Satu
bulan terakhir ini berita soal penistaan agama, yang tokoh utamanya adalah
Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok, sungguh menjadi topik pembicaraan hangat di
negeri kita. Topik ini malah menutupi hangatnya berita lainnya dari belahan
dunia lain, yaitu kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika
Serikat. Penistaan agama, yang dilakukan oleh Ahok saat kunjungan dinasnya di
Kepuluan Seribu, dibingkai oleh fatwa MUI, demo umat islam, safari Presiden
Jokowi, aksi saling lapor antara HMI dan Partai Demokrat terkait rusuh demo
damai, dan penetapan Ahok sebagai tersangka.
Terkait
dengan pernyataan Ahok di hadapan warga Kepulauan Seribu tersebut, Majelis
Ulama Indonesia menjatuhi fatwa bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan
ulama. Fatwa ini menjadi salah satu
legitimasi untuk umat islam melakukan aksi unjuk rasa. Beberapa ormas islam
bahkan menyatakan siap mengawal fatwa ini, pasca penetapan Ahok sebagai
tersangka.
Ada
dua hal yang perlu disoroti dari fatwa itu. Pertama, penistaan ulama. Terus
terang saya bingung pada titik mana Ahok telah melakukan penistaan ulama.
Apakah tafsiran bahwa Ahok menyatakan kalau ulama telah melakukan pembohongan
dengan memakai Surat al-Maidah ayat 51? Jika memang demikian, ada banyak
pernyataan serupa, tapi kenapa tidak dipersoalkan. Sebagai satu contoh, sekitar
tahun 2002, dalam bukunya The Corruption
of Moslem Minds, DR Nader Pourhassan dengan tegas mengatakan bahwa selama
ini ulama telah melakukan pembohongan kepada umat muslim. Namun tak ada satu
otoritas islam di dunia ini yang menghakimi dia.
Pada
satu titik, pernyataan Denny Siregar, dalam akun facebook-nya tertanggal 14 November 2016 pukul 22.06, juga bisa
dinilai melecehkan ulama. Denny menulis, “Tidakkah kalian sadar bahwa agama
kalian hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik mereka yang menamakan
dirinya ULAMA?” Tetapi, kenapa MUI tidak merasa tersinggung dan mengeluarkan
fatwa?
Sangat
menarik juga kalau kita menyimak komentar Anggun C. Sasmi di akun twitter-nya.
“Banyak yang bersuara atas ‘dugaan penistaan agama’. Tapi tak banyak suara atas
‘aksi terror yang membunuh atas nama agama’. Kenapa kemunafikan dibina?”
Sungguh satu pernyataan anggun. Dibutuhkan kebesaran jiwa untuk bisa membaca dan menerimanya. Satu pertanyaan dasar: siapa yang telah membina kemunafikan itu?
Patut
diduga, semua itu karena Ahok. Target utamanya bisa saja bukan mau menegakkan wibawa
ulama, melainkan untuk menjatuhkan Ahok. Dapatlah dikatakan bahwa kebencian
terhadap Ahok membuat orang lupa akan kebaikan dan kepentingan umum yang lebih besar.