Minggu, 14 Juli 2013

(C E R P E N) Leo & Lia

LEO  DAN  LIA
Nama boleh saja mirip, tapi keduanya tak ada relasi keluarga sama sekali. Tetanggaan pun tidak. Leo adalah seminaris asal Oksibil, dan Lia cewek Merauke. Keduanya bertemu di sekolah yang sama Teruna Bakti.
Meski tak ada hubungan keluarga, namun mereka memiliki kedekatan emosional. Ibarat semut dan gula. Ada gula ada semut. Hanya kalau dikaitkan pada mereka, kita tak tahu siapa semut dan siapa gulanya. Yang pasti, saat di sekolah, di mana ada Leo pasti ada Lia, demikian sebaliknya (kecuali saat lagi WC atau belajar).
Banyak orang heran melihat relasi mereka ini. Keheranan itu karena Leo adalah seminaris, calon imam. Selain itu tak ada tanda-tanda kedekatan mereka tahun lalu. Hal kedua inilah yang membingungkan teman-teman seminarisnya dan juga anak-anak asput St. Clara, tetangga seminari. Saat Leo kelas XI (waktu itu Lia kelas X), ia tak punya cewek spesial. Malah ada dua anak asput pernah naksirnya, tapi sikap Leo dingin saja.
“Saya kan mau jadi imam.” Ungkapnya menanggapi sikap cueknya. “Saya mau jadi putra daerah pertama yang jadi imam.”
 Leo adalah gambaran ideal seminaris kala itu. Sopan, sehat, pintar, agak religius dan penampilan menarik. Tak heran, ketika ada misa di sekolah, pastor, yang juga pembina seminari, mempercayainya membawa hosti sisa yang sudah dikonsekrir ke tabernakel di kapel seminari.
“Kau kan masih remaja,” ujar Yosep. “Jangan disia-siakan masa itu. Sekali dalam hidup.”
“Tapi saya mau jadi imam. Bapa ada bilang agar kita sudah mulai menampakkan citra imam.”
“Apa kau tak menyesal?” Tanya Alex yang dijawab dengan gelengan kepala.
“Nita cantik loh!” Vicky menggoda dengan menyebut salah satu anak asput yang mengejar Leo. “Kalau kau tak mau, buat saya saja.”
Mereka yang lain tertawa. Leo cuma senyum. Itulah kenangan masa lalu yang jauh berbeda dengan kini. Dan inilah yang kini membingungkan mereka. Ada apa dengan Leo? Dia yang dulu enggan dekat dengan cewek, kini justru nempel. Ketegaran hatinya luluh di hadapan Lia.
Memang tak ada yang tetap di muka bumi ini. Semuanya berubah. Leo pun demikian. Dia berubah. Lialah yang membuatnya berubah.
Semuanya berawal pada minggu pertama Juni 2008, saat minggu tenang, di mana siswa mempersiapkan diri menghadapi ujian semester. Keadaan seminari benar-benar sunyi. Para seminaris tenang belajar. Ada yang di kelas, ada yang di bawah pohon asam, di gua Maria, di teras-teras unit. Ada yang sendirian dan ada juga berkelompok kecil.
Hari Rabu, jam 16.00. Dua orang cewek keluar dari asput dan berjalan menuju ke seminari. Lia dan Tika. Tika adalah anak asput, teman sekelas Lia. Mereka duduk di kelas X-B.
“Kau yakin tidak dapat marah?” Tanya Lia tentang maksud kedatangan mereka.
“Tak apa-apa.” Tika meyakinkan. “Beberapa anak asput sering belajar di sini. Malah ada yang sampai lupa makan.”
Mereka memasuki seminari. Di bawah pohon Ketapang, seorang seminaris sedang belajar. Begitu seriusnya sehingga kedatangan Lia dan Tika tak disadarinya.
“Mat sore kak Romi. Kak Leo ada kah?”
Romi sedikit agak terkejut. “Di kelas. Ada perlu kah?”
Tika mengangguk.
Romi segera meninggalkan kedua gadis itu menuju kelas 2. Tak lama kemudian Leo muncul seorang diri. Ia pun mengajak mereka ke teras unitnya. Mereka memilih duduk di lantai.
Sore itu mereka belajar Bahasa Jerman. Lia punya kelemahan dalam bahasa. Nilai bahasanya semester ganjil mengancam keberadaannya di kelas. Wali kelas telah mewanti-wanti bila tak ada perubahan, maka ia akan tahan kelas. Sementara Leo jago. Maklum ia sudah belajar ketika di KPP.
Tika dan Lia memperhatikan serius penjelasan Leo. Sesekali Leo mengguyon sehingga mereka tertawa. Tentu tidak keras-keras. Lia begitu terpesona pada Leo. Awalnya Leo tak memperhatikan sampai suatu ketika tatapan mereka beradu. Lia tersenyum. Leo juga. Ada getaran aneh dalam hati Leo. Tapi tak ada tanda-tanda.
Sore beranjak. Waktu menunjukkan jam 18.30, saat Lia dan Tika meninggalkan gerbang seminari. Leo mengantar mereka sampai di gerbang. Tika berjalan ke asrama sedangkan Lia menuju jalan raya. Sempat Lia melambaikan tangannya dan dibalas Leo.
Itulah awal kedekatan mereka. Dimulai dari Bahasa Jerman sampai dengan MTK. Tiap sore Lia datang belajar bersama Leo. Kadang dengan Tika, kadang sendirian.
Belajar bersama itu benar-benar membawa perubahan. Nilai ujian Lia naik sehingga ia lolos dari ancaman tinggal kelas. Perubahan juga terjadi pada Leo. Ia semakin dekat sama Lia.
Kedekatan itu awalnya membuat Leo gelisah. Ia kebingungan antara cinta dan cita. Apalagi ketika Lia benar-benar mengutarakan cintanya. Leo seperti berhadapan dengan buah simalangkama.
“Aku juga suka kamu. Sejak pertemuan kita pertama itu hari, ada getaran aneh dalam diriku. Tapi aku juga cinta panggilanku.”
“Emang kakak tidak bisa pacaran?”
“Aku kan mau jadi imam,” Leo berdiplomasi.
Leo tak bisa menghalau wajah Lia dari benaknya. Wajah itu selalu muncul dalam setiap gerak hidupnya. Tapi ia masih mau jadi imam pertama di daerahnya. Jiwanya memberontak. Adakah ini cobaan? batinnya. Atau Tuhan memang tak memanggilku?
Lia juga merasakan hal yang sama. Bayangan wajah Leo selalu hadir dalam tidur malamnya. Foto wajah Leo di HP-nya selalu dilihatnya menjelang tidur. Itu seperti ritus doa malamnya sebelum tidur. Namun hatinya bergolak. Mengapa aku jatuh cinta kepada calon imam? tanya hatinya. Lia sadar kalau Gereja Papua masih membutuhkan banyak imam. Apakah aku ini Hawa yang menggoda Adam jatuh ke dalam dosa? batinnya. Apakah kodrat wanita sebagai penggoda kaum pria?
Suatu hari Leo menghadap Bapa Mago, pembina unitnya. Bapa Mago juga minta ketemu sama Lia. Keduanya bukan hanya mendapat nasehat, tapi juga pencerahan. Akankah mereka pisah? Akankah mereka berubah?
Orang berkata tak ada yang tetap di muka bumi ini. Semuanya berubah. Tapi bagi Leo ada yang tetap, yaitu perubahan itu sendiri.
Sejak pertemuan dengan Bapa Mago, relasi Leo dan Lia makin dekat. Malah Lia tak mau ada cewek lain yang coba mendekati Leo. Lia akan marah. Karena itulah, Lia dipanggil guru BP.
“Kau tahu siapa itu Leo?”
Lia mengangguk
“Kau tahu siapa itu seminaris?”
Kembali Lia mengangguk
“Lalu, kalo kau tahu, kenapa kau pacaran dengannya? “
“Saya tak pacaran. Saya cuma cinta dia.”
“Kau bisa menghambat panggilannya.”

“Tidak! Saya mencintainya dan juga panggilannya. Cinta saya bukan untuk memiliki.” Lia berdiam sejenak. “Ujian cinta adalah pengorbanan dan ukuran cinta adalah tidak mementingkan diri sendiri. Saya senang kalo kak Leo jadi imam. dan sebagai wujud cinta saya marah kalo ada cewek lain yang dekat dan menggodanya.”
Waena, 13 Des 2009
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:
1.      Tono dan Tini
2.      Maafkan Aku, Lala
4.      Pelajaran Sejarah
5.      Kuda Lumping

Keturunan Ismael

RAMALAN  keturunan  ISMAEL
Kata malaikat TUHAN itu kepada Hagar, “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya.”

Selanjutnya kata malaikat TUHAN itu kepadanya, “Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu.
Seorang anak laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya dia akan menentang semua saudaranya.

sumber: Kejadian 16: 10 – 12

Orang Kudus 14 Juli: St. Kamilus de Lellis

SANTO KAMILUS DE LELLIS, PENGAKU IMAN
Kamilus lahir di Bocchionico, Italia Tengah, pada tahun 1550. Pada masa remajanya, ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda positif akan menjadi seorang abdi Allah, putera pejabat militer ini terkenal nakal dank arena itu harus diawasi secara ketat oleh tentara Venesia. Tetapi tujuh tahun kemudian ia dipecat karena lekas naik darah dan suka berjudi.

Setelah meninggalkan dinas militer, Kamilus semakin gemar saja berjudi, sehingga berkali-kali ia jatuh miskin dan akhirnya menjadi pengemis. Pada tahun 1574, ia menjadi seorang pekerja bangunan di biara Kapusin Manfredonia. Di sana ia bertobat lalu melamar menjadi seorang bruder kapusin di biara itu. Namun ia ditolak karena luka parah pada kakinya sewaktu mesih menjadi tentara.

Kamilus kemudian berangkat ke Roma untuk mencari pengobatan yang lebih baik untuk lukanya. Di sana ia bertemu dengan Santo Philipus Neri. Philipus menjadi Bapa Pengakuannya. Seteah beberapa lama, Kamilus diterima menjadi pasien di rumah sakit San Giacomo. Di rumah sakit ini, Kamilus kemudian menjadi seorang perawat. Ia ditugaskan merawat orang-orang sakit yang tidak bisa terobati lagi. Kesabaran dan kesanggupannya untuk merawat orang-orang ini menaikkan prestasinya. Oleh karena itu kemudian Kamilus diangkat menjadi direktur rumah sakit itu.

Semangat pelayanannya kepada para pasien sungguh besar. Ia kemudian berkeputusan untuk membaktikan dirinya bagi pelayanan orang-orang sakit. Kelalaian para perawat, bahkan imam-imam terhadap kepentingan orang-orang sakit mendorong dia semakin menekuni pelayanan terhadap orang-orang sakit. Atas nasehat Philipun Neri, Kamilus memutuskan untuk menjadi imam. Untuk itu ia giat belajar dan kemudian ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1584 di Roma. Pada tahun itu juga ia mendirikan sebuah tarekat baru, Tarekat Hamba Orang-orang Sakit, yang disebut juga Imam-imam Kamilian. Anggota tarekat ini mengabdikan dirinya pada pelayanan orang-orang sakit. Dua tahun berikutnya konggregasi ini direstui oleh Paus Sixtus V pada tahun 1586, dan pada tahun 1591 Paus Gregorius XIV meningkatkan statusnya menjadi sebuah ordo religious. Kamilus menjadi pemimpin pertama ordo ini dan membangun biara-biara di Napoli dan kota-kota Italia lainnya. Kepada rekan-rekannya, ia menasehatkan, “Mengabdilah seikhlas-ikhlasnya hingga titik darah terakhir, karena Tuhan hadir secara paling nyata di dalam diri orang-orang sakit yang kita layani. Kita ditugaskan Tuhan untuk melayani Dia dalam diri orang-orang sakit ini.”

Kamilus meninggal dunia pada 14 Juli 1614 dalam usia 64 tahun. Jenasahnya dikuburkan di gereja Santa Maria Magdalena di Roma. Banyak mujizat dialami oleh orang-orang yang berdoa dengan perantaraannya. Kamilus dinyatakan sebagai ‘beato’ pada tahun 1742 dan digelari ‘santo’ oleh Paus Benediktus XIV pada tahun 1746. Ia dihormati sebagai santo pelindung orang-orang sakit, para perawat dan organisasi-organisasi kesehatan.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Minggu Biasa XV-C

Renungan Hari Minggu Biasa XV, Thn C/I
Bac I   : Ul 30: 10 – 24; Bac II    : Kol 1: 15 –20;
Injil     : Luk 10: 25 – 37

Sabda Tuhan hari ini, dalam bacaan-bacaan liturgi minggu biasa XV, dapat dirangkum dalam kalimat: “Melaksanakan perintah Tuhan akan mendatangkan keselamatan. Perintah Tuhan yang utama adalah cinta kasih. Karena itu cinta kasih dapat mendatangkan keselamatan.”

Dalam bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Ulangan, hal ini terlihat jelas dari firman Tuhan sendiri. Dikatakan bahwa Tuhan akan melimpahi umat-Nya dengan berkat dan keberuntungan. Artinya, Tuhan akan mendatangkan keselamatan jika, “mendengarkan suara Tuhan … berpegang pada perintah dan ketetapan-Nya …” (ay. 10) dengan segenap hati dan jiwa.

Perintah Tuhan yang utama diungkap dalam Injil melalui mulut ahli Taurat. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Yesus menegaskan bahwa dengan melakukan hal itu maka akan datang keselamatan. Keselamatan bukan hanya pada orang yang melakukan, melainkan juga orang yang dikasihi. Ini terlihat dalam cerita “Orang Samaria yang murah hati.” (ay. 30 – 35).

Kasih yang menyelamatkan ini diungkapkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolese. Dalam bacaan kedua, Paulus merefleksikan hubungan manusia dengan Allah. Paulus melihat bahwa manusia mendapat keselamatan karena kasih Allah yang tampak dalam diri Yesus. Bukti kasih Allah, bagi Paulus, tampak dalam “darah salib Kristus.” (ay. 20). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah bukti kasih Allah, yang dengan-Nya manusia memperoleh keselamatan.

Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita akan perintah Tuhan yang utama, yaitu kasih. Melalui sabda-Nya Tuhan mengajarkan bahwa dengan melaksanakan kasih akan datanglah keselamatan bagi diri kita dan juga orang yang kita kasihi. Tuhan juga sudah memberi contoh kasih dalam Diri-Nya, lewat kurban-Nya di kayu salib. Karena itu, melalui sabda-Nya ini, Tuhan menghendaki kita untuk senantiasa hidup dalam kasih.

by: adrian