Jumat, 03 Maret 2017

KEMBALI, SETELAH 15 TAHUN MENINGGALKAN GEREJA KATOLIK

Dilahirkan dalam keluarga Katolik yang taat membuat saya sejak kecil aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan gereja di salah satu paroki di Jakarta. Mengenal banyak imam dan biarawan-biarawati menjadi peneguhan tersendiri bagi saya di kala itu. Saya tumbuh di dalam Gereja Katolik dan saya merasa iman saya sudah cukup kuat waktu itu hingga pada akhirnya saya mulai berpacaran dengan seorang yang bukan Katolik (Non-Kristen). Niat awal dan harapan saya, kekasih saya ini dapat saya ajak menjadi seorang Katolik seperti saya. Tahun demi tahun saya lewati bersamanya namun ternyata sangat sulit. Motivasi saya ternyata salah. Iman memang tidak dapat dipaksakan. Kami berbeda, tragisnya ini menyangkut iman saya. Beberapa waktu lamanya saya dilema. Apakah saya yakin bahwa ini jodoh saya? Apakah Tuhan memberikan saya jodoh yang tidak seiman? Sebagai manusia yang diberi kehendak bebas saya sadar bahwa saya harus memilih. Saya tidak dapat menyalahkan Tuhan kelak karena saya manusia berakal budi dan bukan robot.
Keputusan untuk menikah secara Katolik saya ambil dan perjuangkan. Namun apa yang terjadi? Pihak keluarga calon suami saya tidak menentang perkawinan di Gereja. Sejak awal, saya tahu bahwa keluarga calon suami saya membebaskan saya dalam hal iman. Saya makin idealis, pasti saya tetap akan setia menjadi seorang Katolik selama perkawinan saya. Apa yang saya alami ini pasti juga dialami banyak umat yang lain. Kekecewaan saya terhadap Gereja bermula ketika saya berusaha untuk mengurus perkawinan secara Katolik.
Saya kecewa karena saya merasa prosedurnya sangat berbelit-belit, tidak praktis, saya merasa dipersulit oleh Gereja. Saya berharap saya akan dipermudah karena saya ini aktifis gereja loh. Mengurus prosedur perkawinan beda agama ternyata tidak mudah. Masalahnya calon suami saya tidak terlalu suka mengikuti semua prosedur ini yang buat dia tidak penting. Saya lelah karena saya tidak merasa didukung oleh suami saya untuk menikah secara Katolik". Saya bertanya kepada pastor, kenapa perkawinan Katolik ini sangat ribet, repot, sulit? Pastor hanya menjawab, "Karena perkawinan Katolik itu hanya sekali seumur hidup sampai maut memisahkan, maka persiapannya tidak bisa ekspres/ mudah". Bahkan Gereja tidak mengijinkan pemberkatan perkawinan dilakukan 2x sesuai keyakinan masing-masing. Kekesalan saya berujung pada keputusan, lebih baik saya menikah secara Non-Katolik saja. Betul, bahwa prosesnya ternyata lebih mudah dan praktis. Keputusan saya menikah di luar Gereja menyebabkan saya secara otomatis terputus hubungan dengan Gereja (ekskomunikasi) karena saya tidak dapat lagi menerima sakramen-sakramen lagi.