Rabu, 20 Mei 2015

Psikologi, Agama & Kesehatan

PENGARUH PSIKOLOGI & AGAMA BAGI KESEMBUHAN
Ketika mengunjungi orang sakit, entah itu di rumah atau di rumahsakit, sering kita mendengar atau kita sendiri melontarkan kata-kata peneguhan kepada pasien. “Sabar ya…, banyak doa, biar cepat sembuh.” Kurang lebih kata-katanya demikian, atau pun jika lain nadanya tak jauh berbeda.
Ada tiga aspek di balik pernyataan tersebut. Ada aspek psikologi (sabar), ada aspek agama (doa), dan aspek kesehatan (sembuh). Ada kesan bahwa ketiga aspek ini saling berkaitan. Kesehatan tidak hanya dapat ditentukan oleh aspek medis (kesehatan) melainkan juga oleh aspek lain, yaitu psikologi dan agama. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita pahami konsep agama. Di sini agama diartikan sebagai pikiran (kognisi), perasaan (afeksi) serta tingkah laku sehari-hari yang kita sadari melalui interaksi dengan unsur supranatural yang dianggap punya peran penting dalam kehidupan manusia. Dalam agama terkandung unsur psikologi, yaitu (1) kepercayaan akan adanya Tuhan yang memengaruhi kehidupan; (2) tingkat kualitas dalam melakukan aktivitas agama (misalnya, frekuensi berdoa, penghayatan dalam berdoa); (3) tingkat komitmen dalam beragama.
Ada banyak penelitian dilakukan untuk melihat kaitan antara agama, kesehatan dan psikologi. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa 25 – 30 % orang yang aktif beragama memiliki usia yang lebih panjang. Keaktifan beragama diukur melalui berbagai cara, seperti mengukur tingkat kepercayaan pada agama, frekuensi kunjungan (keikutsertaan) di rumah ibadah, maupun keterlibatan dalam beribadah (berdoa, devosi, misa, membaca Kitab Suci). Tidak hanya itu, orang remaja atau juga dewasa (dengan latar belakang berbagai agama) dengan tingkat religiusitas yang tinggi juga lebih tidak menyukai minum-minuman keras dan rokok, serta lebih menunda melakukan hubungan seks di luar nikah. Mereka juga lebih sering menggunakan seatbelt, berkunjung ke dokter, serta minum vitamin dibanding mereka yang tingkat religiusitasnya lebih rendah.
Agama memiliki peran yang signifikan dalam berbagai tahap perkembangan. Untuk anak remaja, dikatakan bahwa remaja yang religius cenderung memiliki nilai yang lebih baik di sekolah. Beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara tingkat religiusitas dengan kemampuan remaja untuk berinteraksi dengan lingkungan. Tidak hanya itu, semakin baik religiusitas remaja, maka semakin baik pula rasa percaya dirinya. Sementara untuk yang sudah menikah, pasangan yang religius memiliki periode menikah lebih lama serta mempunyai tingkat komitmen yang lebih baik dibanding dengan pasangan yang tidak religius.
Hasil penelitian yang dilakukan selama dua dekade juga menyimpulkan bahwa agama memiliki kaitan dengan kesejahteraan psikologi. Orang dengan konsep agama yang positip memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami depresi. Selain itu, orang juga akan merasa lebih bahagia dalam menjalani kesehariannya. Penjelasan lain mengemukakan bahwa berdoa mampu mempengaruhi keadaan pikiran serta tubuh. Dengan berdoa, keadaan pikiran akan menjadi tenang, sehingga tubuh juga menjadi rileks. Kedua hal ini akan mengurangi kecemasan, menurunkan tekanan darah dan menstabilkan pola tidur serta melancarkan proses pernafasan juga pencernaan.
Agama juga membantu proses pengaturan diri (self-regulation). Dilihat dari sudut pandang psikologi, self-regulation akan membuat orang bertingkah laku sesuai dengan aturan-aturan atau tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, jika kembali dikaitkan dengan kesehatan, agama akan memberikan berbagai aturan untuk menjalani hidup yang sehat. Dengan penanaman aturan-aturan tersebut, orang dengan tingkat religiusitas yang baik akan lebih mampu mengontrol dirinya dalam menjalankan peraturan tersebut. Mereka lebih mampu menolak hal-hal yang tidak baik, seperti tidak merokok, minum minuman keras, dsb.
Pada akhirnya, orang dengan tingkat religiusitas yang tinggi diasumsikan memiliki self-regulation serta kontrol diri yang lebih baik. Kedua hal ini diperkirakan merupakan alasan di balik fakta survey tadi, yaitu20 – 30 % orang yang religius mempunyai umur yang lebih panjang. Melalui pengaturan serta kontrol diri yang baik, orang akan menjauhi hal-hal yang tidak baik untuk dirinya.
Demikianlah uraian singkat kaitan antara agama, psikologi dan kesehatan. Dari sini tampak jelas bahwa kesehatan kita tidak hanya ditentukan oleh penanganan medis semata, melainkan juga dapat ditentukan oleh faktor lain seperti agama dan psikologi.

Orang Kudus 20 Mei: St. Ivo

SANTO IVO, USKUP
Ivo lahir di Beauvais pada tahun 1040. Ia belajar teologi di Biara Bec dan dikenal sebagai orang pandai. Ia kemudian bekerja di Nestle, Picardy, Perancis Utara, lalu berpindah ke Biara Santo Quentin. Di biara ini,Ivo mengajar teologi, hukum Gereja dan Kitab Suci. Kemudian ia diangkat sebagai pimpinan tertinggi selama 14 tahun lamanya. Sebagai pemimpin tertinggi biara, Ivo berusaha meningkatkan disiplin hidup dan kegiatan belajar untuk para biarawan, serta berusaha membaharui banyak aturan yang lama.
Karena kesalehan hidup, kepandaian serta kepribadiannya yang menarik, Ivo diajukan oleh umat dan segenap imam pada tahun 1091 untuk menggantikan Goffrey sebagai Uskup Chartres. Setelah didesak oleh Paus Urbanus II (1088 – 1099), Ivo menerima jabatan itu dan ditahbiskan menjadi Uskup Chaetres.
Dalam kepemimpinannya sebagai Uskup Chartres, Ivo dengan tegas menantang Raja Philip I yang menceraikan isterinya Bertha dan mengawini Bertrada, isteri Fulk, seorang hakim dari Anjou. Oleh Raja Philip I, Ivo ditangkap dan dipenjarakan. Seluruh kekayaan dan penghasilannya disita oleh raja. Tetapi atas desakan Paus Urbanus II dan seluruh umat, Ivo dilepaskan kembali dan menjalankan tugasnya seperti biasa. Selanjutnya Ivo juga tetap setia kepada Raja Philips I dan berusaha mendamaikan raja dengan Takhta Suci pada kesempatan Konsili Beaugency pada tahun 1104. Ivo meninggal dunia pada tahun 1116.
sumber Iman Katolik
Baca juga riwayat orang kudus 20 Mei:

Renungan Hari Rabu Paskah VII - B

Renungan Hari Rabu Paskah VII, Thn B/I
Bac I  Kis 20: 28 – 38; Injil       Yoh 17: 11b – 19;

Sama seperti kemarin, sabda Tuhan hari ini mengajak umat untuk becermin pada dua figur, yaitu Tuhan Yesus dan Paulus. Kedua figur ini memiliki kemiripan, khususnya dalam pesan terakhir. Injil hari ini mengungkapkan doa Yesus kepada Bapa untuk para murid-Nya yang akan ditinggali-Nya. Tuhan Yesus akan meninggalkan dunia ini, tidak lagi bersama mereka. Namun Tuhan Yesus tidak mau membiarkan mereka terlantar begitu saja, karena Dia sadar akan bahaya yang akan mengancam. Karena itu, Tuhan Yesus meminta agar Allah memelihara mereka (ay. 11) dan “melindungi mereka dari pada yang jahat.” (ay. 15).
Permintaan Tuhan Yesus kepada Allah Bapa ini mirip seperti permintaan Paulus kepada para penatua jemaat dalam bacaan pertama. Permintaan itu dikaitkan dengan kepergian Paulus tak lama lagi. Paulus tidak mau membiarkan benih pewartaannya tidak berkembang dengan baik. Paulus sadar bahwa setelah kepergiannya bakal muncul orang yang berusaha merusak benih pewartaannya itu (ay. 29 – 30). Karena itu, sama seperti Tuhan Yesus, Paulus menyerahkan jemaat kepada Tuhan (ay. 32), yang pelaksanaannya dilakukan oleh para penatua. Kepada mereka Paulus dengan sangat berharap agar mereka tidak hanya menjaga diri sendiri, tetapi juga seluruh kawanan (ay. 28).
Sabda Tuhan hari ini sudah mengatakan kepada kita bahwa akan ada orang yang akan merusak pengajaran Tuhan Yesus. Akan tetapi, kita tak perlu takut atau cemas. Tuhan Yesus sudah menyerahkan kita ke dalam penyelenggaraan ilahi. Namun perlu disadari juga adalah agar kita juga bisa menjaga diri sendiri agar kita tidak disesatkan. Melalui sabda-Nya hari ini Tuhan menghendaki supaya kita tetap memelihara iman yang sudah kita terima dan tetap mengembangkannya. Tuhan tidak menghendaki agar pengorbanan Yesus Kristus tidak sia-sia.
by: adrian