Yesus tentang Kerajaan Allah. Yesus mengibaratkan Kerajaan Allah itu seperti biji sesawi atau ragi yang awalnya kecil namun akhirnya menjadi besar dan bermanfaat bagi burung atau hal lainnya. Di sini Yesus seakan mau menyatakan bahwa Kerajaan Allah itu bukan berawal dari sesuatu yang luar biasa, melainkan dari sesuatu yang kecil dan sederhana. Dapat juga dikatakan bahwa melalui perumpamaan ini Tuhan Yesus mau menghargai proses daripada hasil. Karena hasil itu diperoleh dari sebuah proses yang tidak selalu singkat dan instan, melainkan lama.

Melalui sabda-Nya hari ini Tuhan hendak memberitahu kita bahwa terkadang Tuhan menyampaikan sesuatu pesan kepada kita tidak secara langsung. Tuhan bisa saja menggunakan media lain atau perbandingan. Namun intinya adalah diri kita; dan pesannya adalah perubahan dalam hidup kita. Karena itu sangat dibutuhkan keterbukaan hati dan budi dalam menangkap pesan-pesan Tuhan dalam kehidupan kita. Inilah yang dikehendaki Tuhan lewat sabda-Nya. Tuhan tidak menghendaki agar kita mengabaikan setiap pesan-Nya hanya karena pesan itu tidak berbicara langsung tentang diri kita.

by: adrian