Senin, 22 April 2013

Memaknai Arti Sejahtera

Tanggal 12 Juli lalu, di beberapa kota di Indonesia, diramaikan oleh aksi demo para buruh. Ribuan bahkan puluhan ribu demonstran, yang mayoritasnya adalah kaum buruh, turun ke jalan-jalan menyuarakan aspirasi mereka. Meskipun ada beberapa tuntutan, namun bisa dikatakan semuanya mengacu pada satu kata ini, yaitu SEJAHTERA.

Selain buruh, demo menuntut kesejahteraan pernah dilakukan para guru dan juga para kepala desa. Bagi mereka gaji yang mereka terima saat itu tidak mencukupi untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dan keluarganya. Mereka minta kenaikan gaji agar mereka bisa mencapai kesejahteraan hidup.

Menjadi pertanyaan kita, apa sih sejahtera itu? Apakah sejahtera itu identik dengan kelimpahan harta kekayaan? Apakah dengan kenaikan gaji maka otomatis orang merasa sejahtera?

Bisa saja kita tertipu. Ada orang yang selama ini dianggap kaya raya, harta berlimpah, namun sebenarnya mempunyai utang yang tak berhingga. Sebenarnya, sejahtera mempunyai makna lebih dibandingkan hanya sekedar disebut sebagai orang kaya. Belum tentu semua orang kaya itu sejahtera. Sejahtera semestinya memiliki unsur kebahagiaan. Sementara kekayaan belum tentu dibarengi dengan kebahagiaan.

Kesejahteraan sebenarnya adalah ketika seseorang – secara relatif – baik itu primer, sekunder maupun tersier berdasarkan nilai yang ada pada diri seseorang. Mengapa demikian? Misalnya, Joni merasa dirinya sudah cukup kaya dan sejahtera ketika bisa menikmati makan tiga kali sehari, punya  rumah sederhana dan bisa menyekolahkan anak-anaknya. Joni merasa bahwa harta yang dimilikinya sudah mencukupi dan hidup bahagia.

Akan tetapi lain dengan Jono. Ia sudah memiliki rumah mewah, mobil bagus, deposito di berbagai bank dan kekayaan lainnya. Namun Jono melihat teman-temannya jauh lebih kaya daripada dirinya. Oleh karena itu, Jono merasa belum sejahtera. Dari situasi tersebut jelaslah bahwa besarnya harta tidak berbanding lurus dengan makna kesejahteraan secara relatif.

Dengan kata lain, sejahtera sebenarnya dimulai dari konsep berpikir atau persepsi terhadap kesejahteraan itu sendiri. Jadi, tidak mengherankan kalau Joni merasa sejahtera, sementara Jono masih merasa “sengsara”. Makanya, disebut sebagai nilai relatif.

Ada beberapa hal yang sebaiknya dicerna ulang seperti berikut ini.

Konsep Sejahtera
Hal penting dalam memahami kesejahteraan adalah memutuskan arti kesejahteraan itu sendiri berdasarkan nilai pada diri masing-masing. Bukan karena tetangga kita memiliki rumah mewah atau mobil lebih banyak maka kita anggap tetangga kita lebih sejahtera. Bukan itu maknanya, melainkan model kesejahteraan seperti apa yang kita inginkan. Jadi, tidak perlu melihat orang lain.

Berikutnya, memastikan untuk apa semua uang dan harta yang sudah dan akan dimiliki nantinya. Jadi, ada tujuan dari harta itu. Bukan sekedar dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Ini sekaligus menjelaskan bahwa kekayaan dalam makna kesejahteraan adalah ketika kita bisa menikmati dan mensyukuri kekayaan tersebut. Bukan kekayaan yang berlimpah karena utang berlimpah, misalnya. Atau dalam bentuk lain, harta dan kekayaan membuat kita menjadi berperilaku buruk, menjadi serakah atau menjadi kikir.

Jadi, kesimpulannya, definisikan dulu arti kesejahteraan secara seluas-luasnya. Termasuk, hubungan antara jumlah harta dan uang yang dipunyai atau diinginkan dengan kebahagiaan. Baru setelah itu bicara mengenai bagaimana mencapainya.

Mendapatkan Kesejahteraan
Untuk menjadi sejahtera sebagaimana ukuran yang telah diputuskan oleh masing-masing individu, kita terlebih dahulu harus mengetahui seberapa jauh jarak kita saat ini dengan tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai. Sebagai contoh, dari sisi aset, saat ini kita menyewa rumah dan kita beranggapan, untuk sejahtera, setidaknya kita mesti mempunyai rumah sendiri. Maka, pertanyaan berikutnya adalah, rumah seperti apa yang mau kita miliki.

Lalu berapa lama dari sekarang rumah tersebut bisa dimiliki. Kemudian dari mana sumber pembiayaannya. Artinya, ada rencana yang jelas, terukur, baik dari sisi waktu maupun sumber dananya. Jadi, boleh-boleh saja kita mendambakan apa saja, tetapi tidak boleh menafikan rasionalitas. Jangan sampai kita terjebak pada kesejahteraan artifisial; mempunyai aset bersumber dari utang dan kemudian aset tersebut hilang kembali karena kita gagal melunasinya.

Kesejahteraan termasuk unsur kebahagiaan bukan sekedar untuk dicapai, sesuai ukuran masing-masing. Ketika kesejahteraan itu sudah tercapai, langkah berikutnya adalah bagaimana mempertahankan kesejahteraan tersebut.

Tetap Sejahtera
Ketika kekayaan meningkat, sebagian kalangan juga mengubah gaya hidup, pola pergaulan dan tingkat konsumsi. Perubahan itu, hakikatnya menjadikan biaya hidup semakin mahal. Oleh sebab itu, salah satu kunci paling mendasar untuk mempertahankan kesejahteraan adalah melalui kontrol terhadap perubahan gaya hidup. Dan itu dapat dijaga dengan kembali mengajukan pertanyaan, “Apa definisi kesejahteraan bagi saya?”

Secara konseptual, menjaga kesejahteraan bisa dilakukan dengan cara melakukan check up secara reguler terhadap kondisi keuangan dan kekayaan kita. Jika delta pengeluaran tiba-tiba menjadi lebih besar daripada delta pemasukan, sebaiknya kita harus waspada. Itu merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang mulai keliru dalam pengelolaan kesejahteraan kita. Dan untuk mencegah permasalahan lebih lanjut, mulailah membelanjakan uang untuk hal-hal yang berkualitas. Bukan membeli barang-barang berharga murah tetapi daya gunanya rendah dan frekuensi pembeliannya bisa tinggi. Lebih jauh lagi, berhentilah melakukan pengeluaran – khususnya terhadap sesuatu yang bersifat keinginan – ketika pemasukan tidak mencukupi. Dengan lain perkataan, ketika kesejahteraan telah bersama kita, jangan menggunakan aset yang telah dipunyai untuk membiayai pengeluaran.

by: adrian
sumber: Elvyn G Masassya, “Menafsirkan Kesejahteraan” dalam KOMPAS, 8 Juli 2012, hlm 18

(Inspirasi Hidup) Jalan Panjang Menuju Sukses

Dari kelemahan & kegagalan menuju sukses

Kelemahan dan kegagalan adalah dua kata yang sering menjadi momok dalam hidup manusia. Tidak ada manusia yang mau mengakui kelemahan atau kelemahannya terlihat orang. Tak ada juga manusia yang menginginkan kegagalan. Kelemahan dan kegagalan sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Karena itu, tidak baik bila kita berusaha menutup-nutupi kelemahan dan kegagalan dengan berbagai macam alasan. Terimalah dan hadapilah kegagalan itu sebagai pengalaman dan pelajaran berharga, agar bisa jadi pedoman dan tuntunan untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan yang lebih berarti di kemudian hari. Ada banyak kesuksesan berawal dari kegagalan.

Tentulah Kita sudah tahu bahwa bumi ini berputar. Perputaran itu kadang cepat, kadang pula lambat. Kita yang ada di bumi ini pun ikut berputar. Ibarat kita duduk komedi putar, kadang kita ada di bawah, kadangkala di atas. Ini merupakan hukum alam.

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan kenyataan yang sering kita lihat ada begitu banyak orang yang selalu di bawah? Bukankah kita juga tinggal di bumi? Sering kita lihat orang yang sudah di atas malah semakin ke atas dan yang di bawah semakin tertekan ke bawah.

Kita musti melihat semua ini hanyalah ironi. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada mereka yang sudah ada di atas. Kebanyakan dari kita melihat mereka yang di atas selalu dari 'materi' atau jabatan. Namun percayalah, setiap manusia pasti mengalami pasang surut.

Kepada kita hanya diharapkan untuk mau belajar dari orang-orang yang sudah ada di atas dan orang-orang yang berada di bawah. Jangan hanya melihat ke atas. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari keduanya, yang bisa dijadikan bekal untuk menjadi pribadi yang luhur bijaksana, sukses lahir dan batin.

Prof. G. Arthur Keough pernah mengeluarkan pernyataan bijak: "Kebesaran seseorang tidak terlihat ketika dia berdiri dan memberi perintah. Kebesaran seseorang akan terlihat ketika dia berdiri sama tinggi dengan orang lain, dan membantu orang lain untuk mengeluarkan yang terbaik dari diri mereka untuk mencapai sukses."


Oleh karena itu, janganlah suka cari alasan untuk menutupi kegagalan. Sebaliknya, carilah terus 'cara' untuk menggapai keberhasilan. Kegagalan itu adalah biasa, namun bangkit mengatasi kegagalan adalah luar biasa. Menerima dan menyerah pada kegagalan menunjukkan kelamahan diri kita, namun bangkit mengatasi kegagalan menunjukkan kekuatan kita.

by: adrian, diolah dari email Anne Ahira
Baca juga refleksi lainnya: