Rabu, 04 November 2015

(Refleksi) Apakah Melakukan Pelayanan atau Kewajiban?

PELAYANAN ATAU KEWAJIBAN
Saya merasa risih mendengar pernyataan seorang imam bahwa dirinya telah melakukan tugas pelayanan dengan maksimal. “Kami bekerja setiap hari selama seminggu. Kerjanya 24 jam.” Ungkap imam itu dengan bangganya.
Tugas yang dimaksud imam tersebut adalah misa setiap hari (misa harian), setiap hari Minggu 2 hingga 3 kali; kadang tengah malam dibangunkan untuk memberi pengurapan orang sakit, dll. Intinya, semua tugas sakramen dan sakramentalia.
Kebanggaan imam itu ditambah lagi dengan uang saku yang diterimanya. Sekalipun bekerja setiap hari dan 24 jam, ia hanya menerima uang saku. Ia tidak menerima gaji. Uang sakunya pun sedikit, meski ia dapat memiliki benda-benda elektronik yang harganya tak terjangkau uang sakunya sebulan.
Pertanyaannya adalah benarkah imam itu sudah melakukan tugas pelayanan? Pelayanan menjadi inti dari imamat. Ketika ditahbiskan menjadi imam, seorang imam dipanggil untuk melayani, bukan dilayani. Ini mengutip pernyataan Tuhan Yesus sendiri, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat 20 28).
Pernyataan imam bahwa ia telah melakukan pelayanan patut dipertanyakan. Apakah benar ia sudah melakukan tugas pelayanan, atau tugas kewajiban? Sangat tipis perbedaan antara sebuah tugas pelayanan dengan tugas kewajiban.
Bagi saya, jika hanya sebatas merayakan misa sesuai ketentuan, ini merupakan kewajiban. Adalah tugas seorang imam untuk merayakan ekaristi. Dan adalah juga tugas seorang imam untuk memperhatikan kebutuhan rohani umat gembalaannya. Karena itu, seorang imam merayakan misa bersama umat, entah itu di gereja atau di komunitas, itu adalah kewajibannya.
Bahkan ketika tengah malam, tidur seorang imam diganggu oleh panggilan untuk perminyakan orang sakit, itu adalah kewajibannya. Dia ditahbiskan untuk itu.
Lantas, kapan seorang imam dikatakan melakukan tugas pelayanan? Pelayanan lahir dari dalam diri seorang imam. Tugas yang dilakukan bukan karena aturan atau ketentuan, tetapi karena dirinya mau melakukannya. Dalam pelayanan ada pengorbanan; dan pengorbanan terbesar adalah egonya.
Sebagai contoh, suatu hari seorang imam sudah mempunyai jadwal dua misa. Tiba-tiba ada seorang umat minta diadakan misa di tempatnya. Soal waktu dapat diatur, dan kesempatan itu memang ada. Jika menyanggupi permintaan itu, ia telah melakukan pelayanan. Apalagi jika ia tidak memperhatikan status sosial-ekonomi umat yang minta (terkait dengan stipendium yang bakal diterima).
Atau, ketika seorang imam datang mengunjungi umat tanpa memandang status sosial-ekonomi, suku atau golongan; melayat umat yang mendapat musibah, baik di rumah maupun di penjara dan rumah sakit.
Intinya, di saat imam melakukan suatu tugas, yang tidak termasuk ketentuan baku, dia sudah melakukan pelayanan. Tugas yang sudah ditentukan, misalnya seperti misa, berkat Dalam pelayanan itu, ia telah mengorbankan kepentingan dirinya.
Pangkalpinang, 3 Agustus 2015
by: adrian
Baca juga sharing lainnya:

Renungan Hari Rabu Biasa XXXI - Thn I

Renungan Hari Rabu Biasa XXXI, Thn B/I
Bac I  Rom 13: 8 – 10; Injil                 Luk 14: 25 – 33;

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara soal syarat menjadi murid Yesus Kristus. Dalam Injil hari ini, Tuhan Yesus menegaskan bahwa untuk menjadi murid-Nya, seseorang harus berani melepaskan dirinya dari segala miliknya (ay. 33), termasuk ikatan keluarga. Hal ini secara ekstrim diterjemahkan dengan membenci bapak, ibu, isteri, anak dan saudara-saudari (ay. 26). Selain itu syarat lain untuk menjadi murid Tuhan Yesus adalah memikul salib (ay. 27), yang berarti juga mau ikut menderita bersama Tuhan Yesus. Di sini mau disampaikan bahwa Yesus Kristus hendaknya menjadi yang utama dalam hidup.
Jika dalam Injil syarat menjadi murid Kristus harus berani meninggalkan segala kepunyaan dan memikul salib, dalam bacaan pertama Paulus mengutarakan satu syarat lain lagi. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus kembali mengulang ajaran Tuhan Yesus tentang cinta kasih sebagai kegenapan hukum taurat (ay. 10). Bagi Paulus, seorang murid Tuhan Yesus hendaknya mau mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Cinta kasih dapat menjadi tanda bahwa kita adalah murid Yesus Kristus. Jadi, seorang yang mengaku murid Kristus hendaklah menghidupi kasih dalam kehidupannya.
Hari ini sabda Tuhan menjadi cermin bagi kita, dengan tema utamanya adalah menjadi murid Yesus Kristus. Kita adalah orang Kristen, alias pengikut Kristus. Melalui sabda Tuhan hari ini, kita dapat bertanya pada diri kita sendiri apakah kita sudah mewujudkan diri sebagai murid Tuhan Yesus. Secara tidak langsung sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk mengoreksi diri kita sejauh mana praktek hidup kita sudah menampilkan gambaran murid Tuhan Yesus. Jika ternyata masih ada kekurangan atau jauh dari harapan, maka kita terpanggil untuk menyempurnakannya.***

by: adrian