Kamis, 20 Maret 2014

Save the World: Ini Caraku, Mana Caramu?

INI CARAKU, BAGAIMANA CARAMU?
Tentulah kita sudah tak asing lagi dengan istilah global warming. Istilah ini sudah menjadi keprihatinan dunia, karena menjadi tantangan masa depan bumi. Kiranya tak perlu lagi diuraikan di sini apa itu global warming, atau pemanasan global. Yang penting, semua kita tahu bahwa hal ini menjadi ancaman bagi kehidupan di muka bumi, kini dan di masa datang.

Gerakan-gerakan untuk mengatasi pemanasan global pun dicanangkan. Karena sudah menjadi ancaman bersama, maka semua pihak pun terlibat. Gereja sebagai warga dunia pun turut ambil bagian dalam usaha pencegahan pemanasan global. Karena itu, ada satu tema APP nasional adalah soal isu ini. Selain itu, tahun 2012 lalu KWI mengeluarkan satu nota pastoral berkaitan dengan masalah ini. Tentulah Gereja, dalam hal ini hierarkinya (uskup dan para imam) sudah berkoar-koar menjelaskan dan menghimbau umat untuk berperan serta mengatasi pemanasan global.

Yang menjadi persoalan adalah bukan sejauh mana atau sepanjang apa atau sebanyak apa kita menjelaskan kepada umat atau orang lain, melainkan sebanyak apa yang sudah kita lakukan. Dengan kata lain, bukan apa yang sudah dikatakan, melainkan apa yang telah dibuat. Karena, banyak orang menjelaskan isu pemanasan global dengan panjang lebar dan sangat indah, namun perbuatannya tidak mencerminkan dukungan untuk mencegah pemanasan global.

Bagaimana dengan saya? Apa saja yang sudah saya lakukan?

Pertama-tama saya mencari tahu dulu apa saja yang harus dicegah dan yang bisa saya lakukan. Yang harus dicegah, ini mengandaikan pengetahuan; yang bisa dilakukan, ini mengandaikan komitmen. Dari penelusuran saya, maka saya menemukan:

     1.      Menanam pohon. Ketika saya di Puri Sadhana, Kebun Sahang, salah satu program saya adalah penghijauan. Karena itu, saya menghubungi orang di Pematangsiantar untuk mengirimkan biji Mahoni. Selain Mahoni, saya juga menanam pohon Angsana dan beberapa pohon lain. Salah satu mimpi saya adalah di belakang Puri Sadhana akan tercipta semacam “hutan” Mahoni.

      2.      Tidak boros kertas. Salah satu bahan pembuat kertas (segala jenis kertas) adalah pohon. Jika saya sering menggunakan kertas, maka saya turut mendukung percepatan penebangan hutan (pohon), padahal pohon berfungsi mengurangi efek emisi gas rumah kaca. Namun bila saya membatasi, saya sudah memperlambatnya. Karena itu:
a)      Waktu saya di Puri Sadhana, bahkan hingga kini, saya sering menggunakan kertas bekas, untuk segala keperluan yang dalam kacamata saya tidak bersifat formal. Salah satu contohnya, laporan keuangan ke ekonom keuskupan, saya gunakan kertas bekas. Bahkan, dengan kertas bekas itu juga saya buat amplop untuk mengisi keperluan-keperluan lain. Intinya, sejauh masih pantas dan layak, saya akan menggunakan kertas bekas itu. Karena itu, sering saya ke keuskupan untuk mencari kertas bekas itu.
b)     Sejak di Puri Sadhana hingga kini, saya nyaris tidak menggunakan tissu. Sebagai gantinya, saya menyediakan sapu tangan. Kalau umumnya orang lain sehabis makan dengan seenaknya saja mencabut tissu, saya akan memakai sapu tangan atau kain lap yang disediakan.
c)      Ketika saya di paroki, saya melihat kalau setiap tahun paroki selalu membuat buku panduan liturgi Hari Raya Natal dan Paskah. Padahal isinya dari tahun ke tahun sama saja. Yang berubah hanya tahun dan tema perayaan. Membayangkan betapa banyak kertas yang terbuang, maka saya menggagas buku panduan liturgi yang bisa dipakai sepanjang tahun. Memang, gagasan saya ini mendapat tantangan karena dinilai jauh dari kebiasaan umum.
d)     Pernah saya berpikiran pragmatis soal celana dalam kertas. Hal ini diperkenalkan oleh seorang rekan. Saya tertarik untuk mencobanya. Namun ketika menyadari komitmen saya, akhirnya saya memutuskan untuk menolaknya.

     3.      Hemat listrik. Bagi saya, hemat listrik berarti menggunakan listrik sebagaimana perlunya saja. Maka, jika dirasa memang tidak perlu, maka listrik musti dipadamkan. Hal ini sudah saya terapkan sejak saya di Puri Sadhana. Malah, ketika PLN padam, dan kebetulan tidak ada kegiatan retret, maka saya tidak akan menghidupkan jenset. Saya akan menikmati kegelapan malam. Demikian pula dengan penggunakan alat-alat elektronik lainnya. Saat ini (ketika saya di Binus Square), kalau siang saya tidak menggunakan AC; dan sebagai gantinya saya membuka pintu agar udara masuk.

     4.      Mengurangi pelepasan gas fosil. Hal ini saya lakukan dengan mengurangi bepergian dengan kendaraan bermotor (mobil atau motor). Jika jarak tempuh bisa dilakukan dengan berjalan kaki, maka saya akan berjalan kaki. Malah, ketika saya di Puri Sadhana, menggantikan motor atau mobil untuk urusan ke keuskupan, saya menggunakan sepeda. Selain itu, saya memilih untuk nebeng atau naik angkutan umum. Intinya, saya tidak akan begitu mudah menggunakan kendaraan bermotor.

      5.      Bawa kantong sendiri. Umumnya, setiap belanja kita menerima belanjaan di dalam kantong plastik. Seberapa sering kita belanja, sebanyak itu juga kantong plastiknya. Misalnya, awalnya ke apotik beli obat. Lalu ke toko ini beli ini, ke toko itu beli itu. Maka, kita akan mendapat tiga kantong plastik berisi barang belanjaan. Sebagai gantinya saya menyediakan kantong plastik sendiri (syukur-syukur kalau ada kantong belanjaan). Karena itu, setiap kali saya ke toko atau warung, saat penjual hendak memasukkan barang-barang ke dalam kantong, saya langsung mencegahnya dan mengeluarkan kantong bawaan saya sendiri.

Demikianlah lima cara yang sudah saya lakukan sebagai bentuk kepedulian saya terhadap bumi. Ini caraku, bagaimana caramu? 

Sebenarnya masih ada banyak yang masih bisa dilakukan, namun semua itu masih dalam tahap perjuangan. Karena untuk bisa sampai pada titik itu dibutuhkan sebuah komitmen. Saya sadar dan tahu bahwa pemanasan global menjadi ancaman serius bagi kehidupan. Karena itu, harus dibutuhkan aksi yang nyata, bukan hanya retorika belaka.

Saya sudah melakukannya, bagaimana dengan Anda?
Jakarta, 6 Maret 2014
by: adrian

Orang Kudus 20 Maret: St. Fransiskus Maria Camporosso

SANTO FRANSISKUS MARIA CAMPOROSSO, PENGAKU IMAN
Seorang imam mengalami kecelakaan lalu lintas di Genoveva, Italia. Ia terkapar dari kendaraannya dan mengalami cedera otak yang berat. Sangat tipis harapan untuk bertahan hidup. Dokter-dokter menyangsikan kesembuhan pastor ini. Tetapi Uskup Agung Genoveva punya keyakinan kuat bahwa karena imannya itu ia bisa sembuh. Ia mengambil relikiu beato Fransiskus Maria dan menyentuhkannya pada kepala imam itu. Keesokan harinya, imam itu sembuh secara ajaib. Imam yang malang itu kemudian menjadi Uskup Agung Genoveva, yaitu Kardinal Siri.

Yohanes Croese demikian nama Fransiskus Maria sebelum menjadi bruder lahir di Camporosso, Italia pada tahun 1804 dari sebuah keluarga tani yang sederhana. Fransiskus sendiri bertani sebelum menjalani kehidupan membiara di novisiat Fransiskan Konventual. Setelah menyelesaikan masa novisiatnya di biara Fransiskan Konventual, ia melanjutkan ordo itu dan masuk Ordo Fransiskus Kapusin sebagai bruder. Dalam ordo ini ia mendapat tugas meminta derma di jalan-jalan dan di rumah keluarga-keluarga Katolik di seluruh Paroki untuk kepentingan biara dan pekerjaan-pekerjaan sosial tarekatnya. Tugas ini berat dan membosankan, namun dijalankannya dengan sungguh-sungguh. Sungguh mengherankan bahwa dalam waktu yang begitu singkat Bruder Fransiskus Maria sudah dikenal di seluruh kota Genoveva sebagai seorang bruder yang saleh. Ia sangat ramah dan sopan. Kesempatan meminta derma di rumah keluarga-keluarga Katolik menjadi baginya kesempatan baik untuk berdoa dengan umat dan memberi bimbingan rohani dan penghiburan kepada yang berkesusahan dan menderita. Ia banyak membuat mujizat dan dikaruniai kemampuan mengetahui hal-hal yang rahasia dan kejadian-kejadian yang akan datang.

Itulah sebabnya banyak orang yang datang meminta pertolongannya. Suatu peristiwa ajaib terjadi atas diri seorang janda: anak tunggal janda ini bekerja di Amerika. Dan tiap bulan ia selalu mendapat kiriman surat dan uang dari anaknya. Sekali waktu surat-surat tak kunjung datang lagi. Dan ibu itu sangat gelisah sekali memikirkan kalau-kalau terjadi sesuatu atas diri anaknya. Ia lalu menulis surat dan membawanya kepada Bruder Fransiskus untuk diberkati sebelum dikirim. Ia termanggu-manggu ketika bruder saleh itu mengatakan kepadanya bahwa puteranya sehat-sehat saja, dan tidak lama lagi akan berlibur ke Italia. Bruder Fransiskus berjanji akan segera mengirim surat itu sebelum anaknya berangkat. Tak lama kemudian anak itu tiba di Genoveva dan bertemu dengan ibunya. Ketika Fransiskus mengunjungi rumah mereka untuk meminta derma, anak itu berkata: Inilah bruder yang menyampaikan kepada saya surat ibu pada saat saya hendak naik kapal. Yang mengherankan ibu itu ialah bahwa surat itu dibawanya kepada bruder pada hari puteranya naik kapal untuk kembali ke Italia.

Dalam tahun 1866 Genoveva ditimpa wabah kolera. Bruder Fransiskus mempersembahkan dirinya untuk menjadi kurban, asal saja wabah itu dilenyapkan. Dan terjadilah seperti yang dimintanya dalam doa. Fransiskus meninggal menjadi korban dan lenyaplah wabah ganas dari seluruh kota. Ia kemudian dihormati sebagai pelindung kota. Ia meninggal pada tahun 17 September 1868. Paus Yohanes XXIII (1958-1963) menggelari dia kudus pada tanggal 9 Desember 1962.

Renungan Hari Kamis Prapaskah II - A

Renungan Hari Kamis Prapaskah II, Thn A/II
Bac I   : Yer 17: 5 – 10; Injil         : Luk 16: 19 – 31

Bacaan pertama hari ini diambil dari Kitab Nabi Yeremia. Dalam kitabnya, Yeremia mengajak umat Israel untuk senantiasa mengandalkan Tuhan dalam hidup dan selalu berharap kepada-Nya. Dengan keras Yeremia menyatakan “Terkutuklah orang ..., yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan!” (ay. 5). Di sini Yeremia mau menekankan bahwa Allah akan memperhatikan umat-Nya jika mereka mau datang kepada-Nya. Di sampaing itu juga, Yeremia mau mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai keterbatasan. Sadar akan keterbatasan itulah, maka selayaknya manusia datang kepada Allah.

Apa yang disampaikan Yeremia dalam bacaan pertama, kembali disuarakan Yesus dalam Injil. Yesus menggunakan semacam cerita tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin. Dalam cerita ini terlihat bahwa orang kaya itu mengandalkan kekayaan dalam hidupnya, sementara Lazarus mengandalkan Allah. Akhir dari cerita memperlihatkan bahwa orang yang mengandalkan kekuatan sendiri, entah itu kekayaan ataupun kekuasaan, berakhir dengan penderitaan. Sementara orang yang mengandalkan Allah akan menikmati kebahagiaan abadi.

Sabda Tuhan hari ini mau menyadarkan kita bahwa sebagai manusia kita memiliki keterbatasan. Apa yang kita miliki, entah itu kekayaan, kepintaran, kekuasaan dan lainnya, tidak dapat menjadi jaminan bagi kelangsungan hidup kita. Semuanya ada batasannya. Dibutuhkan sikap rendah hati untuk mau mengakui hal itu. Dengan menyadari keterbatasan itu, kita akhirnya diajak untuk datang kepada Allah dan mengandalkan Dia.

by: adrian