Minggu, 22 November 2020

INILAH TANTANGAN HIDUP BERUMAH TANGGA


Tak ada hidup tanpa ada persoalan. Berani hidup berarti berani pula menerima dan menghadapi persoalan. Demikian pula halnya dalam hidup rumah tangga. Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Dewi Matindas, dalam sebuah seminar bertajuk “Gonjang-Ganjing Perkawinan” yang berlangsung di Hotel Sahid, menandaskan bahwa memutuskan menikah berarti mau menerima tantangan. “Tantangan itu tidak habis-habis,” katanya mengingatkan.

Dengan terus terang ia mengingatkan bahkan menyodorkan sejumlah kenyataan dan masalah yang tidak pernah kita bayangkan sama sekali sebelumnya. Dewi mengemukakan, sejak awal setiap pasangan suami-istri perlu menyadari beberapa kenyataan utama dalam hidup perkawinan.

Kenyataan pertama, manusia berubah dari waktu ke waktu. Bisa jadi, hal-hal yang semula terasa begitu berharga, seiring waktu kehilangan maknanya. Menurut Dewi, hanya dengan menyadari bahwa setiap suami-istri dapat (akan) berubah, kita dapat bersikap lebih realistis dalam menghadapi berbagai kekecewaan dalam perkawinan.

Kenyataan kedua, dalam perkawinan pasti ada konflik. Tidak ada rumah tangga tanpa konflik. Konflik bisa merupakan perbedaan pendapat, perbendaan nilai maupun kepentingan. ”Tetapi, tak perlu cemas, banyak sekali konflik yang dapat dipecahkan dengan baik,” tandas Dewi. 

Kenyataan ketiga, tidak seorangpun bisa memuaskan semua kebutuhan pasangannya. Setiap pribadi tentulah mempunyai kebutuhan yang ingin diperhatikan dan dipuaskan oleh pasangan. Akan tetapi di lain pihak setiap pribadi mempunyai kesibukannya sendiri. Kebutuhan untuk diperhatikan dan memperhatikan dapat melahirkan persoalan dalam rumah tangga.

Kenyataan keempat, perkawinan memerlukan sejumlah persyaratan. Tetapi, suami-istri sering kurang memperhatikan persyaratan yang paling penting, yaitu kematangan psikologis. Umumnya orang berpikir bahwa dengan bisa melakukan hubungan seksual atau dengan bisa hamil, maka orang bisa menikah.

Kenyataan kelima, banyak hambatan yang harus diatasi untuk meraih kebahagiaan perkawinan. Cinta saja tidak cukup. ”Setiap orang yang hendak menikah perlu membekali diri dengan sejumlah ketrampilan psikologis untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan,” ungkap Dewi.

Kenyataan keenam, menikah bukan suatu keharusan. Jangan memaksa menikah hanya karena ’sudah cukup umur’ atau demi status semata-mata. Jika memang tidak siap, lebih bijaksana untuk tetap melajang. ”Tidak menikah bukanlah aib!” tegas Dewi

diolah kembali dari tulisan 8 tahun lalu